August 8, 2024

Silang Pendapat Parpol soal ”Presidential Threshold” Kembali Mengemuka

Partai politik kembali bersilang pendapat terkait ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden atau presidential threshold menyusul bermunculannya permohonan uji materi pasal terkait dalam Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Sejumlah partai menilai ambang batas dibutuhkan agar jalannya pemerintahan berjalan efektif. Sebagian partai lain menilai keberadaan ambang batas membatasi hak masyarakat yang ingin berkontestasi dalam pemilu presiden.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan, misalnya, menolak ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden (wapres) dihapuskan. Besaran syarat kursi ataupun raihan suara seperti tertera dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pun tak perlu diubah besarannya.

Pasal itu menyebutkan pasangan calon presiden (capres)-calon wapres (cawapres) diusulkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang memenuhi syarat minimal 20 persen kursi DPR atau paling sedikit 25 persen suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Adapun yang mendukung penghapusan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden di antaranya Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto, Rabu (15/12/2021), mengatakan, presidential threshold dibutuhkan agar presiden-wapres terpilih memiliki basis legitimasi yang kuat. Presiden-wapres terpilih juga bisa memperoleh basis dukungan yang memadai dari DPR agar jalannya pemerintahan berjalan efektif.

”Gugatan menghapuskan presidential threshold sama saja tidak memahami bagaimana syarat pemerintahan presidensial dapat berjalan efektif, di mana sistem tersebut hanya akan berjalan dengan padanan multipartai sederhana dan dukungan kursi 20 persen,” katanya.

Ia menggambarkan periode pertama dan kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo yang meski didukung minimal 20 persen kursi atau 25 persen suara, tetap belum cukup untuk bisa membuat jalannya pemerintahan berjalan efektif. Karena itu, pemerintah berkoalisi dengan parpol lain.

”Jika presiden tanpa dukungan parlemen atau (presidential threshold) nol persen, dipastikan pemerintahan akan tidak stabil. Ketika dihadapkan pada krisis, akan berdampak pula pada instabilitas politik. Dalam situasi eksternal tersebut, jika pemerintah tidak solid dan legitimasi dari parlemen rendah karena dukungan nol persen, instabilitas politik yang terjadi akan berdampak pada krisis,” jelasnya.

Hasto meminta demokrasi dalam pemilu tidak diukur dari jumlah calon yang ikut berkontestasi. Kontestasi yang terlalu liberal justru berpotensi menciptakan krisis dan membelah bangsa. ”Sementara kontestasi pilpres (pemilu presiden) sesungguhnya merupakan resultante dari banyak aspek, tetapi berakar pada proses kaderisasi sistemik sejak awal, rekam jejak kepemimpinan di dalam menangani krisis, dan juga kemampuan membangun energi kolektif bagi kemajuan,” ujarnya.

Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate juga menyatakan pentingnya pasangan capres-cawapres terlebih dahulu didukung oleh kekuatan partai politik yang memadai, khususnya di tengah multipartai yang ada di negeri ini saat ini.

”Penerapan nol persen presidential threshold belum dibutuhkan oleh Indonesia saat ini. Namun, kami tentu menghormati hak politik warga negara yang mengusulkan judicial review atas presidential threshold ke MK walaupun pernah ditolak oleh MK,” ujar Johnny.

Meski dengan ketentuan ambang batas itu Nasdem harus berkoalisi dengan parpol lain untuk mengusung capres-cawapres di Pemilu 2024, sikap Nasdem, menurut Johnny, tak berubah. Sebab, Nasdem lebih mengutamakan kualitas demokrasi serta kualitas presiden dan wakil presiden yang dihasilkan melalui sirkulasi demokrasi yang juga berkualitas.

Adapun Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR Ahmad Baidowi mengingatkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden-wapres sudah berulang kali diputuskan MK. MK dalam putusannya memberikan kekuasaan kepada pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR, untuk mengatur ketentuan ambang batas tersebut. Dengan pemerintah bersama DPR telah memutuskan tidak ada revisi UU Pemilu, aturan ambang batas yang ada sekarang berlaku untuk Pemilu 2024.

”Adanya presidential threshold sebagai bentuk insentif atau penghargaan kepada partai politik yang sudah berjuang di pemilu. Selain itu, jangan sampai presiden terpilih nantinya tidak mendapat dukungan di parlemen sehingga akan menghambat kebijakan yang dibuatnya,” kata Baidowi.

Yang paling demokratis

Sebaliknya, menurut anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Sjarifuddin Hasan, ambang batas yang paling demokratis ialah nol persen. Dengan demikian, akan lebih terbuka ruang bagi anak bangsa untuk bisa turut berkontestasi dalam pemilu presiden.

”Kita seharusnya memberikan kesempatan kepada setiap anak bangsa untuk memberikan gagasan terbaik dalam memimpin negeri ini dan tidak dibatasi melalui presidential threshold,” katanya.

Penghapusan ambang batas pun dinilainya sejalan dengan amanat UUD 1945. ”Di dalam UUD 1945 disebutkan pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol, tanpa ada istilah presidential threshold ataupun ambang batas,” katanya.

Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi sepakat dengan Sjarifuddin. Menurut dia, dihapuskannya ambang batas akan memunculkan dan menumbuhkan tunas-tunas baru bagi kepemimpinan bangsa dan negara. Ini sekaligus bisa menghilangkan kesan dan persepsi negatif kepada parpol yang dianggap sebagai pembajak sistem demokrasi Pancasila dan menjadi akar kepemimpinan oligarki sebagai virus bagi kesehatan demokrasi.

”Meski presidential treshold nol persen, saya yakin tidak semua partai politik akan mencalonkan kadernya di pilpres mengingat ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, misalnya logistik, elektabilitas, serta struktur dan organisasi kampanye,” katanya.

Selain itu, dihapuskannya ambang batas diyakininya bisa menghilangkan bahaya potensi konflik akibat pasangan capres-cawapres hanya dua pasangan, seperti terlihat pada Pemilu 2019.

Kepentingan parpol

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menilai, perbedaan sikap di antara parpol terjadi karena parpol memiliki kepentingan masing-masing. Namun, terlepas dari kepentingan itu, penerapan ambang batas berimbas pada terbatasnya jumlah calon dalam pilpres. Calon-calon alternatif atau justru calon yang diinginkan publik bisa pula terganjal karena ada ketentuan ambang batas.

Ia juga menepis kekhawatiran tidak adanya ambang batas akan berimplikasi setiap parpol bakal mengajukan calon. Ia yakin betul, dalam mengusung calon, parpol tak akan asal mencalonkan, tetapi mempertimbangkan kemenangan dan efek raihan suaranya ke parpol atau efek ekor jas.

Selain itu, ia melihat koalisi yang terjadi ketika ambang batas dihapuskan lebih alamiah. Parpol tidak dipaksa berkoalisi untuk memenuhi aturan dalam UU Pemilu seperti terjadi di pemilu sebelumnya sehingga koalisi yang terjadi diyakini bisa lebih solid.

Dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia, lanjut Djayadi, idealnya memang tidak perlu ambang batas pencalonan presiden-wapres. Ia mencontohkan negara-negara lain yang menganut sistem presidensial, seperti Amerika Serikat, Brasil, Filipina, dan negara-negara Amerika Latin, juga tak memberlakukan ambang batas.

”Kalau ada presidential treshold, seolah-olah ada sistem parlementer karena memberikan mandat ke partai kemudian menjadi syarat mengajukan presiden,” katanya.

Perdebatan lama

Perlu tidaknya ambang batas pencalonan presiden sudah lama diperdebatkan. Setiap kali UU Pemilu direvisi, perdebatan itu muncul. Alasan yang dikemukakan setiap kubu pun sama dengan yang diutarakan kubu pro ataupun kontra saat ini.

Belakangan, perdebatan itu kembali menguat setelah sejumlah pihak mengajukan permohonan uji materi pasal yang mengatur ambang batas dalam UU Pemilu ke MK.

Permohonan pertama diajukan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Juliantono pada 7 Desember lalu. Disusul permohonan dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Bustami Zainudin dan Fachrul Razi, pada 10 Desember. Kemudian pada 13 Desember, giliran mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

MK pun sudah pernah memutus uji materi terkait ambang batas pencalonan. Dalam beberapa kali putusannya, MK menegaskan pengaturan mengenai ambang batas pencalonan presiden itu adalah kebijakan pembentuk UU, yang pengaturannya diserahkan kepada pembentuk UU (open legal policy). Oleh karena itu, rumusan pengaturan mengenai ambang batas itu adalah ranah pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR. (RINI KUSTIASIH/IQBAL BASYARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/12/15/silang-pendapat-parpol-soal-presidential-threshold-kembali-mengemuka