March 6, 2025

Sengketa Hasil vs Akuntabilitas Pilkada

Sesuai ketentuan, sangatlah jelas dan terang bahwa masalah administratif pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta   Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota merupakan  kewenangan  Bawaslu, PTUN, PT TUN dan MA untuk memeriksa, mengadili dan memutusnya.  Sedangkan masalah Pidana yang terjadi dalam pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah kewenangan Bawaslu  Gakkumdu, Pengadilan Negeri. Artinya MK tidaklah memiliki kewenangan untuk mengambil alih kewenangan lembaga lain dalam PHPU tersebut

Kurang lebih itulah curahan salah satu anggota dalam grup aplikasi percakapan. Ia melihat fenomena Mahakmah Konstitusi yang mempermasalahkan proses persyaratan calon sebagai bagian dari permasalahan administratif ataupun pidana.

Realitas ini sesungguhnya sejalan dengan hasil analisis putusan PHP-Kada Tahun 2025, yang diluncurkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada 27 Februari lalu. Sebagaimana diketahui, terdapat 40 dari 310 permohonan yang dilanjutkan ke tahap pembuktian. Dari 40 permohonan tersebut, 24 di antaranya diputuskan untuk dilangsungkan pemungutan suara ulang, dengan rincian 14 permohonan diperintahkan untuk pemungutan suara ulang dengan batas waktu antara 60–180 hari, 8 permohonan diperintahkan untuk pemungutan suara di TPS tertentu dengan batas waktu 30–45 hari, dan 2 permohonan diperintahkan untuk pemungutan suara ulang di satu atau beberapa kecamatan dengan batas waktu 45 hari.

Yang menarik dari hasil penelitian adalah bagaimana kemudian Perludem menggambarkan pertimbangan yang dimiliki oleh Majelis sebelum pada akhirnya memutuskan segala permohonan yang ada. Jika kita telisik lebih lanjut, maka beberapa pertimbangan akan tampak tidak mencerminkan sebagai bagian dari sengketa hasil, sebagaimana yang dimandatkan oleh UUD 1845, UU Pemilihan, atau bahkan UU Mahkamah Konstitusi sendiri. Beberapa pertimbangan yang dimaksud, di antaranya adalah (1) tidak dipenuhinya syarat calon, (2) pelanggaran TSM, (3) Pelanggaran prosedur pemilihan, ataupun (4) Kesalahan proses penetapan calon.

Atas pertimbangan tersebut, diskualifikasi dan pelanggaran TSM adalah 2 (Dua) hal yang menjadi putusan Mahkamah. Di satu sisi, kedua hal ini dianggap sebagai bagian dari proses administrasi, yang dapat dilihat sebagai bukan kewenangan Mahkamah untuk mengadili. Bukan hanya itu saja, UU Pemilihan bahkan mengatur secara tegas tentang bagaimana prosedur yang harus dilalui terhadap kedua pelanggaran tersebut, yang bahkan bukan hanya secara administrasi tetapi juga pidana.

Terkait dengan diskualifikasi, meskipun hal tersebut hanya dijatuhkan kepada salah satu di antara calon, baik calon Kepala Daerah ataupun alon Wakil Kepala Daerah akan tetapi hal ini menunjukkan tidak dipenuhinya salah satu syarat calon oleh peserta pemilihan kepala daerah, yang dalam hal ini didominasi oleh syarat mantan narapidana dan pendidikan calon. Tidak dipenuhinya syarat ini sesungguhnya secara administrasi membuat yang bersangkutan akan dianggap tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon. Bukan hanya itu, ada ketentuan pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta. Sanksi ini diberikan bagi setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan  untuk menjadi Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 UU Pemilihan.

Kemudian bagi pelanggaran administrasi yang sifatnya terstruktur sistematis dan masif juga sudah diatur sedemikian rupa di dalam undang–undang. Secara materiil, pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilihan dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan di luar tindak pidana Pemilihan dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilihan dalam bentuk menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan  dan/atau Pemilih. Secara formil, penanganan atas pelanggaran ini pun sudah datur secara spesifik dari penanganan oleh Bawaslu Provinsi dalam jangka waktu paling lama 14   hari kerja, sampai dengan upaya hukum di Mahkamah Agung yang bersifat final dan mengikat.

Namun demikian, realitas di lapangan tidak sesederhana pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat kita lihat. Salah satunya dalam permohonan sengketa hasil terhadap proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Magetan. Walaupun tidak berujung diskualifikasi, ataupun pernyataan adanya pelanggaran yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan massif. akan tetapi pemilihan di daerah ini termasuk dari sebagian kecil permohonan sengketa hasil yang dianggap memenuhi ketentuan UU Pemilihan dan dikabulkan sehingga termasuk ke dalam kelompok PSU di TPS tertentu dengan batas waktu 30–45 hari.

Sebagaimana diketahui, Pasal 158 ayat (2) UU Pemilihan mensyaratkan ambang batas untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara. Berdasarkan Data Agregat Kependudukan maka jumlah penduduk Kabupaten Magetan sebesar 692.298 Jiwa. Jumlah ini kemudian membawa konsekuensi pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota atau sebesar 4.047 suara. Di sisi yang lain, jumlah selisih antara pasangan calon nomor urut 03, sebagai Pemohon atas permohonan ini dengan pasangan calon peraih suara terbanyak, yaitu Pasangan Calon nomor urut 01 adalah sebesar 1.264 suara. Hal inilah yang kemudian membuat permohonan ini, termasuk ke dalam beberapa permohonan yang dianggap masih memenuhi syarat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pemilihan.

Jika kita lihat secara sekilas maka kita akan melihat seakan-akan Pemohon hanya mengajukan 3 dalil. Pertama, yaitu terkait dengan TPS yang tingkat kehadirannya mencapai 99%. Kedua, pelanggaran oleh KPPS. Ketiga, keberpihakan Penyelenggara dan Pengawas dalam Pilkada.

Namun demikian, jika kita cermati lebih dalam maka terkait dengan TPS dengan tingkat kehadiran mencapai 99% diajukan terhadap 2 TPS, kemudian terkait dengan pelanggaran oleh KPPS diajukan terhadap 3 TPS, dan terakhir untuk keberpihakan penyelenggara, yang dalam Pemohon tidak hanya mendalilkan terhadap 4 laporan yang diajukannya tetap juga 27 pengaduan, yang didalilkan oleh Pemohon tidak ditindaklanjuti oleh Bawaslu Kabupaten Magetan.

Yang menarik, Mahkamah pada akhirnya menyatakan adanya pelanggaran oleh KPPS pada seluruh TPS yang diajukan oleh Pemohon, walaupun tidak seluruh dalil yang diajukannya. Kemudian, terkait dengan kehadiran yang mencapai 99% dinyatakan terbukti, yang selain karena tidak ditindaklanjutinya rekomendasi pengawas pemilu untuk menyelenggarakan PSU tetapi juga karena Mahkamah memeriksa sendiri situasi yang ada di TPS saat pemungutan suara dengan mencermati dan membandingkan kolom tanda tangan dari masing-masing pemilih dalam daftar hadir pemilih dengan tandatangan dalam KTP masing-masing pemilih dan menemukan adanya perbedaan tanda tangan yang signifikan. Hal yang sama, dalam hal ini memeriksa sendiri atas isi dalil yang diajukan oleh Pemohon ketika memeriksa keberpihakan penyelenggara, dalam hal ini adalah pengawas pemilu dengan menguji kembali laporan yang dimaksud dan memberikan kesimpulan yang berbeda, dengan menyatakan “terdapat pelanggaran administratif yang dilakukan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS 009 Desa Selotinatah, yang secara nyata telah menghalangi enam pemilih untuk menyalurkan hak pilihnya secara sah”.

Dari kacamata hasil, yang merupakan kewenangan daripada Mahkamah Konstitusi maka realitas di atas menunjukkan bagaimana pelanggaran administrasi berelasi dengan hasil. Di satu sisi kita ditunjukkan bagaimana realitas pelanggaran administrasi yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU dalam hal pelaksanaan rekomendasi PSU oleh pengawas pemilu terhadap 2 TPS. Di sisi yang lain, ada laporan yang tidak ditindaklanjuti oleh Bawaslu pada 1 TPS. Keduanya pun masih termasuk adanya pelanggaran yang dilakukan oleh KPPS di 3 TPS.

Mari bayangkan bilamana Mahkamah Konstitusi hanya berfungsi sebagai mahkamah kalkulator, realitas di atas terjadi. Ini sebagaimana dinyatakan oleh pihak KPU Kabupaten Magetan justru ketika seluruh saksi menandatangani dokumen yang menjadi indikator bahwa proses, termasuk hasilnya disetujui oleh wakil dari para peserta pemilihan yang terlibat di dalamnya. Kejadian di Magetan, walaupun yang sifatnya sebagai pelanggaran administrasi dan hanya 1 dari 310 permohonan yang ada, akan tetapi hal ini menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan di dalam sistem yang bisa dikatakan memang tidak sempurna. Upaya yang dilakukan oleh Mahkamah setidaknya menjadi upaya terakhir untuk mengawal semaksimal mungkin agar proses pemilihan kepala daerah tetap berada di dalam koridor peraturan perundang-undangan.

Semoga ke depan tidak muncul lagi pertanyaan mengapa pelanggaran yang terjadi saat pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari obyek pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi. Lembaga yudisial penjaga demokrasi dan konstitusi ini setidaknya merupakan garda terakhir akuntabilitas penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah. []

PURNOMO SATRIYO P.
Pringgodigdo Institute

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.