Menjelang pemungutan suara Pemilu 2024 Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Disinformasi Pemilu merilis temuan gangguan informasi mengenai pemilu. Temuan itu antara lain berupa berita bohong atau hoaks, dan ujaran kebencian di jejaring media sosial. Sepanjang tahun 2023 persentase disinformasi politik mencapai 55,5%, menjadi yang tertinggi dalam pemilu.
“Sepanjang tahun 2023, kami menemukan sebanyak 1.292 disinformasi politik. Jumlah di tahun ini lebih banyak dua kali lipat dari tahun 2019 dengan 644 disinformasi,” kata Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho Mafindo saat konferensi pers “Temuan Hoaks Pemilu dan Potensi Hoaks Jelang Pemungutan Suara” di Kantor Bawaslu, Jakarta (12/2).
Septiaji mengatakan, Youtube menjadi platform penyebaran hokas politik terbanyak dengan persentase 44,6%, disusul Facebook dengan 34,4%, TikTok sebesar 9,3%, Twitter atau X 8%, Whatsapp 1,5% dan Instagram menjadi paling kecil dengan 1,4%. Menurutnya, mendekati hari pemungutan suara, jumlah kenaikan hoaks di media sosial semakin meningkat, pada Januari 2024 Mafindo menemukan 347 hoaks dengan 214 hoaks Politik dan 150 hoaks pemilu.
Lebih lanjut, berdasarkan temuan Mafindo, semua capres-cawapres menjadi sasaran hoaks politik. Septiaji memaparkan, Anies Baswedan menjadi kandidat paling banyak disebut dalam narasi hoaks, dengan 206 hoaks politik bernada positif dan 116 bernada negatif. Sementara Muhaimin Iskandar menjadi sasaran hoaks paling sedikit, hanya 17 hoaks positif dan 5 hoaks negatif.
Sementara Ganjar Pranowo, mendapatkan 63 hoaks positif dan 73 hoaks negatif dan Mahfud Md mendapat 44 hoaks positif dan 5 hoaks negatif. Kemudian Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendapatkan dengan total 140 hoaks negatif. Dengan rincian, Prabowo mendapatkan 66 hoaks negatif dan 28 hoaks positif, sementara Gibran mendapatkan 74 hoaks negatif dan 12 hoaks positif.
“Yang menjadi perhatian adalah isu nya sudah mulai ada pergeseran. Isu-isu yang coba mendelegitimasi penyelenggara pemilu semakin meningkat,” ujarnya.
Koalisi juga menemukan disinformasi yang mendelegitimasi proses pemilu, melalui konten yang menyerang penyelenggara pemilu dan kredibilitas tahapan pemilu. Topik disinformasi diantaranya berkaitan dengan independensi penyelenggara pemilu dan keberpihakan penyelenggara pemilu pada kandidat tertentu. Sementara topik yang menyerang kredibilitas tahapan pemilu berkaitan dengan kecurangan-kecurangan dalam tahapan pemilu serta intervensi asing terhadap penyelenggaraan tahapan pemilu.
“Kategori ini secara kuat menarasikan bahwa penyelenggara pemilu partisan dan melaksanakan tahapan pemilu untuk memenangkan pasangan calon dan partai politik tertentu,” kata Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia.
Selain itu, Amalia juga menuturkan, berdasarkan hasil pemantauan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) ujaran kebencian di media sosial pada kelompok rentan meningkat menjelang hari pemungutan suara. Setidaknya ditemukan 140 konten ujaran kebencian di Instagram, Facebook, dan TikTok selama September 2023. Amalia menyebut kelompok minoritas yang paling banyak menjadi target adalah perempuan dengan 42 konten, Lesbian, Gay, Transgender, Queer (LGBTIQ) sebanyak 33 konten, disabilitas mental 31 konten, pengungsi Rohingya 17 konten, sisanya etnis minoritas Tionghoa dan masyarakat adat.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lolly Suhenty mengatakan, Bawaslu melalui kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan 255 pelanggaran pemilu berupa berita bohong dan ujaran kebencian di media sosial. Lolly menyebut sebanyak 342 temuan pelanggaran pemilu di media sosial menyasar capres-cawapres dan sisanya menyasar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu.
“Bawaslu juga mengambil langkah cepat dengan segera men-takedown konten-konten melanggar, dan menggencarkan pengawasan di media sosial,” ujarnya.
Lolly juga mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengawasi konten sosial media dengan melaporkan konten bermuatan ujaran kebencian dan hoaks kepada Bawaslu. Ia juga mengatakan, pihaknya akan menguatkan kerjasama dengan platform media sosial untuk mencegah pelanggaran pemilu setelah pemilihan.
Dalam konferensi pers tersebut, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga memaparkan temuannya, Analis Kebijakan Muda BSSN, Nurul Hasani mengatakan sepanjang januari 2023 hingga sekarang terdapat 549 misinformasi di media sosial dengan 91 isu krusial. Menurutnya, setengah dari jumlah misinformasi terjadi pada masa kampanye, yakni 259 temuan dan 3 isu krusial pemilu.
“Penanganan hoaks dari BSSN menggunakan sistem deteksi keamanan siber untuk menemukan konten negatif dan hoaks pemilu,” terangnya.
Koalisi menuturkan hoaks paling berpengaruh pada Pemilu 2024 berisi klaim dukungan terhadap kandidat tertentu dengan persentase 33,1%, selain itu banyak serangan terhadap kandidat, tokoh politik dan pemerintah menggunakan isu korupsi sebanyak 12,8%, hoaks penolakan sebanyak 10,7%, karakter atau gaya hidup negatif 7,3%, kecurangan pemilu 5%, dan isu SARA sebanyak 3,9%. Menurut koalisi isu kecurangan pemilu, keberpihakan pemerintah dan administrasi kepemiluan meskipun bukan 3 terbesar namun sangat berdampak pada kepercayaan public terhadap pemilu.
Untuk itu, koalisi mendorong platform-platform media sosial melakukan penghapusan terhadap akun yang terpantau memproduksi dan menyebarkan disinformasi dan ujaran kebencian terkait pemilu secara rutin. Koalisi mencatat, konten yang dihapus merupakan gangguan informasi pemilu dan telah melampaui kebebasan berekspresi. Upaya itu dinilai perlu karena dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu dan berpotensi memicu konflik di masyarakat. []