Suara dan pilihan orang muda pada Pemilu 2024 menjadi penentu arah dan hari depan Indonesia. Bukan sekedar dugaan, hasil survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan salah satu fitur yang menjadi pembeda utama dalam kontestasi elektoral empat bulan lagi, ialah besarnya porsi partisipasi generasi Z (kelompok pemilih usia 17–23 tahun) dan generasi Milenial (kelompok pemilih usia 24–39 tahun). Fitur ini berdampak signifikan terhadap strategi para politisi yang memperebutkan ceruk suara pemuda agar dapat menduduki jabatan publik, setidak-tidaknya selama lima tahun ke depan.
Sebagian pemuda telah memiliki pemahaman yang cukup baik tentang Pemilu. Mereka mengetahui bahwa suara yang mereka berikan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) akan menentukan siapa presiden, siapa anggota parlemen, dan siapa kepala daerah mereka nantinya. Pemuda sepenuhnya sadar bahwa hak suara adalah hak dasar dalam demokrasi dan bahwa setiap suara memiliki nilai penting. Namun, sebagian besar dari mereka masih tidak sepenuhnya memahami seluk-beluk politik dan dinamika Pemilu.
Risma, salah satu pemilih pemula, mengatakan bahwa ia tidak terlalu banyak mengetahui tentang Pemilu. “Yang saya tahu, capres dan cawapresnya banyak. Terus, ini juga kali ketiga Pak Prabowo nyapres,” ujar Risma kepada Suara Mahasiswa. Risma juga menyebut bahwa ia belum mengetahui visi dan misi masing-masing Calon. Ketika ditanya mengenai minatnya terhadap Pemilu, ia menunjukkan sikap acuh tak acuh. “Tidak begitu antusias karena siapapun yang terpilih jadi presiden dan wakil presiden tidak [akan] terlalu berpengaruh dalam hidup saya,” akunya.
Makna Suara Pemuda
Pendirian Risma kiranya mewakili kegelisahan segelintir pemuda yang tidak sepenuhnya menganggap Pemilihan Umum 2024 sebagai hal yang penting. Hal ini, menurut akademisi hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, merupakan hasil sistem politik Indonesia yang menjadikan pemuda sebagai objek politik.
“Padahal, anak muda harus jadi subjek yang dapat memengaruhi atau berkontribusi menghasilkan pemimpin atau pemerintahan yang baik, sehingga suara mayoritas anak muda ini bisa punya daya tawar untuk mendorong kepentingan masyarakat,” tukas Titi kepada Suara Mahasiswa saat dijumpai di kantornya, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (11/9).
Argumentasi Titi sepenuhnya beralasan. Pemilih muda, yang menempati suara 51% dari 204.807.222 DPT 2024, menjadi incaran politisi guna memenangkan Pemilu 2024. Hal ini tampak dari strategi para calon presiden untuk menarik atensi pemuda seperti Prabowo Subianto yang mengundang influencer sembari menyantap mie Gacoan, Anies Baswedan yang menonton animasi khas jepang (anime), serta Ganjar Pranowo yang rutin mengunggah konten di akun YouTube pribadinya. Capres dan cawapres yang akan bertanding menuju kursi RI 1 juga mengembangkan strategi media sosial untuk mendapatkan jutaan followers di akun media sosial mereka. Hal tersebut ditengarai akan memudahkan mereka untuk menyebarkan konten-konten kampanye kelak..
Dirincikan oleh context.id, jumlah pengikut media sosial capres paling banyak diraup Ganjar Pranowo di Instagram (6,3 juta) dan pada platform Tiktok (7,3 juta), Anies Baswedan pada aplikasi X (4,9 juta), dan Prabowo Subianto unggul di Facebook dengan (10 juta) pengikut. Hal serupa ditemukan di akun media sosial para calon wakil presiden, dengan jumlah pengikut media sosial paling tinggi dimiliki oleh Muhaimin Iskandar dengan jumlah pengikut 2,2 juta di platform Instagram dan 1,1 juta pengikut di akun Facebook, disusul Mahfud MD sebesar 4,3 juta pengikut di platform X, serta Gibran Rakabuming Raka yang mendapat 345,4 ribu pengikut di platform Tiktok.
Dengan jumlah pengikut sedemikian besar dan strategi kampanye yang niscaya difokuskan di media sosial, sudah waktunya pemuda mempersiapkan diri menjadi pemilih rasional, dengan memilah kampanye berbasis isu dan bukan berbasis popularitas tokoh semata-mata, serta mengurangi apatisme terhadap politik elektoral. Hal tersebut sejalur dengan pernyataan dari Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik sekaligus dosen Ilmu Politik FISIP UI, Hurriyah.
“Sayangnya, memang kalau kita lihat tren beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan anak muda itu cenderung apatis terhadap politik, terutama politik elektoral. Ngomongin Pemilu, ini bukan sesuatu yang unik terjadi di Indonesia, tetapi bahkan di negara-negara maju sekalipun. Misalnya, riset yang dibuat oleh Cammerts tahun 2016 memperlihatkan bahwa di banyak negara-negara Eropa itu anak muda cenderung apatis bahkan tidak memilih atau golput, tetapi mereka tetap meyakini bahwa Pemilu dan demokrasi itu penting.”
Temuan Hurriyah sejalan dengan hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan Agustus 2022 lalu bahwa selain isu elektoral, orang muda relatif apolitis. Lima dari sepuluh partisipan muda jarang mengikuti pemberitaan politik, bahkan tidak sedikit yang mengaku tidak pernah sama sekali. Hanya seperempat responden yang mengikuti isu politik nasional maupun lokal. Hanya 16 persen di antaranya yang menyatakan sering dan 9,4 persen yang menyatakan selalu mengikuti. Hal ini menunjukkan, orang muda sejatinya tidak buta politik, tetapi kecenderungan menjauhkan diri dari politik elektoral, sangatlah tinggi.
“Bukan karena mereka nggak ngerti politik, tetapi lebih pada faktor kekecewaan ketika melihat kondisi politik dan elektoral di negaranya masing-masing, termasuk saya kira di Indonesia,” ungkap Hurriyah.
Rasional dalam Medsos
Survei CSIS juga menemukan, media sosial merupakan sumber informasi utama bagi sebagian besar pemuda dengan persentase 59%. Tak heran, media sosial menjadi panggung sandiwara para politisi, dan efektif menjadi alat kampanye melalui algoritma-algoritma yang dapat diatur sedemikian rupa.
Ujung-ujungnya, pemilu kembali berbasis tokoh, bukan berbasis isu dan pilihan beralasan, melainkan karena pemilih semata terpikat citra yang dibangun oleh para tokoh di media sosial. Citra elok dikedepankan. Gagasan orisinal dibuang ke belakang.
Sebagai instrumen, media sosial sangat efektif untuk memancing perhatian, mendapat reaksi spontan, sekaligus membangun citra populis yang muluk-muluk, alih-alih mengedepankan pertukaran gagasan orisinal yang kritis dan bermutu. Hal ini sangat menguntungkan bagi para calon untuk dengan mudah memikat pemuda. Strategi pemolesan citra pun dilakukan sedemikian rupa, dengan tetap membiarkan para pemilih tidak menemukan ide atau konsep kepemimpinan yang akan dibawa.
Media sosial dimanfaatkan para pelaku politik dengan mengatur algoritma untuk menggaet suara pemuda. Berkaca dari skandal Cambridge Analytica yang menggunakan data pengguna Facebook guna pemenangan kampanye mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump pada 2016 silam, diperlukan kehati-hatian ekstra dalam menggunakan media sosial untuk kepentingan politik ini. Terpaut dengan hal itu, jumlah informasi yang berlimpah berpotensi menimbulkan tersebarnya berita palsu (hoaks).
Public Affairs Lead Think Policy dan Bijak Memilih, Try Luthfi Nugroho mengatakan, ada banyak pihak yang sengaja menyebarkan informasi yang salah atau hoaks. Mereka melakukan hal tersebut untuk kepentingan mereka sendiri.
“Sehingga, kita perlu lebih skeptis dan juga bijak dalam mencerna informasi yang beredar di publik,” ujar Luthfi.
Ketua BEM FISIP UI 2023, Rafka Rilo pun menyampaikan kekhawatirannya. Menurutnya, banyak ketidaknetralan di media saat ini, khususnya media sosial.
“Kita tidak boleh percaya dengan satu sumber informasi saja karena tidak ada informasi yang sepenuhnya netral. Saran saya, kita harus melakukan fact checking terhadap informasi yang kita dapat guna memastikan informasi yang dikeluarkan itu kredibel. Jadi enggak boleh percaya dengan satu sumber informasi aja,” tutur Rafka.
Signifikansi partisipasi politik pemuda, antara lain melalui pemilu, kembali ditegaskan Hurriyah. Menurutnya, ada kepercayaan teoretis dalam ilmu politik yang meyakini bahwa pemuda mempunyai peran sebagai agensi perubahan. Sebagai penyandang gelar itu, terbentuklah penggunaan hak pilih pemuda sebagai voters, yaitu dengan menjalankan kewajiban Demos (rakyat) dalam mengawasi praktik Cratos (kekuasaan).
Hal tersebut senada dengan pernyataan tertulis Try Luthfi Nugroho bahwa untuk bisa memilih dengan bijak, kita perlu mengetahui beberapa hal. Salah satunya dengan melakukan riset melalui internet terkait partai politik mana saja yang menaruh perhatian terhadap isu-isu penting. Ia menambahi, bahwa pemuda perlu melihat rekam jejak partai politik serta kandidat yang diusung oleh partai tersebut.
“Bijak Memilih telah meluncurkan website yang merangkum dan menguraikan informasi relevan serta kredibel untuk teman-teman pemilih muda. Mulai dari isu penting, rekam jejak partai politik, dan nantinya adalah terkait rekam jejak kandidat,” tulisnya. []
CHOIRUNNISA NUR FITRIA, SARAH BAASIR, dan CHRIS WIBISANA