Badan Pengawas Pemil (Bawaslu) menggelar sidang perdana dugaan pelanggaran administrasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam proses penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024. Sidang ini merupakan tindak lanjut pelaporan Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP). Pada sidang pertama ini, Bawaslu mendengarkan penjelasan Pelapor tanpa kehadiran KPU sebagai Terlapor. Selanjutkan, sidang kedua akan dilakukan dengan mendengarkan jawaban KPU.
“Sidang berikutnya akan dilanjutkan pada hari Kamis tanggal 23 November, jam 13.00 WIB dengan agenda pembacaan jawaban Terlapor (KPU) dan juga pembuktian,” kata Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja di Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat (21/11).
Para anggota KPU tidak hadir sama sekali dalam sidang. Semua anggota KPU dalam waktu yang bersamaan dengan sidang, ada di luar negeri melakukan bimbingan teknis Pemilu 2024.
Sebelumnya, Koalisi melaporkan KPU setelah penetapan DCT anggota DPR dan DPRD tidak memenuhi syarat kuota 30 persen keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan. KPU dinilai tidak sesuai dengan tata cara penerapan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam penetapan DCT.
“Melaporkan pelanggaran administratif pemilu oleh KPU yang menetapkan DCT Anggota DPR pada Pemilu 2024,” kata Dosen Hukum Universitas Indonesia, Wirdyaningsih dalam sidang.
Menurut Wirdya, pemerintah dan DPR telah sepakat menjamin keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif paling sedikit 30 persen melalui UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Wirdya menjelaskan dalam pasal 284 UU Pemilu mengatur kewajiban KPU provinsi dan kabupaten/kota melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon serta terpenuhinya kuota keterwakilan paling sedikit 30 persen. Namun KPU melakukan penghitungan pembulatan keterwakilan perempuan ditarik ke bawah.
“Untungnya Mahkamah Agung (MA) mengoreksi pasal tersebut melalui Putusan MA No.24 P/HUM/2023 pada 29 Agustus 2023,” kata Wirdya.
Namun sampai ditetapkannya DCT anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, KPU mengabaikan perintah MA. Hal itu berakibat merugikan hak politik perempuan untuk menjadi calon anggota DPR dan DPRD.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay mengatakan, dari 18 partai politik peserta pemilu 2024, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan di 84 dapil. Sementara 17 partai politik sisanya tidak semua dapil memenuhi kuota caleg perempuan minimal 30 persen di tiap dapil.
Partai tersebut di antaranya, Partai Kebangkitan Bangsa tidak memenuhi keterwakilan perempuan di 29 dapil; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 26 dapil; Partai Demokrat 24 dapil; Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 22 dapil; Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) 21 dapil; Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) 19 dapil; Partai Amanat Nasional (PAN) 17 dapil; Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Bulan Bintang (PBB) 16 dapil; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 12 dapil; Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) 9 dapil; Partai Buruh 6 dapil; Partai Persatuan Indonesia (Perindo) serta Partai Ummat 5 dapil; dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 4 dapil.
“Perbuatan KPU tersebut secara nyata dapat diklasifikasi sebagai pelanggaran administrasi pemilu, yaitu pelanggaran terhadap mekanisme yang berkaitan dengan administrasi tahapan pencalonan pemilu,” ucap Hadar.
Dalam sidang tersebut Koalisi meminta KPU untuk memperbaiki DCT Anggota DPR dan DPRD yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilih. Koalisi juga menuntut untuk membatalkan atau mencoret DCT yang diajukan partai politik di daerah pemilihan yang tidak memuat keterwakilan perempuan. []