November 27, 2024

Abai dari Realitas Politik 2014

Ongkos politik begitu besar harus dikeluarkan calon anggota legislatif agar bisa terpilih pada Pemilu 2014. Biaya politik tinggi ini kerap menjerumuskan mereka pada korupsi saat sudah menjabat. Namun, seperti lupa pada realitas itu, perbaikan tak maksimal diupayakan saat pembahasan regulasi pemilu.

Ya, kira-kira sekitar tiga miliar rupiah,” ujar anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo, di Jakarta, Senin (17/7), menjawab pertanyaan besaran uang yang harus dikeluarkan untuk bisa terpilih dalam Pemilu 2014.

Bagian pengeluaran terbesar dihabiskan untuk pengadaan bahan dan alat peraga kampanye, seperti kaus, poster, spanduk, baliho, kalender, dan stiker. Daerah pemilihannya, Jawa Tengah III, terdiri atas lima kabupaten, yaitu Grobogan, Blora, Demak, Rembang, dan Pati, sehingga bahan dan alat peraga kampanye yang disiapkan haruslah besar.

Ditambah lagi, karena cakupan wilayah yang luas, dia harus didukung tim sukses yang kuat. Untuk ini, tak tanggung-tanggung, ada 2.000 orang yang masuk di timnya. “Kalau tak begitu, sulit bisa optimal menjangkau lima kabupaten,” ucapnya.

Kisah serupa diceritakan anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi. Setiap pertemuan dengan kelompok masyarakat, misalnya, memerlukan dana minimal Rp 10 juta. Uang itu tak sebatas untuk konsumsi atau bahan kampanye seperti kaus dan kalender.

“Uang bensin mereka yang datang juga harus diganti. Kalau tidak, mana mungkin ada masyarakat yang datang,” katanya.

Pertemuan bisa digelar lima kali dalam sehari. Ini terutama dilakukan pada dua bulan menjelang hari pemilihan. Apabila pertemuan digelar setiap hari, dalam dua bulan bisa menghabiskan hingga Rp 3 miliar. Padahal, masa kampanye pada Pemilu 2014 berlangsung satu tahun. Artinya, ongkos yang dikeluarkan anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Timur XI (mencakup Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep di Pulau Madura) ini bisa lebih dari jumlah tersebut.

“Sumber uangnya ada yang uang pribadi, sumbangan, tetapi ada juga yang harus pinjam sana-sini. Enggak banyak pinjamnya kok, sekarang sudah terbayar semua,” ujar Achmad.

Anggota DPR lainnya dari Fraksi Partai Nasdem, Johnny G Plate, bahkan mengaku pengeluarannya mencapai miliaran rupiah pada Pemilu 2014. Sama seperti Firman dan Achmad, anggota DPR yang terpilih dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur ini juga banyak mengeluarkan uang untuk bahan dan alat peraga kampanye, selain pertemuan intens dengan kelompok masyarakat.

Di antara ongkos yang dikeluarkan, Firman, Achmad, dan Johnny mengaku tak ada yang dikeluarkan untuk politik uang.

Meski demikian, tidak jarang mereka mendengar, banyak calon anggota legislatif (caleg) mengeluarkan banyak uang untuk hal itu. Bahkan, nilainya bisa mencapai miliaran rupiah.

“Dalam satu hari menjelang pemungutan suara, ada yang membagi-bagikan 600.000 amplop kepada calon pemilih dan setiap amplop berisi Rp 20.000. Jadi, total Rp 12 miliar. Itu baru satu hari. Sebelumnya, dia mungkin bagi-bagi uang juga,” kata Achmad.

Dibenahi

Berkaca pada pengalaman ini, Achmad yang juga anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu DPR mengatakan, pansus dan pemerintah coba menekan tingginya ongkos politik terulang pada pemilu selanjutnya dengan membenahi regulasi pemilu.

Salah satu pembenahan yang dilakukan dengan memangkas masa kampanye menjadi tinggal enam bulan dari sebelumnya berlangsung setahun. Selain itu, membatasi iklan kampanye di media elektronik serta mengadopsi salah satu aturan di UU Pilkada, yaitu pengadaan alat peraga kampanye difasilitasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan anggaran negara.

Aturan di UU Pilkada yang memungkinkan penjatuhan sanksi administrasi bagi peserta pemilu pelaku politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif, juga diadopsi untuk mencegah politik uang. Sanksi administrasi di RUU berupa pembatalan caleg. Sanksi ini tidak meniadakan sanksi pidana yang bisa dijatuhkan kepada pelaku politik uang.

“Aturan-aturan baru ini bisa mereduksi ongkos politik yang harus dikeluarkan caleg pada 2019. Selain itu, bisa pula membuat caleg gentar melakukan politik uang,” kata Achmad.

Namun, sekalipun ada perubahan, Johnny yang juga anggota Pansus RUU Pemilu DPR tak yakin hal itu bisa mereduksi ongkos politik yang tinggi atau menghilangkan politik uang.

“Jangan anggap RUU Pemilu ini sebuah kitab suci. Dia dibuat oleh politisi yang juga sarat keperluan dan kepentingan. Jadi, memang tidak mudah, ada keinginan dan idealisme politik yang tidak sejalan dengan realitas politik,” ujarnya.

Realitas politiknya, politik memang berbiaya tinggi. Ongkos tinggi dimulai dari proses kaderisasi dan perekrutan caleg oleh partai. Realitas politik lainnya, politik uang tak mudah dicegah. Bagaimanapun pengaturan pencegahannya di RUU, dia yakin selalu ada celah agar politik uang terus terjadi.

Ditambah lagi, menurut Achmad, realitas politik bahwa masyarakat masih berpikir pragmatis. Mereka memaknai pemilu sebagai ajang menambah pendapatan mereka, bukan untuk menentukan pemimpin terbaik. Dengan demikian, pilihan masyarakat masih ditentukan oleh berapa besar uang yang diberikan calon.

Suara pesimistis juga dilontarkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Menurut Titi, ini lebih karena tidak ada upaya sungguh-sungguh dari DPR dan pemerintah untuk mengatasi realitas politik yang ada saat membahas RUU Pemilu.

Dia mencontohkan, batasan sumbangan perorangan ataupun korporasi saat pemilu di RUU justru diperbesar nominalnya. Padahal, batasan sumbangan itu seharusnya diturunkan besarannya karena akan mendorong caleg berpikir kreatif dalam meyakinkan para calon pemilih. “Tidak semata-mata mengandalkan uang,” ucapnya.

Penataan daerah pemilihan (dapil) di RUU pun tidak maksimal dilakukan. Padahal, ini ikut berkontribusi pada ongkos politik yang dikeluarkan caleg. Dapil yang luas membuat caleg menambah ongkos kampanye.

Selain itu, upaya mencegah politik uang pun tak optimal dilakukan. Ancaman pidana untuk penerima politik uang tidak diadopsi dalam UU Pemilu.

Maka, sungguh ironis ketika realitas politik itu dibiarkan begitu saja. Sebab, akibat ongkos politik yang tinggi, banyak caleg lantas korupsi. Kalau begini, hingga kapan publik harus berharap korupsi hilang dari parlemen?

(AGNES THEODORA/A PONCO ANGGORO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juli 2017, di halaman 4 dengan judul “Abai dari Realitas Politik 2014”. http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/07/18/Abai-dari-Realitas-Politik-2014