September 13, 2024

Pemilu 2019 Tersandera

Pemerintah Ancam Menarik Diri dari Pembahasan

JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan pemilu serentak 2019 tersandera kepentingan politik pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang. Ancaman pemerintah menarik diri dari pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu bisa mengorbankan kualitas pemilu.

Jika pemerintah menarik diri dari pembahasan RUU Pemilu, proses pembahasan yang sudah berlangsung selama tujuh bulan terakhir ini sia-sia dan menemui jalan buntu (deadlock). Wacana pemerintah menarik diri dari pembahasan sudah mengemuka sejak beberapa hari terakhir setelah opsi ambang batas pencalonan presiden yang diusulkan pemerintah, yaitu 20-25 persen, tak kunjung mendapat kesepakatan bulat.

“Pemerintah banyak mengalah pada poin-poin yang lain, maka saya juga mohon teman-teman fraksi di Pansus ya ngalah juga, dong, soal menemukan titik temu. Boleh, dong, pemerintah punya opsi,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Kamis (15/6), di Jakarta.

Kalau pembahasan RUU Pemilu deadlock, yang berlaku adalah UU lama, yaitu UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No 8/2012 tentang Pemilihan Umum Legislatif, dan UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Pernyataan pemerintah yang mengancam akan menarik diri dari pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu disayangkan sebagian fraksi di DPR. Wakil Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman mempertanyakan pernyataan pemerintah. Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi pada 2014 telah menyatakan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2019 diadakan serentak. Itu otomatis mengharuskan adanya UU baru karena UU yang lama sudah tidak relevan.

“Jika menarik diri dan memberlakukan lagi undang-undang lama, berarti pemerintah tak mematuhi putusan MK. Kalau memang tak bisa kompromi, voting saja tidak ada masalah,” katanya.

Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy mengingatkan pemerintah untuk menghormati proses dan mekanisme penyusunan RUU yang berlangsung. “Mumpung masih ada waktu, pemerintah dapat lakukan pembicaraan intensif dengan partai-partai politik untuk mencari titik temu,” katanya.

Penentu

Ambang batas pencalonan presiden menjadi penentu terhadap isu krusial seperti metode konversi suara ke kursi, alokasi kursi per daerah pemilihan, sistem pemilu legislatif, dan ambang batas parlemen.

Seusai pernyataan Tjahjo, posisi politik setiap fraksi di DPR bergeming. Hanya tiga fraksi, PDI-P, Golkar, dan Nasdem, yang bersedia mendukung penerapan ambang batas pencalonan presiden di angka 20 persen perolehan kursi dan 25 persen perolehan suara nasional, seperti yang diusulkan pemerintah.

Fraksi Partai Demokrat masih berkukuh pada usulan meniadakan ambang batas pencalonan presiden. Sementara fraksi-fraksi lain di DPR terpecah untuk menurunkan ambang batas pencalonan presiden ke angka tertentu. Ada sejumlah besaran syarat yang mengemuka, mulai dari 4 persen perolehan suara nasional sampai 15 persen perolehan suara nasional. Pendukung usulan menurunkan ambang batas pencalonan presiden ini pun tidak sedikit.

Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman menuturkan, kebuntuan pembahasan RUU Pemilu akan menimbulkan persoalan kompleks. Menurut dia, jika RUU pemilu itu dibatalkan karena pembahasannya buntu, pemerintah memang bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). “Bagaimana kalau (perppu) ditolak DPR? Berapa lama waktu tersedia bagi KPU untuk merancang Pemilu 2019,” katanya.

(AGE/GAL/NDY/MHD)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juni 2017, di halaman 2 dengan judul “Pemilu 2019 Tersandera”.

http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/06/16/Pemilu-2019-Tersandera