September 13, 2024

Bivitri: DPR Perlu Pastikan Kepentingan Perempuan Terwadahi

Hasil pemilihan legislatif di Pemilu 2024 menunjukkan peningkatan jumlah perempuan yang terpilih di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persentase 22,1% keterwakilan perempuan. Sebanyak 128 orang dari total 580 anggota DPR RI periode 2024-2029 diperkirakan akan diisi oleh perempuan. Padahal Pemilu 2024 sebelumnya diharapkan menjadi perjalanan demokratis dengan peningkatan angka keterwakilan perempuan yang signifikan.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan angka keterwakilan perempuan sebanyak 22,1% mesti ditelaah lagi. Apakah jumlah itu sungguh dapat mewakili kepentingan perempuan atau hanya soal keterwakilan simbolis semata. Seharusnya, dalam tugasnya perempuan dalam DPR dapat memastikan kepentingan perempuan terwadahi, khususnya soal diskriminasi perempuan dan kebijakan berperspektif gender.

“Kalau mereka tidak mewakili itu semua, berarti keterwakilan ini hanyalah sebagai simbolis semata, bukan benar-benar mewakili perempuan lainnya. Untuk itu melihat perspektif itu penting,” ujar Bivitri dalam Indonesian Law Debating Competition Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok (21/4).

Sementara Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan aktivis kepemiluan, Titi Anggraini mengatakan, Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 yang berisi pembulatan ke bawah soal 30% keterwakilan perempuan membuat banyak dapil tidak memenuhi jumlah 30%. Titi menilai kebijakan itu merupakan sebuah kemunduran bagi keterwakilan perempuan.

“Kenapa keterwakilan minimal 30% ini penting, menurut PBB dalam kelompok beragam, maka ada satu kelompok yang mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan jika jumlahnya paling sedikit 30%, itu pun paling sedikit dan tidak pula tercapai,” ujarnya.

Lebih lanjut, kuota pencalonan perempuan sangat berpengaruh pada keterlibatan perempuan sebagai peserta pemilu di Indonesia. Harusnya melalui aturan Affirmative action dalam undang-undang bisa mendorong keterlibatan perempuan dalam politik. Titi berharap, partai politik dapat membangun strategi politik perempuan dalam penyertaan atau melibatkan perempuan secara formal.

“Selama masyarakat masih diskriminatif terhadap perempuan yang kerap dilabeli sebagai warga negara kelas dua, maka selama itu pula harus ada kebijakan afirmasi yang adil bagi perempuan,” tegas Titi. []