Indah Manurung bercerita tentang pengalamannya mengajar mata pelajaran dan mengenalkan pendidikan politik sebagai bagian penting demokrasi kepada siswa di sekolahnya. Guru Bahasa Indonesia di SMAK Penabur Jakarta ini berkeyakinan pendidikan politik sangatlah penting bagi siswa agar sadar politik dan kelak mau menjadi bagian untuk perubahan yang lebih baik.
“Jadi yang ditekankan, perlu adanya pemahaman dan kesadaran kalau politik bukan sekedar urusan parpol, bukan urusan yang di parlemen saja. Pendidikan politik harusnya bisa kita bawa dalam kelas,” ujar Indah dalam diskusi “Guru dan Pendidikan Politik” yang disiarkan langsung melalui YouTube Yayasan Cahaya Guru (17/10).
Sebagai pihak paling dekat dengan siswa, guru mempunyai banyak keistimewaan dalam hal mengajarkan pendidikan politik. Guru bebas memilih topik pembelajaran dengan catatan tidak keluar jalur kurikulum. Indah memberi contoh, sebagai guru Bahasa Indonesia, ia seringkali mengangkat isu tentang politik dan demokrasi melalui pengenalan terhadap guru-guru bangsa, misalnya mendalami pemikiran demokrasi Mohammad Hatta.
Indah sangat senang dan bangga sekali ketika salah seorang muridnya, kelas 12 datang kepadanya dan mengatakan ingin melanjutkan kuliah di jurusan Hukum, karena mempunyai impian menjadi anggota DPR. Sebelumnya, saat kelas 11, ia sempat mengikutsertakan siswanya itu memahami demokrasi dan bagaimana politik dijalankan dalam program Parlemen Remaja.
“Melalui mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan macam itu, setidaknya paradigma murid tentang politik dan demokrasi sudah berbeda,” tutur Indah.
Cerita lain dituturkan Rio Pratama, Guru SMAN 1 Pontianak. Sebagai guru sejarah ia mengatakan banyak sekali materi sejarah yang bisa diarahkan untuk pendidikan politik dan demokrasi. Hal itu menjadi penting, karena menurut Rio, kehidupan sehari-hari erat kaitannya dengan politik dan demokrasi.
Guru yang juga Ketua Satu Dalam Perbedaan (SADAP) tersebut menuturkan, Kurikulum Merdeka juga semakin memudahkan pendidikan politik. Melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang satu di antaranya adalah suara demokrasi, siswa terlibat langsung mulai pengetahuan dasar tentang politik dan demokrasi, serta dielaborasi dengan kegiatan lain di sekolah.
“Mulai dari pemilihan OSIS, ada yang menjadi panitia, Timses. Jadi terlibat secara langsung dalam sistem politik, meskipun lingkupnya kecil di dalam sekolah. Setidaknya mereka tahu dari situ,” kata Rio.
Selain itu, menurut Rio kehadiran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk melakukan edukasi bagi pemilih pemula, yang akan melakukan pemilihan pertama kali juga sangat penting. Karena menurutnya masih banyak siswa yang masih kebingungan dalam memilih.
Staf Ahli Menteri Bidang Regulasi Kemendikbud Ristek, Nur Syarifah menerangkan, dunia pendidikan sebagai ruang kebebasan berpendapat, menjadi ruang strategis bagi guru untuk menempatkan kembali konsep pendidikan politik sebagai kerangka dari pendidikan kewarganegaraan. Karena pandangan umum tentang politik adalah persepsi kotor tentang politik.
“Pendidikan politik itu arahnya untuk kebaikan bersama, untuk kepentingan pemerintahan dan bernegara. Bahkan di UU Partai Politik Pasal 1 ayat (4) diartikan sebagai proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, serta tanggung jawab setiap warga negara,” terangnya.
Menurut Nur Syarifah, pendidikan politik harusnya terprogram, terarah dan terencanakan. Karena bertujuan menyampaikan pengetahuan mengenai politik, partisipasi politik, kelembagaan politik, penyelenggaraan pemerintahan negara, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan.
“Jadi esensi besarnya harusnya berkelanjutan. Mulai dari lingkungan rumah, lingkungan saling menghargai, itu merupakan satu kerangka dalam pendidikan politik dan demokrasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan, tugas pendidik adalah mentransformasikan pendidikan politik secara jelas kepada peserta didik dan mendorong untuk berkreasi, berdebat, menerima, atau menolak pandangan yang berbeda. Hal itu, bisa dilakukan dengan membuat simulasi dan konsensus melalui pemilihan ketua OSIS dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
“Saya sangat bangga sekali, guru-guru telah mempraktikannya, banyak hal yang saya pelajari dari guru-guru. Dengan metode pembelajaran yang lebih aktual, untuk mengembalikan politik pada khittahnya, kita kembalikan politik itu bagian dari pendidikan kewarganegaraan,” pungkasnya.
Dewan Pembina Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, pendidikan politik harus berlangsung secara berkelanjutan, karena aspeknya sangat luas. Menurutnya, pendidikan politik akan menjadi problem ketika baru bicara memasuki tahapan pemilu.
“Sama halnya dengan Parpol yang baru turun ketika pemilu sudah dekat. Kerja-kerja pendidikan politik itu kewajiban partai yang harus dilakukan secara terus menerus, karena kita bicara soal sistem nilai,” terang Titi.
Menurut Titi, demokrasi bisa tergelincir dan kembali ke oligarki jika tidak dijaga dan sistem nilainya tidak ditegakkan. Untuk itu, demokrasi membutuhkan kehadiran masyarakat dan harus menjadi bagian dari sistem pendidikan yang harus dilakukan terus menerus. Karena salah satu yang menentukan kualitas pemilu adalah pemilih yang berdaya dan terinformasi dengan baik, sehingga mampu membuat keputusan yang bermakna.
Karena ketidakpercayaan pada kapasitas pengambilan keputusan pada anak, maka anak rentan pengambilan keputusan berdasarkan relasi kuasa. Selain itu, menurut Titi dengan konsep pemilu satu orang satu suara, pemahaman anak tentang pemilu sebaiknya dimulai sejak anak belum menjadi pemilih. Lalu, ketika pada usia 17 tahun dan menjadi pemilih mereka memiliki suara yang setara dan bebas menentukan pilihannya.
“Bagaimana membangun kepercayaan diri pada anak bahwa suaranya sama, bilik suaranya rahasia, surat suara itu rahasia, dan apa yang dipilih tidak bisa menjadi alat intimidasi terhadap dirinya. Jadi kalau punya kepercayaan diri, dia punya kepribadian yang kokoh untuk memberikan suara,” jelasnya.
Lebih lanjut, menurutnya pendidikan politik yang tak kalah penting adalah voter education, memandu pemilih pemula untuk bisa terdaftar sebagai pemilih, mengenali calon dan tahapan teknis lainnya. Karena Titi menyebut, pada Pemilu 2019 angka surat suara yang tidak sah masih sangat tinggi.
Sementara itu, perwakilan KPU, Muhammad Risyad Fahlefi mengatakan bahwa KPU sudah memaksimalkan pendidikan politik bagi masyarakat dan pemilih muda. Melalui satuan kerja sampai tingkat kelurahan, semuanya terlibat dalam kegiatan sosialisasi dan pendidikan politik. Misalnya melalui, kirab pemilu, indeks partisipasi pemilu, KPU Goes to school atau pesantren.
“KPU tidak pernah ada henti-hentinya untuk membombardir informasi mengenai pemilu pada masyarakat,” kata Risyad dalam diskusi yang sama.
Ia menjelaskan, yang penting disampaikan dalam pendidikan politik di antaranya mengenai, demokrasi dan pluralisme, memberikan sosialisasi mengenai pemilu, tahapan pemilu, dan tata cara menggunakan hak pilih. Selain itu juga penting untuk memberikan pengetahuan tentang program, gagasan, hingga rekam peserta pemilu. []
AJID FUAD MUZAKI