JAKARTA – Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, Ahmad Riza Patria, mengatakan saat ini masih ada 18 dari 3.055 poin daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam RUU Pemilu yang belum diputuskan. Riza memaparkan, 18 poin itu antara lain tentang sistem pemilu, ambang batas parlemen, ambang batas presiden, alokasi kursi per daerah pemilihan, dan metode konversi suara.
“Itu isu strategis, pasal-pasal yang akan berpengaruh terhadap partai untuk pemilihan legislatif dan eksekutif serentak 2019,” kata Riza, Sabtu lalu.
Dalam aturan main ambang batas pencalonan presiden, politikus Gerindra ini mencontohkan, sejumlah partai menghendaki tetap ada batasan berupa 20 persen jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional. “Ada juga yang ingin batasan itu dihapus,” ujarnya.
Adapun dalam pembahasan sistem pemilu, menurut Riza, saat ini hanya tersisa dua opsi, yakni sistem terbuka atau terbuka terbatas. Sebelumnya, pembahasan sempat membicarakan opsi sistem tertutup. “Gerindra ingin tanpa batas dan sistem terbuka,” kata Riza.
Pembahasan RUU Pemilu sudah berlangsung lebih dari tujuh bulan–molor dari target selesai pada akhir April lalu. Namun Riza hakulyakin belum rampungnya aturan main baru ini tak akan mengganggu tahapan Pemilu 2019, yang dimulai pada Juni mendatang.
Anggota Pansus RUU Pemilu, Ahmad Baidowi, mengatakan Partai Persatuan Pembangunan tetap menginginkan sistem pemilu berjalan terbuka seperti saat ini. Alasannya, kata dia, nantinya anggota legislatif terpilih merupakan keinginan masyarakat, bukan partai. Ihwal ambang batas pencalonan presiden, Baidowi mengatakan partainya menghendaki permufakatan dengan partai lain.
Dia menilai masalah ambang batas sangat dilematis. Pada satu sisi, Baidowi menerangkan, putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pemilihan serentak legislatif dan eksekutif tidak membatalkan pasal ambang batas dalam pencalonan presiden. Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan calon presiden diusulkan oleh partai peserta pemilu.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, mengatakan partainya menghendaki ambang batas pencalonan presiden 10 persen. Jika tidak ada batasan, kata dia, akan banyak calon presiden yang muncul. “Nanti partai baru lahir langsung bisa mencalonkan. Ini negara, bukan lelucon,” ujarnya. Sedangkan Ketua Umum Hanura, Oesman Sapta Odang, mengusulkan ambang batas maksimal 15 persen.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menuturkan, pemerintah tetap menginginkan ada ambang batas parlemen, yakni 20 persen jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional. Menurut dia, batasan itu justru akan meningkatkan kualitas demokrasi.
Tjahjo menilai wajar pembahasan berlangsung alot. “Pasti ada solusi akhir,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan polemik isu krusial ini selalu berulang menjelang pemilu. Hal ini juga terjadi pada 2014. Dia menilai elite partai hingga kini lebih mengutamakan kepentingan kelompok ketimbang persoalan yang secara substansial menyentuh masyarakat, seperti upaya memberantas politik uang maupun memperkuat layanan daftar pemilih tetap. “Penyusunan RUU Pemilu tidak punya tujuan yang jelas,” ujarnya. Arkhleaus Wisnu | Hussein Abri Dongoran
https://koran.tempo.co/konten/2017/05/08/416439/Parlemen-Terbelah-Soal-Syarat-Pencalonan-Presiden