Transparency International Indonesia (TII) melakukan penilaian terhadap pengurus pusat partai politik pemilik kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Sembilan partai dinilai perlu melakukan upaya optimalisasi dalam hal kapasitas dan praktik keterbukaan keuangan. TII menilai itu berdasarkan dimensi regulasi internal, struktur dan sumber daya manusia, serta keterbukaan informasi, pada setiap dimensi rerata diperoleh 26%-50% skor dengan kecenderungan tidak optimal.
“Dari temuan kami, tidak ada satupun partai politik yang warnanya biru, artinya kondisinya optimal. Yang paling bagus Gerindra sekalipun itu kondisinya masih cenderung optimal, belum sepenuhnya optimal,” kata peneliti TII, Sahel Muzammil dalam “Festival Antikorupsi Internasional 2023” di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Tangerang Selatan, Banten (14/12).
Lebih lanjut Sahel menerangkan, pada dimensi regulasi keuangan internal, hanya partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang memenuhi kategori cenderung optimal. Sementara delapan partai politik sisanya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masuk kategori cenderung tidak optimal.
Sementara dalam dimensi struktur dan sumber daya manusia, partai Gerindra dan PKS terkategori cenderung optimal. Partai Golkar, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, PPP masuk kategori cenderung tidak optimal. Dan PDIP terkategori partai paling tidak optimal.
“Pada dimensi keterbukaan informasi, Gerindra terkategori cenderung optimal. Lima partai politik lainnya PDIP, Nasdem, PKB, PKS, PAN terkategori cenderung tidak optimal. Dan tiga partai terkategori tidak maksimal yaitu; Golkar, Demokrat, dan PPP,” paparnya.
TII juga menemukan, kesembilan partai politik tidak selalu mematuhi standar yang ditentukan undang-undang. Delapan dari sembilan partai politik sama sekali tidak membuka pembukuan, daftar penyumbang, dan jumlah sumbangan yang diterima. Kesembilan partai juga belum melakukan tindak lanjut terhadap Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang dicanangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2018 lalu.
“Kalau dari sisi profesionalisme kelembagaan, kesembilan partai juga memperlihatkan profesionalisme belum sepenuhnya jadi kultur di internal partai politik, misalnya langkah program penguatan kapasitas internal partai,” pungkasnya. []