Awan (17 tahun) terlihat aktif menggulir layar telepon genggamnya. Tampilan media sosial Tiktok terlihat di sana. Awan memperhatikan setiap video yang mampir dalam halaman FYP (for your page). Tak hanya informasi mengenai hal-hal viral di keseharian, informasi tentang pilkada juga hadir.
“Untuk mencari informasi pilkada, saya lebih suka dari video pendek karena lebih mudah dicerna,” tutur siswa sebuah SMA swasta di Kota Cimahi tersebut. Tak hanya mengenai tata cara memilih, sebagai pemilih pemula juga Awan mencari informasi para paslon di media sosial. Dari visi misi, program kerja, hingga rekam jejaknya.
Sementara itu, seorang mahasiswa asal Kabupaten Bandung, Arin (20 tahun) mengaku lebih memilih mencari informasi pilkada di media sosial berbasis teks. Dirinya juga kerap membaca berita-berita dari media daring untuk menambah preferensinya mengenai latar belakang dan tawaran program kerja para paslon pilkada.
“Ketimbang video, saya lebih suka mencari informasi lewat bacaan,” ungkapnya.
Selama masa Pilkada 2024 berlangsung, ruang digital menjadi arena yang tak kalah ramai dengan panggung-panggung debat paslon di berbagai daerah. Ribuan informasi berseliweran, dari fakta valid hingga kabar yang sengaja dimanipulasi untuk menggiring opini publik. Bagi generasi muda yang mendominasi jumlah pengguna internet dan media sosial, situasi ini dapat menjadi ujian penting, yakni tentang bagaimana memastikan mereka tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga aktor yang kritis dan proaktif dalam menangkal misinformasi dan disinformasi yang beredar.
“Gen Z itu lahir di era teknologi yang sudah berkembang. Dengan banyaknya media sosial, mereka cenderung dimanjakan. Mereka merasa apa yang dibutuhkan ada di sana. Akhirnya dari situ bergulir keinginan untuk mencari informasi secara instan. Mereka punya akses luas kepada media, tapi malas membaca panjang. Ibaranya kalau ada yang instan, kenapa harus baca panjang?” ungkap Koordinator Media Sosial Litera Rasa Institute Sarah Annisa Fadhila.
Ia menjelaskan, saat ini terjadi pergeseran perilaku pengguna media sosial dari teks menjadi lebih tertarik kepada konten visual yang menarik. Hal ini terjadi baik untuk konten foto, infografis, maupun video. Situasi tersebut menjadi perhatian sebagai koridor para kreator konten dalam membuat informasi.
“Kita tidak bisa lagi bergantung ke konten tekstual. Masyarakat cenderung mencari video durasi pendek berdurasi di bawah satu menit dengan harapan bisa mendapatkan intinya, tidak mau basa-basi. Nah, kondisi ini dimanfaatkan kreator yang mau menyebarkan misinformasi dan disinformasi. Akhirnya masyarakat yang mengonsumsi video itu menganggap benar tanpa mencari versi lengkapnya,” tukas Sarah.
Menurutnya, keterampilan dalam berliterasi merupakan kemampuan wajib yang harus dimiliki oleh setiap orang pada masa sekarang. Apalagi kini media sosial menjadi hal tak terpisahkan dari kebiasaan sehari-hari. Namun yang menjadi tantangan adalah keaktifan generasi muda dalam pemakaian media sosial yang berbarengan dengan kebingungan mereka dalam menggunakan informasi berkualitas. Hal tersebut berkaitan dengan algoritma media sosial yang muncul berbeda-beda di setiap orang.
“Apa yang muncul di beranda tergantung dengan apa yang kita cari atau tonton, termasuk akun yang diikuti. Algoritma akan membawa kita sana. Ibarat kita suka sepak bola, tidak mungkin tips rias wajah yang muncul di beranda. Jadi bagus atau tidaknya informasi tergantung kita sebagai pengguna. Kita tidak bisa membungkam sumber-sumber info tersebut. Hal yang bisa kita lakukan adalah mau berpikir. Media sosial sekarang sudah mulai menggantikan mesin pencari seperti Google. Jadi harus pertimbangkan apakah informasi yang ada itu sudah benar atau abu-abu sebelum dibagikan,” jelas Sarah.
Dengan hanya mengandalkan kepada apa yg ada di beranda dan hal yang disukai maka pengguna akan terjebak dalam filter bubble. Kondisi ini menempatkan pengguna hanya berada pada gelembung informasi sejenis dan tidak bertemu perspektif lain. Berpikir kritis perlu digalakkan mengingat postingan yang mengandung disinformasi itu banyak sekali ditemukan. Ciri utama biasanya dari segi judul yang bombastis.
“Ini tuh supaya audiens langsung mau baca, nonton, share walaupun belum habis dibaca atau ditonton. Informasi hoaks itu diproduksi oleh entitas atau media yang tidak jelas asal usulnya. Banyak audiens yang masih mengonsumsi informasi dengan mentah karena tertarik lihat thumbnail. Ketidakmampuan untuk berpikir itu bahaya. Kita harus mau mengganggu zona nyaman sendiri supaya bisa komparasi dengan genre lainnya, ” ungkapnya.
Sebagai generasi Z, Sarah mengakui populasi generasinya berjumlah besar dan memiliki andil dalam keberhasilan pilkada. Namun ia ingin agar para generasi Z tidak hadir sekadar sebagai penonton, tetapi juga fokus terhadap partisipasi dan tahu ke arah mana kebijakan di daerahnya akan dibawa. Ia membeberkan, hasil kajian independen dari Litera Rasa Institute menunjukkan bahwa populasi generasi Z itu banyak namun sikap antipolitiknya pun tak kalah banyak.
“Misalnya ketika membicarakan dan melihat konten politik, mereka bilang ‘Ini mah urusan orang tua, bukan kita’. Ini kan bahaya karena apatisme politik bikin mereka tidak bisa berperan maksimal. Padahal mereka punya akses dan daya kemampuan untuk bisa terlibat dengan maksimal. Politik disebut seperti pertandingan menang kalah. Ketika melihat pembingkaian tersebut dan tidak terlibat di sana maka akan merasa sebagai penonton. Merasa peran mereka tidak penting di kancah politik,” ucap Sarah.
Menurutnya, sah-sah saja untuk mencari info politik di media karena itu adalah tanda generasi muda peduli dengan politik, tetapi tetap harus peka bahwa tidak semua konten yang ada dikemas dengan tujuan mengedukasi. Konten yang semakin singkat itu justru akan memanipulasi pikiran.
Membentuk Lingkungan Digital yang Sehat
Disinformasi merupakan informasi salah yang sengaja disebarkan oleh orang yang tahu informasi itu tidak benar dengan tujuan untuk menyesatkan atau memanipulasi. Sering kali pula dilakukan demi kepentingan tertentu seperti menggiring opini atau menciptakan kepanikan. Sedangkan misinformasi adalah informasi salah yang disebarkan oleh orang yang mengira informasi itu benar, tanpa ada niat buruk atau kesengajaan. Keduanya merupakan istilah spesifik dari hoaks alias informasi yang keliru.
“Dalam informasi pilkada, cara membedakannya adalah disinformasi itu sengaja dibuat untuk menjatuhkan salah satu lawan. Kalau misinformasi itu berita tidak akurat yang disebarkan tanpa berniat untuk mengelabui. Biasanya misinformasi itu terjadi karena si penerima pesan kurang pemahaman terkait informasi yang akan disampaikan,” tutur aktivis literasi digital dari Tular Nalar Mafindo Naely Suhaela.
Ia menambahkan, anak muda sangat berperan untuk turut serta menghalau hoaks. “Harus lebih kritis menanggapi berita yang ada. Tidak menangkap secara mentah-mentah. Sebagai mayoritas pengguna media sosial, anak muda juga berperan di lingkungan seperti membantu menginformasikan kepada orang tua. Mereka itu punya kekuatan untuk menyebarkan informasi termasuk hal-hal negatif selama pilkada,” ujarnya
Naely mengungkapkan, dari skala 1 sampai 5, tingkat literasi digital di Indonesia berada di skala 3,65 yang didominasi oleh anak muda. Hal ini berarti akses digital sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan menjadikan anak muda sebagai digital native karena kemudahan akses informasi. Oleh karena itu, penting sekali mereka memiliki keahlian dalam memverifikasi setiap informasi sebelum membagikannya di media sosial.
“Bisa kita lakukan dengan sebutan ABCD yaitu amati, baca, cari, dan diskusi. Amati itu tentang apa yang kita dapatkan, baca keseluruhan informasi dan jangan sekadar dari yang ditonjolkan, kemudian cari faktanya, dan diskusikan dengan ahli atau orang yang paham dengan berita tersebut. Kemudian juga ada sebutan wakuncar, yakni waspadai, kunjungi, cari. Waspadai informasinya, kunjungi lamannya, dan cari dari berbagai sumber,” jelas Naely.
Naely membenarkan bahwa saat ini terdapat tantangan bagi warganet dalam perannya mengawasi disinformasi di media sosial selama pilkada. Tantangan tersebut adalah etika ujian kebencian yang tidak berdasar. Misalkan dari satu berita viral, warganet turut memberikan komen yang tidak berdasar. Kemudian hal serupa juga dilanjutkan oleh warganet lainnya, sehingga potensi disinformasi dan misinformasi semakin menyebar. Selain itu, tantangan lainnya adalah kemampuan mengerem diri sendiri agar tidak ikut-ikutan dalam membuat ujaran kebencian.
“Akes informasi yang tidak merata pun menjadi tangan selanjutnya. Misalnya sesama di pulau Jawa saja bisa berbeda dan tidak real time, sehingga informasi menjadi tertunda dan efek ke pembacanya pun berbeda. Saya berpesan kepada sesama anak muda agar pesan keliru cukup sampai di kita saja, tak perlu disebarkan. Kita bantu menyehatkan lingkungan digital kita,” tambahnya.
Hoaks Ibarat Virus
Dilansir dari Rumah Pemilu, hasil pengawasan siber Bawaslu menunjukkan bahwa dari 355 konten yang diawasi selama bulan Desember 2023 hingga Februari 2024, Facebook menjadi platform dengan jumlah dugaan pelanggaran konten paling banyak, yaitu 33,2 persen. Dari 355 konten yang diawasi tersebut, ujaran kebencian diidentifikasi menjadi jenis dugaan pelanggaran paling banyak yakni 340 atau 96 persen, sedangkan jenis berita bohong memiliki jumlah paling sedikit yaitu 5 atau 1 persen.
Sementara itu, Mafindo mencatat hoaks soal politik pada 2023 terjadi sebanyak 1.292 kasus, lebih banyak dibandingkan hoaks sejenis pada musim Pemilu 2019 sebanyak 644 kasus. Platform Youtube menjadi tempat ditemukan hoaks terbanyak yaitu 44,6 persen, diikuti oleh Facebook (34,4 persen), Tiktok (9,3 persen), Twitter atau X (8 persen), Whatsapp (1,5 persen), dan Instagram (1,4 persen). Konten hoaks berbentuk video mendominasi jumlah kasus tersebut, sehingga menjadi tantangan besar juga bagi ekosistem pemeriksa fakta.
“Hoaks itu ibarat virus yang sulit dibasmi tanpa kolaborasi banyak pihak,” ujar Koordinator Mafindo Kota Bandung Roni Mulyana.
Ia menjelaskan situasi antargenerasi yang memiliki perbedaan perilaku dalam mencari dan mencerna informasi di era digital. Menurutnya, jika generasi Z sudah mahir dalam penggunaan media, generasi X dan Y justru berada di era kebingungan. Hal ini karena mereka memiliki literasi tinggi dan kemudahan akses, tetapi justru ada dinamika lain yang berpotensi membuat mereka tersesat, yakni mengklarifikasi kebenaran sebuah informasi.
“Generasi ini lahir di era berbeda yang terbiasa dengan lisan,” sambungnya.
Roni memaparkan bahwa riset menunjukkan literasi di masyarakat cukup rendah, sehingga mudah dipengaruhi dengan judul clickbait dan konten yang dimanipulasi. Mafindo sendiri memiliki ada program edukasi masyarakat jelang kontestasi politik. Mereka membidik anak muda melalui “Sekolah Kebangsaan” yang bekerja sama dengan SMA dan perguruan tinggi agar generasi muda memahami sumber-sumber valid yang menjadi rujukan mendapatkan informasi pilkada. Mafindo pun menargetkan kelompok lansia melalui program “Akademi Digital Lansia”.
“Walaupun tidak terlalu aktif di media sosial, mereka tetap rentan kena disinformasi dan misinformasi lewat komunitas lain, misalnya pengajian dan arisan. Makanya kami juga ada program siskamling kampanye. Ada petugas yang keliling di grup Whatsapp keluarga, dan komunitas untuk mengonfirmasi dan mengecek info yang perlu dicek kebenarannya,” jelasnya.
Masyarakat tidak bisa membatasi atau menghalangi kemajuan teknologi informasi saat ini. Namun hal yang perlu dibentengi adalah bagaimana masyarakat menyikapi informasi. Menurut Roni, saat ini ada tiga indikator kekacauan. Pertama adalah kacau identitas yaitu pendengung (buzzer) yang membuat pembingkaian tertentu untuk memanipulasi identitas seseorang dalam mengarahkan kepada tujuan tertentu. Kedua adalah kacau diri misalnya menyematkan titel ‘haji’ di depan nama agar seolah-olah informasi yang disampaikannya valid karena memakai dalil tertentu. Ketiga adalah kacau emosi yakni saat identitas telah dibingkai dan diri digoyahkan, ketidakstabilan emosi pun akhirnya mudah terpancing. Hal ini sangat kentara apalagi jika mengenai politik identitas.
“Inilah dinamika konsumsi informasi di era yang mudah, tapi tugas kita adalah membedakannya. To good to be true atau too bad to be true. Dengan sederhana begitu saja, orang akan peka dengan info yang didapatkan,” kata Roni.
Roni menyadari perlu ada kolaborasi untuk menciptakan budaya informasi yang sehat, seperti pelatihan cek fakta kepada jurnalis. Dalam upaya menangkal hoaks di tengah masyarakat, khususnya selama Pilkada, Mafindo pun berupaya memfasilitasi masyarakat untuk mengonfirmasi suatu informasi melalui berbagai kanal laporan seperti melalui aplikasi Hoax Buster Tools yang berbasis android dan Whatsapp 085921600500.
“Warganet adalah garda terdepan yang salah satu penyokongnya merupakan generasi Z. Ini adalah potensi potensi yang bisa dikembangkan. Tugas kita adalah mengarahkan mereka. Mereka tidak kurang informasi, tetapi tingkat partisipasinya yang tadinya apatis harus menjadi kritis dan aktif. Dengan bonus demografi, kita pertaruhkan masa depan informasi kepada generasi Z,” tutup Roni. ,
Pengawasan informasi selama pilkada menjadi tanggung jawab bersama. Dalam sinergi antara generasi muda, komunitas, dan institusi inilah terletak harapan untuk mengurangi polusi informasi sekaligus memperkuat demokrasi di era digital. []
Hanifa Paramitha Siswanti, Jurnalis Bandungbergerak.id
Liputan ini telah terbit di Bandungbergerak.id merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.