November 27, 2024

Terbuka Terbatas Mirip Proporsional Tertutup

JAKARTA, KOMPAS — Sistem pemilu legislatif terbuka terbatas yang diusulkan pemerintah serta didukung PDI-P dan Golkar tidak jauh berbeda dari sistem proporsional tertutup. Opsi itu dinilai tak bisa jadi solusi untuk mencairkan kebuntuan perdebatan seputar sistem pemilu legislatif di Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Fraksi PDI-P di DPR menawarkan sistem pemilu legislatif terbuka terbatas dengan catatan ambang batas pencalonan presiden tetap dipakai dengan besar 20 persen perolehan kursi dan 25 persen perolehan suara nasional di pemilu legislatif sebelumnya.

Tawaran ini sebagai jalan tengah karena sejumlah fraksi ingin pemilu legislatif memakai sistem proporsional terbuka (keterpilihan berdasarkan suara terbanyak) dan ambang batas pencalonan presiden tidak ada. Adapun PDI-P ingin pemilu legislatif dilakukan dengan sistem proporsional tertutup (keterpilihan berdasarkan nomor urut di daftar caleg) dan ada ambang batas pencalonan presiden.

“Sistem terbuka terbatas tetap menguntungkan partai karena tetap berorientasi pada sistem proporsional tertutup,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (9/5).

Dalam sistem terbuka terbatas, pemilih bebas memilih lambang partai atau calon anggota legislatif. Jika pemilih di daerah pemilihan lebih banyak memilih lambang partai, pemenang pileg ditetapkan lewat nomor urut caleg (sistem tertutup). Namun, kalau yang lebih banyak dipilih adalah caleg, yang mendapatkan kursi di dapil itu adalah caleg yang memperoleh suara terbanyak itu (sistem terbuka).

Anggota Pansus dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, menilai, sistem terbuka terbatas menjadi jalan tengah karena sistem itu mengakomodasi kubu yang menginginkan sistem tertutup dan terbuka. PDI-P dan Golkar bersedia bergeser dari mendukung sistem proporsional tertutup menjadi terbuka terbatas. “Daripada terus bentrok di sikap masing-masing, lebih baik memilih jalan tengah,” katanya.

Kajian

Namun, berdasarkan kajian Perludem, sistem terbuka terbatas tidak bisa jadi solusi jalan tengah karena data menunjukkan, di suatu dapil, perolehan suara partai lebih besar daripada caleg perseorangan. Artinya, menerapkan sistem terbuka terbatas hampir serupa dengan sistem tertutup. Ini karena perolehan suara partai terbukti lebih besar di mayoritas pemilihan yang kini seluruhnya ada 77.

Sebagai contoh, di Dapil Jawa Timur 1, yang merupakan dapil asal politisi Demokrat, Fandi Utomo, suara partai lebih besar daripada caleg perseorangan. Dengan sistem terbuka terbatas dan mengacu pada perolehan Pemilu 2014, pemilik kursi seharusnya adalah Lucy Kurniasari yang ada di nomor urut satu. Adapun Fandi adalah caleg bernomor urut 6.

Selain Jatim 1, beberapa dapil lain yang perolehan suara parpol lebih tinggi daripada caleg adalah Kalimantan Timur dan Bali. “Di dapil besar, kecenderungannya suara parpol lebih banyak. Sementara di dapil kecil, suara caleg lebih besar,” ucap Titi.

Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria juga mengatakan, sistem terbuka terbatas belum tentu bisa disepakati. Pasalnya, ada persoalan konstitusionalitas terkait sistem tertutup. Sebagian besar fraksi menilai, putusan Mahkamah Konstitusi pada 2008 telah menyatakan, caleg dipilih berdasarkan suara terbanyak secara berurutan (terbuka), bukan atas dasar nomor urut di daftar caleg (tertutup). (AGE)

Sumber : http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/05/10/Terbuka-Terbatas-Mirip-Proporsional-Tertutup