Persoalan jumlah dan alokasi kursi DPR kembali muncul saat pembahasan regulasi pemilu. Alokasi kursi dinilai tidak proporsional dan mencerminkan kesetaraan sehingga penambahan kursi DPR tak terelakkan. Namun, di sisi lain alasan itu tak cukup kuat meyakinkan publik karena kinerja DPR yang buruk selama ini.
Dari pemilu ke pemilu, alokasi kursi DPR memang belum pernah ideal. Di banyak wilayah, alokasi kursi tidak pernah sebanding dengan jumlah penduduk yang ada di satu wilayah. Hal ini membuat adanya provinsi yang kursi DPR-nya berlebih, ada pula provinsi yang tidak memperoleh kursi semestinya.
Konsekuensinya, anggota DPR dari provinsi yang tidak memperoleh kursi semestinya harus bekerja lebih berat menyerap aspirasi rakyat karena jumlah warga yang diwakilinya lebih banyak daripada provinsi yang alokasi kursinya berlebih.
Dari persoalan ini pula kemudian muncul ketidakadilan saat pemilu. Calon anggota legislatif di wilayah yang jumlah kursinya tidak semestinya harus berjuang lebih keras untuk bisa terpilih. Sebab, suara yang harus mereka peroleh jauh lebih banyak daripada wilayah yang alokasi kursinya berlebih. Ini kemudian memunculkan istilah kursi DPR mahal dan murah.
Sebagai gambaran, alokasi kursi DPR untuk Provinsi Riau dan Sulawesi Selatan. Di Riau dengan jumlah penduduk 6,3 juta orang, jumlah alokasi kursi DPR hanya 11 kursi sehingga setiap anggota DPR harus mewakili setidaknya 570.000 orang. Sementara di Sulsel dengan jumlah penduduk 8 juta orang, jumlah alokasi kursinya 24 sehingga setiap anggota DPR hanya mewakili sekitar 333.000 orang.
Gambaran ini setidaknya mencerminkan pula lebih banyaknya suara yang diperoleh untuk bisa terpilih menjadi anggota DPR dari Riau daripada Sulsel. Dalam arti lain, harga kursi DPR di Riau jauh lebih mahal daripada di Sulsel.
Alokasi kursi DPR yang tidak proporsional dan tidak adil ini yang melatarbelakangi kesepakatan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu dan pemerintah menambah alokasi kursi DPR di sejumlah wilayah.
Dalam program bincang-bincang Satu Meja yang mengangkat tema soal isu penambahan kursi DPR di Kompas TV, Senin (15/5), Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy mengatakan, penambahan kursi DPR menjadi opsi yang disepakati fraksi-fraksi bersama pemerintah, bukan opsi merealokasi kursi di wilayah yang berlebih ke wilayah yang kekurangan karena realokasi kursi berpotensi menuai gejolak di daerah yang alokasi kursinya dikurangi.
Hal senada disampaikan narasumber lain, anggota Pansus dari Fraksi Partai Nasdem, Johnny G Plate. “Redistribusi kursi akan menuai guncangan politik sehingga kami mengambil keputusan tidak perlu meredistribusi, tetapi menambah kursi ke daerah yang alokasinya masih kurang,” katanya.
Hanya saja, alasan-alasan yang melatarbelakangi kesepakatan penambahan kursi DPR tersebut tak cukup kuat meyakinkan publik bahwa penambahan itu memang penting.
Korupsi
Salah satunya, terkait pandangan publik atas kinerja DPR. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, menilai, 560 anggota DPR yang ada sekarang belum optimal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
Dalam banyak kasus, anggota DPR justru lebih tunduk pada keputusan partai politik ataupun fraksinya di DPR sekalipun keputusan tersebut bertentangan dengan kehendak publik.
Kemudian, dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, seperti Wa Ode Nurhayati dan I Putu Sudiartana, mereka justru terlihat memperjuangkan program di luar daerah pemilihan mereka.
Kerja DPR menjalankan fungsi legislasi juga tak memuaskan. Target legislasi tak pernah tercapai. Produk undang-undang yang dibuat kerap dibatalkan Mahkamah Konstitusi, menunjukkan buruknya kualitas penyusunan legislasi.
Kalaupun DPR dan pemerintah berniat memperbaiki disproporsionalitas dalam alokasi kursi, Donal melanjutkan, seharusnya yang terlebih dulu dilakukan adalah merealokasi kursi DPR dari provinsi yang alokasi kursi DPR-nya berlebih. Jika itu dilakukan, kemungkinan, tidak perlu jumlah kursi DPR ditambah.
Langkah ini dinilai tepat oleh pengamat politik Universitas Indonesia, Reni Suwarso, daripada menambah anggota DPR yang implikasinya menyedot lebih banyak anggaran negara. “Tidak hanya untuk membiayai hak keuangan anggota DPR, tetapi juga untuk fasilitas mereka,” lanjutnya.
Ketika opsi realokasi tidak dilakukan, tidak keliru jika muncul opini publik bahwa penataan alokasi kursi DPR semata untuk kepentingan partai politik dan kepentingan anggota DPR.
Partai, misalnya, hanya menyetujui penambahan kursi DPR di wilayah yang selama ini menjadi wilayah kekuasaannya. Dengan demikian, besar potensi partai meraih lebih banyak kursi di DPR.
“Sementara terkait kepentingan personal anggota DPR, mereka tidak mau kursi di daerahnya dikurangi karena kalau dikurangi kontestasi saat pemilu semakin ketat, ruang untuk terpilih kembali kian sulit,” ujar Donal.
Tidak salah pula opini ini muncul karena selama ini pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu selalu tertutup.
Publik tak pernah tahu rumus yang dijadikan dasar pembenar Pansus dan pemerintah untuk menambah kursi DPR. Publik sebagai pemangku kepentingan utama dalam pemilu juga tak pernah ditanya soal keinginan mereka terkait jumlah anggota DPR yang akan mewakili dan memperjuangkan mereka.
Amanah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang salah satu pasalnya menyebutkan pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan asas keterbukaan diabaikan begitu saja. Padahal, pembentuk undang-undang itu DPR dan pemerintah. (A PONCO ANGGORO)
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/05/17/Penambahan-Kursi-DPR-untuk-Siapa
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Mei 2017, di halaman 5 dengan judul “Penambahan Kursi DPR untuk Siapa?”.