August 8, 2024

Makan Siang Gratis Harus Dimulai dari Kejelasan Anggaran

Program makan siang gratis dan susu gratis yang diusung capres-cawapres Prabowo-Gibran dinilai perlu pertimbangan yang matang dalam penerapannya. Meski demikian, pekan lalu simulasi program makan siang gratis digelar di SMP Negeri 2 Curug, Tangerang, Banten, di bawah koordinasi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dengan biaya makan siang per anak sebesar 15 ribu rupiah. Program tersebut juga sempat dibahas pada rapat kabinet Presiden Joko Widodo di Istana dan bakal dimasukkan dalam rencana anggaran 2025.

“Tujuan makan siang gratis harus jelas dulu, jika untuk stunting tentu tidak tepat, karena stunting untuk dibawah umur 2 tahun. Jadi yang perlu diintervensi bukan anak-anak sekolah, tetapi dewasa muda yang sudah siap berkeluarga dan kemudian dipastikan gizinya cukup sehingga anaknya terlahir dengan sehat,” kata Founder Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih dalam Ruang Publik KBR bertajuk “Kritis Bedah Program Makan Siang Gratis”, Jakarta (5/3).

Diah mengatakan, besaran 15 ribu rupiah juga harus mempertimbangkan nilai gizi dalam makanan, jika tidak demikian ia menyebut akan berdampak pada masalah nutrisi lainnya. Diah menerangkan, saat ini Indonesia menghadapi tiga beban malnutrisi (triple burden of malnutrition) yaitu kekurangan gizi, kurus atau wasting serta kelebihan gizi atau obesitas.

“Jadi jangan sampai memadamkan api di satu tempat tapi mengobarkan api di tempat lain, itu makannya evidence base policy menjadi penting,” kata Diah.

Sumber anggaran program makan siang gratis memang banyak dipertanyakan, karena bakal menyedot ratusan triliun rupiah. Manager Hukum dan Demokrasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Gulfino memandang pembahasan program makan siang oleh pemerintah untuk tahun 2025 terkesan tergesa-gesa, karena bahkan saat ini proses pemilu belum selesai dan KPU belum mengumumkan secara resmi pemenang pemilu.

“Kita sebagai negara hukum, untuk setiap keputusan harus disertai dengan proses-proses yang legal. Di lain sisi, saat ini masih ada kelangkaan sembako yang belum diurai persoalannya,” kata Gulfino.

Menurut Gulfino, kebijakan tersebut harus dimulai dari kejelasan anggaran, jangan sampai memotong anggaran-anggaran yang sudah sustain dan sudah memiliki dampak. Penting juga untuk memastikan payung hukum dan kelembagaan yang mengelola agar program tersebut juga dapat produktif. Ia menyebut program tersebut harus mencangkup aspek gizi, teknis dan finansial. Menurutnya, menjadi tidak rasional ketika dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) digunakan untuk makan siang gratis.

“400 Triliun itu setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 40 Provinsi setara dengan DKI Jakarta. Sementara ini, menurut perspektif kami, analisis anggaran tidak rasional untuk dilakukan dalam waktu dekat, sekalipun cuman diuji di beberapa tempat,” jelasnya. []