August 8, 2024

Pilkada 2024 Terancam Masalah Integritas Penyelenggara Pemilu

Menjelang Pilkada 2024, berbagai masalah yang muncul dalam proses seleksi dan pelaksanaan tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menimbulkan kekhawatiran dalam hal integritas dan keadilan penyelenggaraan pemilu. Sejak proses pembentukan tim seleksi anggota KPU dan Bawaslu pada tahun 2021 sudah menunjukkan tanda-tanda permasalahan sejak awal.

“Namun, proses itu tidak lepas dari berbagai masalah yang berdampak signifikan pada integritas penyelenggara pemilu,” kata Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz dalam diskusi “Dampak kecurangan pemilu presiden bagi Pilkada 2024,” di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan (7/5).

Kahfi menjelaskan, proses rekrutmen anggota lembaga penyelenggara pemilu seringkali tidak terlepas dari pengaruh politik. Bahkan di Filipina, anggota KPU ditunjuk langsung oleh presiden, sedangkan di negara lain proses seleksinya sangat dipengaruhi oleh legislatif. Sementara di Indonesia, mekanisme seleksi melibatkan tim seleksi yang dibentuk oleh Presiden dan DPR untuk melakukan penyaringan dari ratusan kandidat hingga tersisa 14 orang yang kemudian diajukan ke DPR.

“Namun, proses ini pun tidak lepas dari masalah, terdapat kekhawatiran mengenai kapasitas dan independensi anggota tim seleksi yang dipilih,” jelasnya.

Ia menyebut, sejak awal Pemilu 2024 memiliki banyak persoalan disebabkan penyelenggara pemilu, termasuk masalah manipulasi data verifikasi partai politik dalam sistem informasi partai politik (Sipol). Beberapa partai politik yang seharusnya tidak memenuhi syarat karena kekurangan keanggotaan atau tidak memiliki kepengurusan di beberapa daerah, ternyata datanya dimanipulasi oleh KPU agar memenuhi syarat.

“Meskipun sudah ada putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan adanya manipulasi, DKPP tidak mengungkap lebih jauh mengenai asal perintah tersebut,” terangnya.

Selain itu, KPU juga dinilai kurang transparan dalam menyediakan data yang seharusnya dapat diakses publik, termasuk oleh Bawaslu yang memiliki otoritas pengawasan. Jelang Pilkada nanti integritas penyelenggara pemilu masih dipertanyakan karena dianggap dekat dengan kekuasaan maupun peserta pemilu. Hal itu berpotensi mengurangi independensi dan integritas penyelenggaraan pemilu.

Hal itu diperjelas dengan dikeluarkannya Peraturan KPU/10/2023 mengenai penghitungan keterwakilan perempuan politik. Meski Mahkamah Agung (MA) menganggap aturan tersebut tidak memenuhi syarat 30% keterwakilan perempuan dan membatalkan peraturan itu, namun KPU terkesan mengabaikannya, dampaknya banyak dapil yang tidak memenuhi jumlah minimal keterwakilan perempuan minimal 30% di setiap dapil.

“Masalah lain yang menjadi perhatian adalah calon kepala daerah yang memiliki sumber daya dan koneksi politik yang kuat. Belum ada peraturan jelas yang mengatur mengenai pejabat kepala daerah yang maju dalam pilkada, membuka peluang penyalahgunaan wewenang dan sumber daya negara,” ungkap Kahfi. []