Putusan Mahkamah Konstitusi Sudah Jelas
JAKARTA, KOMPAS — Barter atas sejumlah isu krusial dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu mulai ditawarkan beberapa fraksi di DPR. Namun, efektivitas dari upaya yang dimaksudkan untuk mencapai kompromi ini belum terlihat.
Tawaran barter ini antara lain dilakukan Fraksi PDI Perjuangan. Agar ambang batas pencalonan presiden tetap ada di RUU Penyelenggaraan Pemilu, PDI-P bersedia melepas opsi sistem proporsional tertutup (keterpilihan berdasarkan nomor urut)
Perdebatan tentang ambang batas pencalonan presiden menjadi salah satu isu strategis dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu. Ini merupakan dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 yang menyatakan, Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019 diadakan serentak. Dengan putusan itu, muncul perdebatan apakah ambang batas pencalonan presiden tetap perlu atau tidak.
Dari 10 fraksi di DPR, hanya tiga fraksi yang mendukung opsi mempertahankan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara nasional hasil pemilu legislatif sebelumnya. Tiga fraksi itu adalah Fraksi PDI-P, Golkar, dan Partai Nasdem. Fraksi lain menghendaki ambang batas dihapuskan sehingga semua partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden sendiri.
Anggota Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (5/5), mengatakan, PDI-P menawarkan jalan tengah melalui barter antara pasal ambang batas pencalonan presiden dan pasal sistem pemilu legislatif.
PDI-P yang selama ini memperjuangkan sistem pileg proporsional tertutup bersedia mendukung sistem pileg terbuka terbatas yang diajukan pemerintah demi mempertahankan ambang batas pencalonan presiden.
PDI-P meyakini, ambang batas pencalonan presiden penting untuk menjamin dukungan politik yang kuat dari partai di parlemen terhadap pemerintah. Hal itu akan memperkuat sistem presidensial dan melahirkan pemerintahan yang efektif.
Terbuka terbatas
Dalam sistem terbuka terbatas, pemilih di suatu daerah pemilihan dibebaskan memilih lambang partai atau calon anggota legislatif. Jika total pemilih lebih banyak memilih lambang partai, pemenang pileg ditetapkan lewat nomor urut caleg teratas. Namun, kalau yang lebih banyak dipilih adalah caleg, yang mendapatkan kursi di dapil itu adalah calon yang memperoleh suara terbanyak.
Sistem terbuka terbatas saat ini didukung Fraksi PDI-P dan Golkar bersama pemerintah. Sebelumnya, PDI-P dan Golkar mendukung sistem proporsional tertutup. Sementara delapan fraksi lain menginginkan sistem terbuka (suara terbanyak).
Namun, Wakil Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, tawaran dari PDI-P sulit untuk disepakati fraksi lain yang mendukung penghapusan ambang batas pencalonan presiden.
“Akan sulit diterima karena mentok di masalah konstitusional atau tidak. Dengan putusan MK 2014, seharusnya sudah jelas, tidak dibutuhkan ambang batas pencalonan presiden,” kata Riza.
Menurut Riza, PDI-P dan Golkar perlu mencari titik kompromi atau barter lain dibandingkan dengan menukar sistem pileg dengan ambang batas pencalonan presiden. “Ada banyak RUU lain yang saat ini juga sedang dibahas di DPR. Mungkin bisa dicari titik kompromi lain meskipun lintas RUU,” kata Riza.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah tetap berpandangan ambang batas pencalonan presiden tetap dipertahankan. Ia khawatir, meniadakan ambang batas berarti mengorbankan kualitas pasangan capres-cawapres yang didukung partai. (AGE/GAL)
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/05/06/Barter-Opsi-Jadi-Pilihan