Perlu Digagas ”Omnibus Law” Bidang Politik

Meskipun era reformasi telah berjalan selama lebih dari 20 tahun, sistem politik nasional masih menghadapi sejumlah persoalan yang butuh diselesaikan. Ada sejumlah hal yang perlu kembali ditata dalam kehidupan demokrasi bangsa, seperti hubungan pusat dan daerah serta hubungan antarlembaga negara.

Untuk itu, peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, mengungkap perlunya omnibus law bidang politik untuk menata politik nasional.

”Apa saja yang perlu diperbaiki. Yang perlu diperbaiki di antaranya tumpang tindih dan campur aduknya pusat-daerah, relasi antarlembaga negara, antara presiden dan parlemen. Lalu apakah betul sistem presidensial seperti ini,” ujar Kristiadi saat diskusi daring dalam rangka peringatan 20 tahun Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Senin (30/8/2021).

Hadir sebagai narasumber dalam diskusi publik tersebut, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia, politisi Partai Demokrat yang juga anggota Komisi III DPR Benny K Harman, pengajar Departeman Ilmu Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Intan Fauzi, serta Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Melaz.

Menurut Kristiadi, momentum untuk melakukan penataan politik tersebut harus ada. Walau tidak harus dilakukan dengan segera, ”simtom-simtom” untuk menuju ke sana haruslah ada. ”Pernah terjadi pemerintah mengungkapkan tentang omnibus law bidang politik. Namun, itu buyar semua karena rutinitas pertarungan. Bubar semua,” ujar Kristiadi.

Ahmad Doli Kurnia mengatakan, DPR sebenarnya pernah mengupayakan penyempurnaan undang-undang terkait sistem politik, termasuk di dalamnya Undang-Undang Pemilu. Setidaknya ada delapan undang-undang yang sudah direncanakan disusun. Kedelapan UU ini dinilai menjadi pintu masuk untuk meningkatkan kualitas politik dan sistem demokrasi Indonesia.

Momentum untuk melakukan penataan politik tersebut harus ada. Walau tidak harus dilakukan dengan segera, ”simtom-simtom” untuk menuju ke sana haruslah ada. (J Kristiadi)

Adapun kedelapan UU tersebut antara lain UU Pemilu dan UU Pilkada yang rencananya digabung menjadi satu UU tentang Kepemiluan, UU MPR, DPR, dan DPD, UU Pemerintah Daerah, UU Pemerintah Desa, UU DPRD, serta UU Hubungan Pusat dan Daerah.

”Kalau bisa disusun secara baik, UU tersebut bisa bertahan cukup lama. Tidak seperti UU yang lain, tiap lima tahun diubah. Namun, sayang sekali, situasi kita, dan dunia juga, tidak favorable. Kita fokus mengatasi pandemi Covid-19 dan dampaknya. Maka, pemerintah dan DPR sepakat untuk menghentikan sementara. Bukan final tidak dibahas, tetapi hentikan sementara,” papar Ahmad Doli.

Sementara itu, August Melaz mengungkapkan, ada blessing in disguise atau berkah terselubung dengan tidak direvisinya UU No 7/2017 tentang Pemilu untuk digunakan dalam Pemilu 2024. Sebab, tanpa revisi UU Pemilu, negeri ini jadi memiliki waktu untuk melakukan refleksi dan evaluasi sejauh mana desain pembangunan sistem politik tersebut telah mencapai tujuan atau misi yang ditetapkan. Termasuk di dalamnya evaluasi terhadap dampak-dampak lain dari sistem pemilu, seperti restriksi, suara tidak sah, suara hangus, dan personalisasi politik dalam konteks pembiayaan kampanye.

Selain itu, tanpa revisi UU Pemilu sebelum Pemilu 2024, hal tersebut juga dapat mendorong diskursus lebih luas mengenai sistem presidensial dan sistem multipartai yang sebenarnya merupakan sebuah keniscayaan, baik keniscayaan konstitusi maupun politik.

Menurut dia, hal yang paling penting saat ini adalah mengukur efektivitas sistem pemerintahan.

”Jika dilihat desain konstitusi kita, saya khawatir, sistem presidensial kita tidak lagi menganut prinsip pemisahan kekuasaan dan pemisahan tujuan, tetapi justru menganut prinsip penyatuan kekuasaan dan penyatuan tujuan. Ini bisa dilihat di beberapa klausul dalam UUD 1945,” ujar August.

Seperti diketahui, Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, setiap rancangan undang-undang dibahas bersama oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Pasal-pasal lain pun mengimplikasikan pengambilan kebijakan pemerintahan berdasarkan persetujuan ataupun restu dari legislatif, misalnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang, APBN, pengisian jabatan-jabatan politik seperti gubernur Bank Indonesia, panglima TNI, kepala Polri, duta besar, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Partai politik

Dalam kesempatan tersebut, Benny mengingatkan sentralnya peran partai politik dalam sistem demokrasi di negeri ini. Parpol menjadi satu-satunya pintu masuk untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Parpol juga menjadi peserta pemilu yang menjadi sumber bagi anggota legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Setelah terpilih, Presiden dan DPR pun bersama-sama menentukan siapa yang akan menjadi kepala Polri, panglima TNI, hakim agung, hakim konstitusi, Komisi Yudisial, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lain-lain.

”Sejalan dengan dinamika politik, yaitu Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, parpol juga turut menentukan calon kepala daerah yang akan dipilih (rakyat). Jadi, semua diajukan oleh parpol atau gabungan parpol,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Benny mengingatkan pentingnya menata parpol mengingat perannya yang sentral dalam menjalankan kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Namun, menurut Kristiadi, hal tersebut tidak mudah dilakukan. Memang penting untuk menerapkan good governance di dalam partai, tetapi persoalannya tidak sesederhana yang terlihat. Partai sendiri sibuk menentukan calon-calonnya serta mengurus kader agar tidak berkelahi di daerah pemilihan.

”Jadi, partai disibukkan sendiri oleh suatu medan terus-menerus sehingga untuk menata diri menjadi seperti yang diimpikan kader-kader partai tidak jalan-jalan,” ujarnya.

Vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Suara rakyat itu disalurkan melalui pencoblosan partai atau orang di dalam pemilu. Hanya saja, saat ini suara rakyat di Indonesia menjadi agregat mati, sekadar digit saja.

Padahal, sejatinya partai politik yang kemudian menempatkan orang-orangnya di DPR merupakan lembaga yang sangat mulia. Sebab, menurut Kristiadi, mereka adalah lembaga yang mengelola aspirasi rakyat. Vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Suara rakyat itu disalurkan melalui pencoblosan partai atau orang di dalam pemilu. Hanya saja, saat ini suara rakyat di Indonesia menjadi agregat mati, sekadar digit saja.

”Para wakil (rakyat) ini jangan lupa dengan kehendak rakyat yang sangat ilahiah ini,” ujar Kristiadi. Oleh karena itu, menjadi penting seleksi ketat untuk memilih orang-orang yang memiliki panggilan dan kompetensi moral, pengetahuan, serta manajerial yang prima untuk duduk mewakili rakyat dan mewujudkan daulat rakyat. (SUSANA RITA)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/08/30/perlu-digagas-omnibus-law-bidang-politik/