Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Dalam suratnya MPKP meminta Presiden bertindak tegas melakukan evaluasi terhadap keanggotaan DKPP yang diberi mandat mulia untuk menjaga kehormatan dan kemandirian penyelenggara pemilu.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Ayat (4) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan, ‘Setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat diganti antar waktu’. Ketentuan tersebut dirumuskan oleh pembentuk UU dengan tujuan menjamin dan menjaga integritas lembaga DKPP,” tulis MPKP dalam surat terbuka, Jakarta (31/10).
MPKP menilai DKPP tidak mampu bekerja secara obyektif dalam menilai fakta dan alat bukti yang jelas-jelas menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap prinsip mandiri dan prinsip profesional. Padahal, Majelis pemeriksa perkara selain dituntut memiliki pengetahuan yang mumpuni juga dituntut memiliki integritas tinggi, agar mencerminkan keadilan dan mewujudkan kontestasi yang jujur, adil, dan inklusif.
“Pertimbangan putusan DKPP tidak sinkron antara fakta dan konklusi jenis pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu,” tulisnya.
Surat terbuka yang diterbitkan pada Selasa 31 Oktober 2023 tersebut juga berisi laporan krisis integritas penyelenggara pemilu. MPKP menerangkan bahwa pihaknya telah menempuh serangkaian advokasi untuk mengawal dan memastikan implementasi kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD. Mulai dari membangun komunikasi dengan Bawaslu untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan mengajukan uji materi di Mahkamah Agung (MA), hingga meminta pertanggungjawaban etik Ketua dan Anggota KPU melalui sidang pemeriksaan DKPP.
Melalui putusan MA NO.24 P/HUM/2023, MA mengabulkan permohonan penghitungan 30 persen keterwakilan perempuan. Penghitungan ini harus dilakukan pembulatan ke atas dan menetapkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan UU Pemilu dan tidak memiliki kekuatan hukum.
“Namun sampai saat ini, KPU tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap dan mengikat. KPU tidak memulihkan pemenuhan hak politik perempuan sebagai calon Anggota DPR dan DPRD sekurang-kurangnya 30% di setiap daerah pemilihan,” tulis MPKP.
Akibatnya, tidak kurang dari 7.971 perempuan telah kehilangan haknya untuk dicalonkan sebagai calon Anggota DPR dan DPRD. Padahal ini merupakan ketentuan afirmatif yang sudah dijamin undang-undang pemilu dan dikuatkan Putusan MA. []