October 15, 2024

Fenomena Buzzer dan Pemilu

Dewasa ini media sosial menjadi pihak ketiga yang berperan menyebarkan informasi. Kecepatan informasi beredar di media sosial begitu cepat sehingga informasi silih berganti tanpa tahu mana informasi yang akurat dan tidak. Hoax bullying, hate speach, propaganda, berita palsu, dan masih banyak hal lainnya dapat ditemukan di media sosial.

Berbagai hal itu semakin sering ditemukan terutama pada musim pemilu baik daerah maupun nasional. Media sosial bak lahan subur bagi para calon menyebarluaskan visi misi hingga menjatuhkan lawan politiknya. Biasanya pada masa kampanye mereka menggunakan jasa seorang buzzer untuk membuat sebuah informasi menjadi booming.

Apa itu buzzer? Bagaimana cara kerja mereka?

Buzzer adalah seseorang bertugas menyebarluaskan sebuah produk di media sosial. Sebagai contoh ada sebuah perusahaan yang meminta jasa buzzer membuat produknya menjadi booming sehingga seolah-olah produknya dibahas banyak orang.

Cara itu juga berlaku dalam pesta demokrasi dewasa ini. Para calon pemimpin yang akan ikut pemilihan biasanya menggunakan jasa mereka sebagai alat pemenangan dan menggiring opini publik.

Sayangnya dalam konteks politik hal ini menjadi senjata baru yang sudah mulai dianggap berbahaya. Seorang buzzer di salah satu program televisi mengaku biasanya bekerja berkelompok dan dibagi ke dalam tiga tugas: perayu, propaganda, dan pem-bully.

Maksud perayu adalah bekerja jauh-jauh hari sebelum masuk dalam musim pemilihan untuk mempengaruhi lawan politik yang dianggap potensial untuk tidak mencalonkan diri. Cara-cara yang digunakan biasanya menggunakan hal-hal sensitif yang tak ingin diketahui khalayak umum. Sehingga lawan politiknya tak jadi mencalonkan diri.

Pelaku propaganda merupakan salah satu kelompok yang mungkin sering ditemukan di media sosial. Kelompok ini bekerja dengan melemparkan sebuah argumen atau dapat menggunakan foto dan video yang bertujuan mengubah opini publik. Kelompok ini biasanya menggunakan akun anonim atau kadang akun terbuka tergantung dari bayaran klien, dan tak hanya satu akun.

Seorang buzzer bisa memegang banyak akun untuk membuat viral suatu opini. Misal satu akun anonim mengunggah sebuah gambar yang berisi ‘kebaikan’ dari kliennya sebagai calon pemimpin di twitter. Maka akun lainnya bertugas me-retweet gambar tersebut. Sehingga, para pengguna lain yang juga mungkin setuju dengan konten gambar akan ikut me-retweet.

Sedangkan pem-bully merupakan pelaku berbayaran sedikit lebih mahal karena harus menyerang secara terbuka terhadap lawan politik. Kelompok ini biasanya yang menyebarkan fitnah, hoax, hingga berita bohong yang sengaja dibuat mengubah persepsi masyarakat.

Dampak dari penggiringan opini publik dari para buzzer ini tak jarang meninggalkan perdebatan panjang di media sosial. Sudah menjadi pemandangan wajar dewasa ini bila melihat kolom komentar berisi debat kusir antara yang pro dan kontra. Terutama bila hal yang dibahas adalah salah satu pasangan calon yang menjadi jagoannya.

Justru hal inilah yang diinginkan para buzzer. Semakin banyak debat, semakin sering dibahas, maka semakin booming informasi tersebut dan akhirnya opini publik mengarah kepada hal yang diinginkan para buzzer. Karena sebenarnya sangat jelas bahwa tujuan mereka adalah mengabarkan, mengaburkan, menguburkan.

Tujuan tersebut menjadi sangat mudah dicapai karena target mereka adalah orang-orang yang suka berdebat seperti mahasiswa, remaja, dan yang masuk kategori dewasa muda. Target inilah yang sedang dalam masa-masanya bersemangat berpendapat. Kalangan ini ingin suaranya didengar bahkan tak jarang agar dianggap paling cerdas.

Kebiasaan itu dimanfaatkan para Buzzer agar opini yang mereka lempar ke publik menjadi viral. Bahkan bila tak ada yang terpancing memulai perdebatan biasanya para buzzer sengaja menggunakan dua akun anonim dengan skenario saling pro kontra sehingga memancing para pengguna media sosial untuk ikut masuk ke dalam lingkaran debat tersebut.

Cara lainnya adalah dengan memanfaatkan karakter para pengguna yang selalu ingin menjadi nomor satu. Maksudnya, dalam hal menyebarluaskan berita sering kali tiap orang ingin menjadi yang pertama kali dalam menyebarluaskan informasi. Biasanya bertujuan, agar terkesan keren dan dianggap paling tahu.

Justru hal itulah cara kerja sebuah informasi dapat tersebar dengan luas tanpa filter sama sekali. Sebagai contoh ada sebuah berita berjudul “Habib Rizieq Meminta Maaf Kepada Ahok”. Tanpa tahu berita tersebut valid atau tidak maka orang yang menganggap berita itu penting akan langsung menyebarkannya ke dalam komunitasnya.

Teman-teman lainnya akan menganggap si penyebar adalah orang yang tahu karena dia yang pertama kali menyebarkan. Tak ingin menjadi orang nomor dua, teman-temannya juga ikut menyebarkan berita tersebut ke komunitas lain. Tujuannya sama, agar dianggap sebagai orang yang pertama kali menyebar. Begitu seterusnya.

Sebagai seorang pemilih cerdas dan pengguna media sosial yang bijak, ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar tidak menjadi korban para buzzer. Yang utama, dengan bersikap skeptis terhadap berita apapun sampai mengetahui kebenarannya. Memang terlihat agak ekstrem untuk skeptis terhadap berbagai berita, tapi hal ini bisa menjadi langkah awal agar dapat lebih bijak memahami sebuah informasi. []

MUCHAMAD DIAS ANANG SETIAWAN

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman