Pembahasan Berorientasi Jangka Pendek
JAKARTA, KOMPAS — Ambang batas pencalonan presiden dalam Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu menjadi isu penentu lobi antarfraksi. Pembahasan RUU itu dikhawatirkan cenderung berorientasi jangka pendek, yaitu kepentingan sejumlah pihak di Pemilu 2019.
Dalam rapat Panitia Khusus RUU Pemilu DPR dengan pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/6), mekanisme pengambilan keputusan terkait isu-isu krusial diputuskan melalui musyawarah, bukan suara terbanyak.
Sebagai konsekuensi, diperlukan lobi dan kompromi yang intens antarpimpinan partai politik. Pertukaran isu atau pasal, yang biasa disebut ‘tukar guling pasal’, pada akhirnya tidak dapat dihindari demi mencapai satu kesepakatan bulat bagi semua pihak yang terkait. Dalam lobi yang berlangsung hingga pukul 22.00 kemarin, antara 10 fraksi DPR dan pemerintah, akhirnya diputuskan pengambilan keputusan ditunda hingga Selasa mendatang.
Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Gerindra DPR Ahmad Riza Patria mengatakan, salah satu isu yang paling alot untuk diputuskan adalah isu ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Ia mengatakan, bukan hanya fraksi-fraksi yang bersikap keras terkait isu ini, melainkan juga pemerintah.
Pemerintah, ujarnya, cenderung mengalah di isu lain, tetapi keras memperjuangkan ambang batas seperti saat ini, yakni 20 persen perolehan suara nasional atau 25 persen perolehan kursi DPR. “Kami bertanya-tanya, kenapa pemerintah berkukuh di isu presidential threshold?” ujarnya.
Senada dengan Riza, anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Golkar, Rambe Kamarul Zaman, mengatakan, ambang batas pencalonan presiden menjadi salah satu penentu. “Isu presidential threshold menjadi kuncian karena urusannya soal presiden yang dipilih di 2019 nanti,” katanya.
Terkait ambang batas pencalonan presiden, beberapa fraksi mulai terbuka untuk kompromi. Setelah lobi-lobi antarfraksi, termasuk setelah pertemuan antartujuh pimpinan partai politik (kecuali PDI-P, Golkar, dan Nasdem), Rabu (7/6), ada kecenderungan sikap mengerucut pada opsi terakhir, yakni menurunkan ambang batas pencalonan presiden. Ada dua opsi yang berkembang, antara menyesuaikan ambang batas pencalonan presiden sesuai ambang batas parlemen atau menurunkannya ke angka tertentu, seperti 10-15 persen.
Anggota pansus dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, yang sebelumnya ingin ambang batas di angka 20 persen atau 25 persen, menyatakan, fraksinya bersedia berkompromi. PDI-P, yang awalnya mendukung sistem pemilu legislatif (pileg) tertutup, bahkan mempertimbangkan sistem pileg proporsional terbuka karena menilai ambang batas pencalonan presiden tetap diperlukan demi penguatan sistem presidensial. “Yang penting, presidential threshold jangan sampai nol persen, turun sedikit tidak apa-apa,” katanya. “Sebenarnya kami ingin nol persen, tetapi kalau tidak bisa ketemu, ambil saja titik tengah, mau sesuai ambang batas parlemen? Atau menurunkan ke angka lain?” kata Ahmad Riza dari Fraksi Gerindra.
Namun, Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman mengatakan, fraksinya tetap menginginkan penghapusan ambang batas pencalonan presiden. “Kami tidak bergeser. Mutlak harus nol persen,” kata Benny.
Adapun dalam perkembangan lobi-lobi terakhir, kemarin, ambang batas parlemen cenderung mengarah ke angka 4 persen sampai 5 persen.
Akal-akalan
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, menilai pembahasan RUU Pemilu oleh DPR dan pemerintah terlalu berorientasi kepentingan politik jangka pendek, bukan lagi kepentingan kolektif bangsa. Pengambilan keputusan berdasarkan hitungan peluang dalam Pemilu Presiden 2019 sehingga skenario keputusan ditarik-ulur untuk keuntungan elektoral semata. “Apakah partai tidak boleh punya kepentingan? Tentu boleh, tetapi di atas segalanya itu, ada kepentingan kolektif bangsa,” katanya.
Ia pun menilai arah kecenderungan untuk menurunkan ambang batas pencalonan presiden bukan solusi. Sebab, permasalahannya bukan angka ambang batas, melainkan konstitusionalitas penerapan ambang batas itu sendiri di Pemilu 2019.
“Mau diturunkan jadi 1 persen pun tetap tidak relevan karena tetap berpeluang diuji materi. Penurunan ambang batas itu hanya akal-akalan agar ada kompromi,” ujarnya. (AGE/MHD)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Juni 2017, di halaman 2 dengan judul “Syarat Usung Capres Jadi Kunci”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/06/09/Syarat-Usung-Capres-Jadi-Kunci