December 26, 2024

Pemilu 2024: Kolaborasi Multipihak dalam Menjaga Kepercayaan Demokrasi

Informasi yang muncul pasca pemilihan umum (pemilu) sangat tidak terbatas dan berpotensi memunculkan polarisasi dan penyebaran disinformasi yang dapat menurunkan legitimasi pemilu dan kepercayaan terhadap demokrasi. Berbagai isu seperti aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang belum difungsikan dengan baik serta banyaknya informasi keliru setelah pemungutan suara.

“Kita harus memanage berbagai misinformasi agar tidak bereskalasi lebih jauh lagi, kemudian adalah hal-hal yang terkait dengan perhitungan atau data pemilu itu sendiri,” kata Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Yose Rizal Damuri dalam diskusi bertajuk “Kolaborasi Multipihak Menjaga Integritas Data Pemilu 2024”, di kawasan Jakarta Pusat (28/2).

Pada Pemilu 2024 tak sedikit koalisi masyarakat sipil melakukan upaya pengecekan fakta seputar pemilu. Menurut temuan koalisi Cek Fakta, disinformasi pemilu tidak hanya didominasi antar serang pendukung, namun juga hoaks yang menyasar lembaga penyelenggara pemilu. Tantangan lainnya, berupa volume informasi salah lebih besar dari kapasitas pengecekan fakta serta informasi kabur yang muncul secara sporadis di berbagai daerah.

Inisiatif tersebut menurut perwakilan Koalisi Lawan Disinformasi Pemilu, Khoirunnisa Nur Agustyati muncul karena kerangka regulasi Pemilu 2024 belum cukup mendorong ekosistem digital yang demokratis. Upaya itu menurut Ninis, bertujuan untuk memperkuat kemampuan pemilih untuk mendeteksi, menganalisis, dan mengungkap disinformasi pemilu.

“Ada gap informasi yang tidak tersampaikan kepada pemilih, kepada masyarakat secara umum, apalagi di tengah situasi kompetisi yang sangat ketat,” kata Khoirunnisa.

Menanggapi persoalan Sirekap, Khoirunnisa berharap KPU lebih responsif menanggapi persoalan tersebut. Karena narasi delegitimasi pemilu di media sosial akibat kesalahan teknis Sirekap memiliki sentimen negatif yang tinggi. Ia menyarankan, KPU perlu membangun komunikasi publik yang responsif secara berkala.

“Nantinya KPU perlu membuka diri agar Sirekap ini bisa diaudit oleh lembaga-lembaga yang independen,” harapnya.

Sementara menurut, Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Loina Perangin-Angin, kemunculan hoaks mengikuti dinamika masyarakat, ia menyebut pada tahun 2020 banyak hoaks mengenai kesehatan sementara hoaks terkait pemilu mulai banyak muncul sejak Februari 2023 dan meningkat bulan Juni 2023. Loina juga mengungkapkan bahwa hoaks mengalami revolusi, jika sebelumnya lebih banyak konten yang menyesatkan melalui judul dan isi yang berbeda, konten yang bekembang saat ini lebih banyak konten manipulasi melalui teks dan video.

“Masalahnya, ketika dia (hoaks) bentuknya teks plus video, memverifikasi datanya itu susah. Bayangkan, videonya diambil dari berbagai sumber terus digabung-gabung jadi satu,” terangnya.

Berdasarkan temuan Mafindo, selama bulan Januari 2024 hingga hari pencoblosan, ditemukan 347 hoaks, 214 diantaranya masuk dalam kategori hoaks politik dan 150 sisanya hoaks pemilu. Loina menerangkan, topik hoaks yang diangkat pada tahapan kampanye masih didominasi klaim dukungan, sementara isu kecurangan dan keberpihakan pemerintah juga meningkat, seiring dengan tingginya isu delegitimasi pemilu.

Lebih lanjut, menurut Loina untuk mengatasi hoaks perlu klarifikasi dari pejabat ataupun institusi yang terkait. Namun ia memandang hal itu belum dilakukan dengan baik, bahkan terdapat kecenderungan mendiamkan. Padahal menurutnya, klarifikasi sangatlah penting untuk membuat debungking dan prebungking dalam pemeriksaan fakta.

“Ini memang kerja keras, jadi perlu kolaborasi, koordinasi dengan berbagai multipihak,” pungkasnya.

Sementara inisiator platform urun daya (crowdsourcing) aplikasi JagaSuara 2024, Hadar Gumay mengatakan, suara pemilih perlu dijaga untuk tidak dimanipulasi. Menurutnya, suara pemilu tidak boleh diubah-ubah, kemurnian dari suara menurutnya harus tetap dijaga dan tidak boleh dicurangi meskipun ada kesepakatan.

Aplikasi JagaSura 2024 memiliki kesamaan dengan Sirekap KPU, yakni dengan memanfaatkan foto C. Hasil sebagai basis data. Hadar menyebut, kesalahan baca Optical Character Recognition OCR pada Sirekap merupakan hal yang wajar, yang tidak wajar adalah jika kesalahan tersebut tidak terdeteksi dan tetap masuk ke dalam rekapitulasi.

“Selain kami membaca foto-foto yang dikumpulkan baik dari masyarakat langsung maupun dari KPU, akhirnya kami juga mempelajari Sirekap itu, karena kamikan membandingkan gitu,” kata Hadar.

Berdasarkan analisis tim Jaga Suara 2024, masalah utama dalam Sirekap adalah kegagalan pada proses verifikasi entri data sebelum publikasi. Menurut Hadar, hal itu terjadi karena petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tidak melakukan koreksi atau salah dalam melakukan koreksi, sementara Sirekap menerima apa adanya entri data KPPS tanpa melakukan verifikasi ulang.

“Sistem Sirekap tidak memiliki kemampuan untuk mendeteksi C. Hasil janggal yang akan memaksa verifikasi ulang oleh tim verifikator sebelum publikasi,” kata Hadar.

Lebih lanjut Hadar menyebut, karakteristik sebaran kesalahan Sirekap bersifat acak dan memiliki kecenderungan penggelembungan merata di semua pasangan calon dan tidak mempengaruhi urutan suara total. Kesalahan itu, menurut Hadar tidak ada indikasi kecenderungan menguntungkan paslon tertentu.

“Karakteristik sebaran kesalahan konsisten dengan kesalahan pembacaan OCR,” pungkas Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) tersebut. []