Rp 11 Triliun untuk Pelatihan dan Honor Saksi
JAKARTA, KOMPAS — Rencana biaya pelatihan dan honor saksi partai politik dalam pemilu dibiayai negara harus ditolak. Selain karena hal itu jadi tanggung jawab parpol, keuangan negara juga terbatas. Jika hal itu jadi beban negara, negara harus menyediakan anggaran sekitar Rp 11 triliun.
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu menghitung, anggaran Rp 11 triliun tersebut untuk melatih saksi parpol dan honor transportasi bagi semua saksi parpol di tempat pemungutan suara (TPS) hingga proses rekapitulasi suara. Selain itu, dihitung pula ongkos kegiatan, seperti menyewa ruangan dan alat tulis.
Jumlah anggaran yang dibutuhkan itu pun dengan asumsi hanya 12 parpol peserta pemilu dan 29 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di setiap provinsi. Saksi bagi calon DPD ikut dihitung karena asas pemilu adalah keadilan. Jika parpol diberi saksi, setiap calon DPD pun harus mendapat saksi.
“Jika jumlah peserta pemilu lebih banyak, lebih besar pula anggaran yang harus dikeluarkan negara,” ujar Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Syamsuddin Alimsyah, Minggu (11/6), di Jakarta.
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu setidaknya terdiri atas 13 organisasi masyarakat sipil. Selain Kopel, ada pula Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).
Pembiayaan pelatihan dan honor saksi oleh negara diusulkan tujuh dari 10 fraksi di DPR. Tujuh fraksi itu adalah Fraksi Partai Gerindra, Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Hanura.
Usulan yang sebelumnya muncul, negara membiayai saksi parpol dengan anggaran negara yang harus dikeluarkan sekitar Rp 545 miliar (Kompas, 15/5).
Fraksi PDI-P, Partai Golkar, dan Nasdem menolak usulan tersebut.
Tidak konsisten
Mantan komisioner KPU, Hadar Navis Gumay, melihat ada inkonsistensi sikap Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo saat menyetujui pembiayaan pelatihan saksi oleh negara. Sebab, saat usulan pembiayaan saksi oleh negara muncul, negara terlihat keberatan karena kondisi keuangan negara masih terbatas.
“Padahal, pembiayaan pelatihan saksi ini bakal menguras anggaran negara,” ucapnya.
Tidak menutup kemungkinan perubahan sikap pemerintah ini terkait dengan sikap pemerintah yang ingin ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden tetap berlaku pada Pemilu 2019.
“Mungkin saja pemerintah mengakomodasi isu pembiayaan pelatihan saksi demi ambang batas presiden-wakil presiden tetap ada di pemilu selanjutnya. Sangat disayangkan kalau ini terjadi. Sebab, penyusunan undang-undang berarti semata untuk kepentingan jangka pendek partai politik,” kata Hadar.
Peneliti ICW, Almas Sjafrina, menambahkan, selain akan menyedot banyak anggaran negara, pembiayaan pelatihan saksi ataupun saksi oleh negara menunjukkan parpol telah gagal menjalankan tanggung jawabnya. Sebab, pengadaan ataupun pelatihan saksi merupakan bagian dari tanggung jawab parpol, yaitu melakukan kaderisasi dan pendidikan politik.
Kegagalan ini menjadi ironis karena selama ini negara telah memberikan bantuan keuangan untuk parpol. Di level pusat, bantuan itu besarnya Rp 13,1 miliar. Di level provinsi dan kabupaten/ kota, besarnya Rp 386 miliar.
Pelatihan saksi parpol yang menurut rencana dilakukan Bawaslu tersebut, menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, juga berpotensi membuat Bawaslu makin kesulitan mencegah dan menindak kecurangan pemilu. Pasalnya, ada tambahan tugas baru bagi mereka. Padahal, selama ini Bawaslu masih lemah dalam menjalankan tugasnya.
Jika diasumsikan jumlah TPS pada Pemilu 2019 sama banyaknya dengan TPS Pemilu 2014, yaitu 545.803 TPS, maka saksi di TPS yang harus dilatih bisa mencapai 8 juta orang. Ini dengan asumsi ada 15 parpol peserta pemilu. Jumlah saksi yang dilatih akan lebih banyak karena belum termasuk saksi untuk proses rekapitulasi suara di kecamatan, kabupaten/kota, hingga pusat.
Selain menolak pembiayaan pelatihan saksi ataupun pembiayaan saksi, koalisi juga menolak rencana penambahan 15 kursi DPR dari saat ini 560 menjadi 575 kursi. (APA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juni 2017, di halaman 2 dengan judul “Parpol Gagal Tanggung Jawab”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/06/12/Parpol-Gagal-Tanggung-Jawab