August 8, 2024
Peluncuran Hasil Pemantauan PHPU Pilpres di kawasan Cikini, Jakarta Pusat (24/4). Rumahpemilu.org/Rikky MF

Perludem Soroti Kualitas Pembuktian dalam PHPU Pilpres 2024

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Sengketa Hasil Pemilihan Presiden (PHPU Pilpres) yang diajukan oleh pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. MK melalui Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan Putusan Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 menilai permohonan keduanya seluruhnya tidak beralasan menurut hukum.

Dalam putusan tersebut, tiga hakim yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Saldi Isra menilai pembagian bansos menjelang pemilu memiliki korelasi dengan kepentingan elektoral, Enny meyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang berkelindan dengan pemberian bansos di beberapa daerah. Sementara Arief Hidayat menyebut terdapat dugaan intervensi kuat dari kekuasaan eksekutif di Pilpres 2024.

Merespon dinamika PHPU Pilpres tersebut, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menganggap MK masih menjadi mahkamah kalkulator karena masih fokus pada selisih suara dalam pertimbangan hukumnya. Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafidz menilai hakim lebih mendalami selisih hasil perolehan suara dari pada kualitas pembuktian maupun dalil-dalil pemohon.

“Dalam distribusi bansos yang kemudian sangat berdampak pada elektabilitas kandidat-kandidat tertentu, tetapi itu tidak dipertimbangkan. Kemudian dianggap sebagai bukan pelanggaran yang mempengaruhi hasil,” kata Kahfi dalam acara peluncuran hasil pemantauan PHPU Pilpres di kawasan Cikini, Jakarta Pusat (24/4).

Kahfi juga menayangkan, banyaknya Amicus Curiae atau sahabat pengadilan yang diajukan sejumlah akademisi, tokoh politik, hingga masyarakat sipil namun tidak dijadikan pertimbangan putusan terutama dalam pertimbangan hukum. Ia juga mencatat, PHPU Pilpres 2024 menjadi putusan terbanyak yang memerintahkan perbaikan terhadap kekosongan hukum dalam UU Pemilu.

Mahkamah mengelompokkan isu permohonan dalam enam kluster isu meliputi, independensi penyelenggara pemilu, keabsahan pencalonan Gibran, bantuan sosial, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), prosedur penyelenggaraan pemilu, dan pemanfaatan Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap). Kahfi menyoroti soal politisasi bansos, dalam pertimbangan dan putusannya, MK menilai perencanaan dan distribusi bansos merupakan tindakan yang sah secara hukum karena memang terdapat peraturan yang melandasinya.

“MK tidak mau masuk ke dalam kewenangan-kewenangan lembaga yang lain, walaupun ini sebetulnya sangat berkaitan dengan perselisihan pemilu,” ujar Kahfi.

Lebih lanjut, MK melihat bahwa dalil pemohon terkait bansos dengan pilihan pemilih tidak memiliki hubungan kausalitas antara penyaluran bansos dengan peningkatan perolehan suara salah satu paslon. Selain itu MK juga tidak menemukan landasan hukum terkait ketidaknetralan presiden yang mengakibatkan keuntungan pasangan Prabowo-Gibran. Hal itu karena parameter ketidaknetralan presiden dalam pemilu tidak diatur tegas dalam undang-undang.

“Jadi sebetulnya, MK sudah menyadari bahwa ada problem ketidaknetralan presiden, cuma tidak ada tolak ukur, sehingga MK menyatakan tidak beralasan menurut hukum,” kata Kahfi.

Dalam temuannya, kata Kahfi ada ahli yang dihadirkan untuk menjelaskan menggunakan pendekatan ekonometrika yang mengaitkan antara bansos, wilayah penyalurannya, populasi dengan keterpilihan kandidat. Menurutnya sebenarnya pemohon mau menjawab tantangan MK melalui kuantitas, namun MK menganggap bukti tersebut masih kurang meyakinkan.

Sementara Manager Program Perludem, Fadli Ramadhanil menilai waktu 14 hari kerja bagi MK untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara PHPU Pilpres merupakan waktu yang sangat singkat. Dampaknya, proses pembuktian tidak dapat dilakukan dengan mendalam sehingga bukti yang dihadirkan kurang meyakinkan hakim.

Fadli mencontohkan terkait politisasi bansos, meski hakim merasa kurang bukti, namun tidak meminta pemohon untuk menambahkan alat bukti. Fadli juga memandang, paradigma hakim dalam PHPU Pilpres tidak konsisten, padahal MK pernah mengabulkan PHPU Pilkada terkait politisasi bansos yang dilakukan gubernur Sumatera Selatan.

Lebih lanjut, Fadli menayangkan mayoritas pertimbangan hakim MK terkait mobilitas ASN dan nepotisme Presiden Jokowi yang menyatakan hal tersebut tidak dapat dibuktikan. Ia menganggap MK seolah menutup mata terkait pencalonan Gibran yang bermasalah sejak awal, meski putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang telah menyatakan terdapat pelanggaran etik dalam pencalonan Gibran sebagai cawapres.

“Menurut saya memang ada problem pendekatan terhadap menilai sebuah kualitas pembuktian di tengah waktu yang sangat singkat,” kata Fadli.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menyatakan banyaknya Amicus Curiae dan adanya dissenting opinion menunjukkan bahwa Pemilu 2024 memiliki banyak masalah. Ia menegaskan, rekomendasi dalam dissenting opinion MK penting untuk dijadikan catatan penyelenggaraan pemilu selanjutnya. Ninis berharap catatan dari MK menjadi prioritas pembahasan yang diselesaikan jauh sebelum Pemilu 2029.

“Jadi rekomendasi-rekomendasi perubahan itu penting untuk dilakukan saat ini juga, ini momentumnya,” ujar Ninis.

Berdasarkan Pantauan Perludem, setidaknya MK memerintahkan terhadap pihak terkait mengenai paradigma netralitas kekuasaan eksekutif, aturan khusus mengenai penyaluran bansos mendekati pemilu, dan mengatur pembatasan penggunaan dana dan program pemerintah untuk kepentingan pribadi. Selain itu MK juga memerintahkan penyempurnaan UU Pemilu, UU Pilkada maupun peraturan perundangan yang mengatur kampanye dan pelanggaran administratif pemilu, serta aturan yang jelas bagi pejabat yang merangkap jabatan sebagai pejabat publik dan sebagai tim kampanye.

Sementara pada Bawaslu, MK memerintahkan untuk menyusun standar operasional dan prosedur, tata urut yang baku untuk menindak pelanggaran pemilu yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah kampanye. Hal itu diperlukan agar Bawaslu memperoleh hasil kesimpulan yang memiliki pijakan yang kuat dan komprehensif. []