Film Election besutan sutradara Alexander Payner ini paduan dari drama komedi yang gelap dan penuh dengan intrik politik tetapi dikemas dengan gaya casual dan ringan. Film yang ditujukan untuk segmen remaja ini menceritakan mengenai kehidupan yang damai seorang guru PKN (civic) di sebuah desa kecil di Omaha, Nebraska yang menjadi berubah 180 derajat ketika ia berusaha menghalangi salah seorang siswinya yang sangat cerdas (over achieving) dan ambisius, Tracey Flick (Reese Witherspoon), menjadi Presiden SMA.
Jim percaya Tracey tidak pantas mendapatkan gelar Presiden sekolah, karena telah berhubungan intim terhadap teman baiknya (Dave) yang merupakan sesama guru di SMA tersebut yang berakibat fatal. Terlebih lagi ketika Tracey mempresentasikan petisinya kepada Jim, dia mengucapkan kata-kata bahwa mereka akan bekerja lebih dekat (working closely) yang dianggap Jim sebagai sebuah rayuan dan sekaligus ancaman. Akhirnya dengan menggunakan dalih-dalih demokrasi dan janji-janji masa depan yang cemerlang, Jim berhasil membujuk Paul Metzler (Chris Klein), seorang pemain rugby (sepak bola Amerika) yang populer dan berhati baik di sekolah, untuk maju menjadi calon Presiden SMA.
Alur cerita semakin menarik ketika Tammy (Jessica Campbell), adik dari Paul turut ikut dalam kontestasi politik sekolah ini. Disebabkan patah hati karena ditolak oleh Lisa (Frankie Ingrassia) pujaan hatinya yang beralih menyerangnya dengan menjadi pacar dan sekaligus tim sukses kakaknya sendiri ia nekad maju menjadi kompetitor kakaknya meskipun secara struktur dia belum cukup umur dan jenjang (calon Presiden haruslah mereka yang duduk di kelas XII sedangkan Tammy baru kelas XI SMA).
Dalam pidato pemilihannya, Tammy membuat kejutan besar dengan pidatonya yang kontroversial. Berbeda dengan Tracey dan Paul yang memiliki dialog yang dogmatis dan normatif, Tammy mengatakan bahwa pemilihan Presiden SMA tidak ada gunanya dan jika dia terpilih dia akan membubarkan dewan pelajar (OSIS). Pidato ini mendapat sambutan yang luar biasa dari para siswa-siswi SMA tersebut.
Proses pelanggaran kampanye juga diceritakan di dalam film ini ketika Tracy pada suatu malam murka dan menghancurkan semua poster kampanye Paul. Dalam usahanya menghancurkan barang bukti, Tammy melihat Tracey dan mengamankan semua barang bukti tersebut. Keesokan harinya, ketika berhadapan dengan Jim, Tracy tegas menyatakan tidak bersalah. Sementara itu Tammy yang memegang bukti fisik tersebut datang dan kemudian mengaku melakukan pelanggaran tersebut dan didiskualifikasi dari pemilihan serta dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mengacau.
Hari pemilihan umum, Jim mengawasi penghitungan suara. Paul yang baik hati ternyata merasa bahwa ia berbuat sombong jika memilih namanya sendiri di kotak suara sehingga ia memilih Tracy . Siapa sangka keputusan ini memiliki konsekuensi yang mahal. Surat suara tersebut secara cermat dihitung oleh dua panitia dari unsur siswa dan menemukan bahwa Tracy unggul satu suara. Salah satu dari panitia memberikan kode kepada Tracy bahwa ia telah menang dalam pemilu kali ini. Ketika Jim melihat Tracy menari penuh semangat di aula ia menyimpulkan bahwa Tracy telah tahu keputusan dari pemilu tersebut.
Jim pun melakukan penghitungan suara sendiri untuk mengesahkan pemilu dan Jim memutuskan secara diam-diam membuang dua surat suara Tracy dan Paul menyatakan pemenang resmi . Keputusan ini memunculkan keraguan dan shock dari dua panitia pemilu yang merupakan wakil murid-murid, mereka sangat yakin bahwa penghitungan suara awal mereka adalah akurat. Banyak pihak yang sangat kecewa terutama Tracy dan keluarganya. Keesokan harinya petugas kebersihan menemukan dua surat suara dibuang dan memberikan kepada sekolah, Jim dihadapkan dengan dakwaan berat dan akhirnya mengundurkan diri dari sekolah.
Film yang diadaptasi dari novel karya Jim Taylor dan Tom Perotta ini memiliki berbagai konflik dan dialog-dialog sinis yang cerdas dalam sebuah ajang kontestasi demokrasi skala kecil di SMA. Hal ini membuat film ini begitu memukau dengan plot yang tidak mudah ditebak dan setiap karakter menjadi sulit untuk dilupakan. Penonton terpaksa membangun hubungan cinta dan benci (love and hate relationship) kepada setiap karakter yang berperan di dalamnya.
Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia, film ini memberikan sebuah miniatur akan penyelenggaraan pemilu dalam konteks yang sebenarnya. Banyak sekali anggota dewan yang dengan ambisinya berusaha mencapai kursi kekuasaan dengan segala cara. Menggunakan cara-cara kotor seperti politik uang dan melakukan banyak pelanggaran kampanye. Beberapa anggota dewan yang muda dan tidak berpengalaman sama sekali dalam kehidupan dan kerja-kerja publik, seperti Paul, mendadak dicalonkan untuk memenuhi kuota atau mencalonkan diri karena iming-iming kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat nantinya.
Penyelenggara Pemilu yang sudah melakukan tugasnya dengan baik juga gagal dalam memberikan pendidikan dan informasi politik kepada pemilih pemula dan muda sehingga banyak yang tidak tahu apa urgensi dari memilih pemimpin mereka. Tidak heran jika pada akhirnya ketika ada provokator seperti Tammy yang berkata bahwa pemilu tidak ada gunanya, respon yang diberikan adalah tepuk tangan sambil berdiri (standing ovation) karena keberanian dan kepercayaan diri untuk mengatakan hal yang satir dan tabu di hadapan publik.
Isu gender gap juga cukup ketara, ketika seorang perempuan yang memiliki ambisi untuk maju kepanggung politik harus dapat menungguli laki-laki dalam segala bidang dan terkadang itupun tidak cukup. Tracy Flick diimajikan sebagai seorang perempuan ambisius dan licik dalam keseluruhan film terlepas dari segala usaha dan kerja kerasnya untuk mendapatkan popularitas dengan cara yang jujur dan bermartabat dengan menjadi siswa berprestasi baik dalam sisi akademis maupun organisasi.
Bahkan isu seksualitas pun menjadi ganjalan yang besar bagi siswi ini ketika ia membuka hubungan dengan seorang Dave guru matematikanya yang sudah dewasa dan berkeluarga. Dengan pemahaman awam dari Jim, Tracy dianggap sebagai perusak rumah tangga yang akhirnya dibalas mentah-mentah dengan argumen dari Tracy bahwa dia hanyalah seorang siswi yang juga dimanfaatkan oleh gurunya dan Jim tidak berhak menyerangnya seperti itu atau dia akan menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum.
Dalam hal ini terlihat jelas kelindan antara politik informal dan forrmal, bahwa sisi privat juga mempengaruhi politik dan politik jelas mempengaruhi hubungan privat sebagaimana slogan the personal is political. Gambaran akan politik seksualitas di dalam film ini menggambarkan sebuah ironi yang terjadi tentang pemaknanaan mengenai politik dan gender di kalangan perempuan yang dicalonkan atau mencalonkan diri menduduki jabatan-jabatan publik
Pada akhirnya film ringan ini memberikan makna yang dalam tentang politik itu sendiri. Dari sisi filosofi terdapat pelajaran berharga yang ditawarkan film ini yaitu perbedaan antara etika dan moral yang menjadi pertanyaan pembuka di dalam film ini menjadi begitu relevan untuk merefleksikan ending dari film ini. Moral dan etika kedua-duanya terkait erat dengan perbuatan benar dan salah. Etika adalah seperangkat aturan yang dijalani oleh individual karena faktor eksternal (misal diatur oleh hukum dan undang-undang) sedangkan moral lebih merujuk kepada prinsip-prinsip individual mengenai benar dan salah. Pertanyaan yang menggelitik pada akhirnya merujuk pada perdebatan para filsuf bahwa “Adakah moral di dalam politik?â€.
Sang sutradara dengan piawai membuat penonton menjadi seperti Tuhan yang dapat melihat segala sesuatunya dari berbagai segi. Penonton berkali-kali dibenturkan dari sudut pandang yang satu ke sudut pandang yang lainnya dan dibebaskan untuk memilih memihak kepada nilai-nilai yang mana?
Setiap karakter digambarkan tidak ada yang sempurna, semua memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dengan sangat manusiawi. Sebagaimana posmodernisme mengkaji relativisme etika (ethical relativism) dan bahwa tidak mungkin bagi manusia untuk mengetahui bahwa sebuah realitas adalah objektif atau pernyataan tentang realitas adalah objektif atau pernyataan manusia dapat mengetahui segala sesuatu dengan sangat jelas karena realitas, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai dikonstruksi melalui diskursus tertentu. []
DIAH SETIAWATY