August 8, 2024

Otak-atik Penjabat Kepala Daerah

Lebih dari 100 daerah akan dipimpin penjabat kepala daerah pada 2022 sebagai implikasi diselenggarakannya pemilihan umum kepala daerah serentak tahun 2024. Kekhawatiran mulai muncul karena penjabat ini rentan terseret arus politik dan tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam menangani berbagai persoalan yang diakibatkan pandemi Covid-19.

Pilkada serentak pada 2024 membawa kompleksitas tinggi karena akan ada 271 kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya sebelum 2024. Pada 2022, sebanyak 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota akan mengakhiri masa jabatannya. Sementara pada 2023, sebanyak 17 gubernur, 115 bupati, dan 38 wali kota juga akan mengakhiri masa jabatannya.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota mengatur pengangkatan penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota untuk mengisi kekosongan kepala daerah. Para penjabat yang berasal dari aparatur sipil negara (ASN) ini akan bertugas sampai terpilih kepala daerah definitif dari pilkada serentak 2024.

Dalam pemilihan penjabat tersebut, prosesnya pun berbeda-beda untuk setiap tingkatan pemerintahan daerah. Di tingkat provinsi, misalnya, Presiden akan memilih satu dari tiga nama yang diusulkan Kementerian Dalam Negeri. Sementara, di tingkat kabupaten/kota, Kemendagri akan memilih satu dari tiga nama yang diusulkan gubernur.

Menurut Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, pengisian penjabat kepala daerah akan sangat krusial. Sebab, mereka akan bertugas dalam waktu relatif lama, yakni 2-3 tahun. Padahal, biasanya penjabat hanya bertugas selama beberapa bulan.

Selain itu, penunjukan penjabat ini juga rentan disusupi kepentingan politik. ”Birokrasi kita ini akhirnya cenderung terseret politik. Mereka bukan serving the people, melainkan menjadi serving the boss yang lagi mau mendapatkan kursi,” ujar Djohermansyah.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah wacana pelibatan TNI/Polri aktif sebagai penjabat. Sebab, menurut UU TNI dan UU Kepolisian, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Koridor yang rigid

Karena itu, dibutuhkan koridor yang rigid dalam pemilihan penjabat kepala daerah nanti, mulai dari cara rekrutmen hingga persyaratan yang matang. Dengan begitu, penjabat bisa menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan netral.

Pertama, misalnya, calon penjabat harus memiliki pengalaman selama beberapa tahun dalam jabatan tinggi madya atau jabatan tinggi pratama. Lebih baik lagi bila calon tersebut pernah atau memiliki pengetahuan memimpin daerah.

”Jadi, jangan ujug-ujug karena ada faktor like and dislike, atau kepentingan tertentu, orang ini dijadikan penjabat. Padahal, dia tidak berpengalaman sama sekali mengurusi jabatan tersebut,” kata Djohermansyah.

Kedua, seleksi terbuka penjabat gubernur, penjabat bupati/wali kota juga perlu dilakukan supaya masyarakat bisa ikut memberi masukan. Ini dinilai penting untuk menghindari politisasi dalam penunjukan penjabat.

Ketiga, penjabat kepala daerah bukan hanya harus mampu bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan penyelenggara pemilu, melainkan juga dengan masyarakat, tokoh agama, dan para pelaku usaha.

Sebab, beban yang diemban para penjabat ini pun tak mudah. Penanganan pandemi Covid-19 masih harus menjadi perhatian. Di sisi lain, penyelenggaraan pilkada serentak 2024 yang bisa meningkatkan suhu politik dan menggoyang stabilitas juga akan menyita waktu dan tenaga.

Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad sependapat dengan Djohermansyah bahwa calon penjabat harus dipersiapkan lebih awal agar daerah tidak kelabakan dalam penanganan dampak pandemi dan juga mampu menyukseskan penyelenggaraan pemilu.

Kan, 2024 masih lama, dari sekarang dong mulai dicari, disiapkan, juga dilakukan seperti asesmen,” ujar Dasco.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun mengaku, belakangan ini, dirinya mulai sering diundang oleh Kemendagri untuk pendidikan dan pelatihan bagi ASN yang baru promosi atau menduduki jabatan pimpinan tinggi. Materi diklatnya antara lain strategi penanganan pandemi.

Menurut dia, diklat semacam ini penting sehingga mereka semakin siap jika harus memimpin daerah. Apalagi, ia menyadari, penanganan pandemi tak bisa hanya bergantung pada kekuatan pusat, tetapi juga daerah.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik menegaskan, terkait pengangkatan penjabat kepala daerah, semua telah diatur dalam UU Pemerintahan Daerah, UU Pilkada, UU ASN, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Misal, di Pasal 132 Ayat 1 PP No 6/2005, PNS yang diangkat penjabat kepala daerah harus memenuhi sejumlah syarat dan kriteria. Pertama, mempunyai pengalaman di bidang pemerintahan, yang dibuktikan dengan riwayat jabatan. Kedua, menduduki jabatan struktural eselon I dengan pangkat golongan sekurang-kurangnya IV/c bagi penjabat gubernur dan jabatan struktural eselon II pangkat golongan sekurang-kurangnya IV/b bagi penjabat bupati/wali kota. Ketiga, daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan selama tiga tahun terakhir sekurang-kurangnya mempunyai nilai baik.

”Jadi, kami mematuhi seluruh aturan yang ada saja,” ujar Akmal.

Akmal melanjutkan, penjabat yang akan dipilih tentu harus berkualitas, berintegritas, dan netral. Namun, kembali lagi, itu merupakan kewenangan pimpinan, dalam hal ini Presiden dan Mendagri. ”Masih jauh, tenang saja, tidak usah terburu-buru,” katanya.

Meski demikian, ia mengakui pelatihan bagi calon penjabat kepala daerah sangat penting. Selain akan menjabat dalam waktu yang relatif lama, mereka juga akan menghadapi tantangan yang berbeda di tengah pandemi. ”Kami latih mereka sampai hebat nanti,” tuturnya.

Waktu terus berjalan. Paling dekat, pada Mei 2022, setidaknya 5 gubernur, 6 wali kota, dan 37 bupati sudah berakhir masa jabatannya dan harus diisi dengan penjabat kepala daerah. Artinya, hanya sekitar enam bulan lagi, mereka harus mampu memastikan penjabat yang akan diangkat berkualitas dan tidak terafiliasi oleh kepentingan politik apa pun. (NIKOLAUS HARBOWO/NINA SUSILO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi di halaman 8 https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/11/18/tematis-proyeksi-2022-otak-atik-penjabat-kepala-daerah