YOGYAKARTA – Penyelenggara pemilu di Daerah Istimewa Yogyakarta menolak bila struktur penyelenggara pemilu di daerah bersifat ad hoc seperti yang berkembang dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia saat ini.
Ketua Badan Pengawas Pemilu DIY, Muhammad Najib, menuturkan penyelenggara pemilu yang bersifat ad hoc atau sementara mengandung risiko besar. Tak hanya di tingkat komosioner tapi juga pada tingkat staf. “Proses demokrasi pasti butuh biaya, lembaga penyelenggara pemilu yang permanen itu investasi jangka panjang,” katanya, kemarin.
Wacana menjadikan penyelenggara pemilu bersifat ad hoc belakangan terus menguat dalam pembahasan RUU Pemilu. Pertimbangannya, mulai 2024, pemilu di Indonesia baik tingkat nasional maupun daerah hanya akan berlangsung lima tahun sekali. Sehingga, jikastruktur penyelenggara bersifat permanen seperti sekarang, akan memboroskan anggaran operasional.
Najib mengatakan penyelenggaraan pemilu memerlukan staf penyelenggara pemilu yang terlatih. Dengan adanya lembaga yang permanen, kata dia, akan ada pelatihan staf yang terus-menerus untuk menjaga kualitas penyelenggara pemilu. Ia menyatakan sumber daya manusia yang terlatih menjadi salah satu kunci suksesnya pelaksanaan pesta demokrasi.
“Mendapatkan personel penyelenggara pemilu yang berkualitas, berintegritas, independen, dan profesional itu tak gampang, bagaimana melatih mereka jika statusnya hanya dibuat sementara,” ujarnya. Ia pun mempertanyakan akan dikemanakan sumber daya manusia yang sudah terlatih itu.
Nadjib menambahkan, ketika struktur penyelenggara pemilu diubah menjadi ad hoc, tentu juga berimplikasi pada kesejahteraan staf penyelenggara pemilu. Dengan masa kerja yang relatif pendek, tentu penghasilan yang mereka terima akan jauh lebih rendah. Tak hanya itu, menurut dia, dokumen-dokumen KPU dan Bawaslu juga mudah dilimpahkan begitu saja ke pemerintah daerah ketika struktur penyelenggara dibuat ad hoc.
Wakil Ketua Komisi II DPR yang juga anggota Pansus RUU Pemilu, Fandi Utomo, di sela menemui Gubernur DIY awal pekan ini, menuturkan RUU Pemilu saat ini masih dalam kajian tim panitia kerja DPR. Termasuk wacana menjadikan lembaga penyelenggara pemilu di daerah sebagai lembaga ad hoc. “Belum ada yang bisa diputuskan soal itu (menjadikan lembaga ad hoc),” ujarnya.
Namun Fandi mengakui, usulan ad hoc mengerucut dengan pertimbangan utama pasca Pemilu 2019 nanti, selanjutnya tidak ada pemilu sama sekali sampai serentak 2024.
Panitia Khusus RUU Pemilu di Komisi Pemerintahan DPR juga belum menemukan kata sepakat soal isu sistem proporsional tertutup. Padahal aturan main pemilu ditargetkan sah pada akhir Mei untuk mengejar persiapan pemilihan 2019. RUU Pemilu yang sedang dibahas ini merupakan gabungan dari tiga produk hukum, yaitu UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU tentang Penyelenggara Pemilu. Pribadi Wicaksono | Iqbal Muhtarom
https://koran.tempo.co/konten/2017/05/19/416942/Yogya-Tolak-Rencana-Penyelenggara-Pemilu-Bersifat-Ad-Hoc