Ibarat kaset rusak yang memutar sepenggal nada berulang kali, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah mengulangi kesalahan yang sama dengan para pendahulunya. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu lagi-lagi molor dari target waktu yang sudah disepakati.
Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu dimulai dengan titik tolak yang goyah. Keterlambatan tidak hanya menjadi penyakit DPR, tetapi juga pemerintah. Draf RUU baru diserahkan oleh pemerintah pada akhir Oktober 2016. Padahal, RUU itu telah masuk Program Legislasi Nasional tahunan sebagai inisiatif pemerintah sejak Januari 2016.
Draf RUU Pemilu yang disusun pemerintah itu ternyata masih memuat sejumlah materi yang tidak rinci. Pada akhirnya, pemerintah menyerahkan pembahasan RUU Pemilu secara mendalam kepada 10 partai politik di DPR yang semuanya berbeda kepentingan.
Dengan keterbatasan materi dan waktu pembahasan, besar harapan bahwa DPR dapat mengatur strategi pembahasan dengan sebaik-baiknya. Awalnya, ditetapkan pada 28 April RUU itu telah disetujui untuk disahkan jadi UU. Target ini mengacu pada perkiraan tahapan awal Pemilu 2019 yang semula jatuh pada Juni 2017. Namun, tidak banyak terobosan yang dilakukan. Ide membahas RUU Pemilu saat reses menguap begitu saja. Bahkan, di tengah waktu pembahasan yang amat terbatas, Pansus masih melakukan studi banding ke Jerman dan Meksiko pada Maret.
Sepulang dari Jerman dan Meksiko, DPR menggelar sejumlah rapat hingga larut malam. Namun, ketertinggalan tidak dapat diatasi. Dari total 3.055 nomor daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU yang ada, masih tersisa sekitar 1.000 DIM yang belum dibahas.
Di luar 1.000 DIM itu, masih ada 18 isu krusial utama yang belum semuanya disepakati meski sudah mengerucut ke sejumlah opsi. Dari 18 kelompok isu itu, ada lima isu utama yang sulit dicapai titik temu karena menyangkut kepentingan dan keberlangsungan (survival) setiap partai politik yang berbeda-beda. Kelima isu itu adalah sistem pemilu legislatif, ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, jumlah kursi DPR, dan metode konversi suara ke kursi di pileg.
Wakil Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu Yandri Susanto akhirnya mengatakan, pembahasan RUU Pemilu tak mungkin diselesaikan pada 28 April. Target baru dibuat, yaitu pembahasan sampai akhir Mei 2017.
Kini, sudah pertengahan Mei. Namun, belum semua isu krusial disepakati. Jangankan menyepakati lima isu penting yang strategis, 14 isu turunan di luar itu juga belum diputuskan.
Anggota Pansus dari Fraksi PKB, Siti Marsifah, mengatakan, 14 isu turunan tidak akan sulit disepakati karena tidak membutuhkan konsultasi mendalam dengan pimpinan partai. “Berbeda dengan lima isu yang strategis, 14 isu ini bisa diselesaikan di tingkat Pansus,” katanya.
Lagu lama
DPR tidak belajar dari kesalahan para pendahulunya. Berdasarkan catatan Kompas, dari tahun ke tahun, pembahasan RUU terkait kepemiluan selalu molor dari target yang telah ditetapkan. Isu yang menyebabkan molornya pembahasan juga relatif sama di setiap tahun pembahasan.
Misalnya, pembahasan RUU Pemilihan Presiden pada periode 2009-2014 terpaksa molor dari target karena fraksi-fraksi di DPR gagal sepakat terkait sejumlah isu krusial. Isu krusial yang saat itu membuat buntu juga serupa dengan isu krusial yang saat ini bergulir, yakni perihal ambang batas pencalonan presiden. Isu lain yang pembahasannya alot adalah perihal ambang batas parlemen, sistem pemilu, dan alokasi kursi per daerah pemilihan (dapil). Isu-isu itu sama persis dengan isu yang kini mengemuka di internal Pansus RUU Pemilu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengingatkan, seharusnya DPR dan pemerintah tidak perlu kembali berkutat pada isu-isu krusial yang alot itu, tetapi fokus pada sejumlah isu yang menjadi dampak dari penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif serentak yang akan digelar 2019.
“Sebelum ini, pembahasan RUU Pemilu sampai 1-2 tahun, tetapi tetap tidak bisa tepat waktu mengompromikan isu-isu yang sulit itu. Sekarang, waktu kurang dari enam bulan, isu dan sistem mendasar itu seharusnya tidak usah diutak-atik,” katanya.
Namun, berbagai saran itu tidak diakomodasi DPR. Kini, pembahasan RUU Pemilu kembali mentok seperti sebelumnya karena isu-isu lama tersebut.
Kualitas pemilu
Hal lain yang perlu dikhawatirkan sebagai dampak dari pembahasan yang molor ini adalah kualitas pemilu. Berkaca pada sejarah, salah satu catatan buruk pembahasan RUU Pemilu terkait kepemiluan adalah pada DPR periode 2004-2009. Saat itu, sejumlah RUU terkait kepemiluan baru rampung pada 2008. Sementara tahapan Pemilu 2009 dimulai pada 2008.
Komisioner KPU periode 2007-2012, Endang Sulastri, menuturkan, pengesahan berbagai UU Pemilu yang molor ini berpengaruh pada persiapan penyelenggara dan akhirnya menghasilkan pemilu yang kurang berkualitas. Kini, Pemilu 2009 kerap diingat sebagai pemilu yang menyimpan sejumlah persoalan dalam pelaksanaannya.
“UU Pemilu baru terbit pada 2008, padahal kami memulai tahapan pemilu pada 2008. Sementara, banyak yang harus diatur, peraturan teknis harus disusun, sosialisasi harus dilakukan. Pengalaman buruk di periode saya jangan sampai terulang,” harap Endang.
Namun, Pansus RUU Pemilu di periode ini tetap optimistis keterlambatan pembahasan tidak akan mengganggu tahapan pemilu. Pasalnya, Pansus RUU Pemilu dan pemerintah telah sepakat untuk memangkas sejumlah tahapan pemilu, seperti masa kampanye. Tahapan pemilu tidak dimulai 22 bulan sebelum hari pemungutan suara, seperti yang selama ini berlaku. Melainkan, sekitar 18 bulan sebelumnya.
Dengan perhitungan ini, meski hari pemungutan suara disepakati April 2019, tahap awal pemilu akan dimulai sekitar Agustus-Oktober 2017. Mundurnya pembahasan RUU Pemilu dari April ke Mei, menurut Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Ahmad Riza Patria, tidak akan berdampak banyak pada tahapan dan kualitas pemilu. “Ini terobosan baru sehingga pembahasan lebih longgar,” katanya.
Namun, terobosan memangkas tahapan pemilu itu juga perlu dikaji serius agar tidak memunculkan masalah lain yang ujung-ujungnya tetap mencederai kualitas pemilu.
DPR seharusnya bisa belajar dari kesalahan masa lalu. Pasalnya, hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.
(AGNES THEODORA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Mei 2017, di halaman 5 dengan judul “Lagi-lagi, Pembahasan Terlambat”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/05/20/Lagi-lagi-Pembahasan-Terlambat