August 8, 2024

Kecurangan Pemilu dalam Tinjauan Konstitusi

Banyaknya kecurangan dan pelanggaran dalam Pemilu 2024 dinilai disebabkan karena hukum terpisah dari etika dan moral politik, hal itu terlihat dari banyaknya pelanggaran etik yang diterima penyelenggara pemilu. Padahal pelanggaran etik bisa menjadi objek sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dalih kegagalan penyelenggara menciptakan pemilu yang akuntabel.

Mengingat peran pentingnya MK dalam memutus sengketa Pemilu 2024, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Idul Rishan mengatakan, MK harus mencermati kasus pelanggaran etik Anwar Usman sebelum memvonis perselisihan hasil pemilu (PHPU). Menurutnya, MK harus memperhatikan nilai-nilai kejujuran dari seluruh tahapan kontestasi pemilu serta mempertimbangkan kondisi kecurangan yang luput dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Kalau misalnya kita merujuk pada putusan MK sebelumnya dalam sengketa hasil pemilu atau pilkada, itu ada yang namanya permohonan diskualifikasi, kalau misalnya ternyata KPU dan Bawaslu itu luput,” kata Idul Rishan dalam diskusi bertajuk “Kecurangan Pemilu dari Perspektif Konstitusi dan Hukum Administrasi Negara” di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan (22/2).

Idul berpendapat, permasalahan Pemilu 2024 sudah sangat pelik karena kecurangan-kecurangan sudah terjadi sejak awal proses pemilu. Hal itu menurutnya, juga telah merusak kredibilitas lembaga-lembaga negara yang punya peran memastikan keberhasilan pemilu. Ia mencontohkan putusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres serta pelanggaran etik KPU karena mengesahkan pendaftaran Gibran sebagai cawapres.

“Kita punya kejadian Mahkamah Konstitusi meloloskan salah satu paslon cawapres yang sekiranya putusannya itu salah. Kemudian putusan majelis Mahkamah Konstitusi juga sudah ditetapkan mengatakan bahwa ketua MK diberhentikan sebagai ketua MK dan kemudian nonaktifkan untuk perkara pemilu,” jelas Idul.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Iwan Satriawan mengatakan, sebenarnya perubahan konstitusi empat kali telah memberi ruang koreksi pada sistem. Namun ia menilai, dalam hal sistem kepemiluan masih belum sempurna, hal itu disebabkan buruknya budaya politik di Indonesia.

“Bentuk political culture yang baik adalah pejabatnya memiliki standar etik yang tinggi, selama kita masih menganggap etika itu bukan persoalan serius, saya pesimis negara ini maju,” ujar Iwan Satriawan.

Selain itu Iwan juga meragukan penyelesaian sengketa pemilu di MK, berdasarkan penelitiannya komposisi hakim MK selalu memiliki kecenderungan melegitimasi kebijakan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Iwan mengatakan, waktu penyelesaian sengketa pemilu di MK sangat terbatas, ia memandang tidak diubahnya waktu 14 hari tersebut merupakan bagian dari desain awal keberpihakan.

“Sebagai warga negara kita tidak 100% menolak tahapan itu, tapi pengalaman saya membuktikan itu tidaklah mudah,” tegasnya.

Iwan menegaskan, jika pemilu dijalankan dengan pelanggaran konstitusi yang serius, legitimasi pemilu akan rendah dan pemerintahan tidak akan efektif. Padahal pemerintahan yang efektif menentukan proses demokrasi yang berisi semua kepentingan publik.

Sementara itu menurut Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara UGM, Richo Andi Wibowo mengenai penyalahgunaan kekuasaan presiden dan para menteri untuk pemenangan salah satu paslon harusnya dapat selesai dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan pemerintah. Namun Richo menilai, proses peradilan terlalu panjang, padahal seharusnya hanya membutuhkan waktu 3-5 hari. Ia juga mengatakan, jika berkaca pada kasus gugatan Pj Kepala Daerah, peradilan terlalu percaya dengan eksekutif bahwa sedang melakukan tindakan yang sah secara hukum.

“Cara pandang dan arsitektur hukum perlu diubah agar masyarakat bisa lebih tangguh dalam kasus serupa kedepannya”, ucap Richo.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai pemilu mestinya menyoroti berbagai hal yang sesuai dengan konstitusi, bukan hanya meributkan angka perolehan suara. Menurut Titi, pemilu sebagai instrumen demokrasi harus dijaga kehormatannya dengan menjauhkan proses pemilu dari upaya yang mengganggu demokrasi.

“Angka bisa dihasilkan dari proses manipulasi, jadi kalau kita hanya terjebak bahwa angka adalah segalanya, maka kita tidak akan pernah mendapatkan proses pemilu yang dikehendaki konstitusi yaitu proses pemilu yang langsung umum bebas rahasia jujur dan adil,” kata Titi.

Menurut Titi pemilu merupakan proses panjang yang harus dipastikan sebelum dan sesudah pemungutan suara. Ia menjelaskan konstitusi menghendaki pemilu yang murni dan berkala dalam satu paket. Melalui hal itu, pemilu tidak hanya sekedar dimaknai sebagai ritual lima tahunan.

“Supaya kita tidak sekadar terjebak pemilu sebagai ritual, tetapi pemilu sebagai instrumen demokrasi yang sesungguhnya,” tegasnya. []