Pilkada serentak 2017, utamanya di DKI Jakarta, menunjukkan riuhnya penyampaian ujaran kebencian maupun informasi palsu di ruang maya. Efek hal itu masih membekas di masyarakat. Kini, Pilkada 2018 sudah di depan mata. Sudah siapkah penyelenggara pemilihan menghadapi potensi munculnya ujaran kebencian di pilkada?
Pilkada DKI Jakarta 2017 menyedot perhatian publik, bukan hanya warga Jakarta, melainkan juga warga dari daerah lain. Alhasil, pilkada serentak 2017 yang diselenggarakan di 101 daerah didominasi diskursus Pilkada DKI Jakarta baik di ruang publik dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring). Pilkada DKI Jakarta saat itu berlangsung ”keras”. Media sosial, sebagai salah satu medium komunikasi, juga diwarnai ujaran kebencian maupun informasi palsu.
Dalam pilkada serentak 2018 pada 27 Juni, masyarakat akan memilih kepala daerah di 17 provinsi serta 154 kabupaten dan kota. Provinsi ”lumbung” suara, yakni Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, termasuk tiga daerah yang juga akan menggelar pilkada. Pertarungan akan berlangsung sengit. Namun, apakah keriuhan ujaran kebencian dan hoaks itu juga muncul akan sangat bergantung pada beberapa faktor penarik dan pendorong.
Faktor penarik bisa berupa ketersediaan infrastruktur internet yang memadai, ketersediaan bahan ”dasar” bagi tumbuhnya politik identitas, serta lemahnya ketegasan penindakan terhadap pelaku. Sementara faktor pendorong muncul dari internal kandidat, simpatisan, maupun tim sukses dan partai politik. Sikap yang memandang kandidasi sebagai zero sum game akan memunculkan pertarungan habis-habisan, lantas membuat hoaks dan ujaran kebencian sebagai salah satu strategi.
Indeks Kerawanan Pemilu Pilkada 2018 yang disusun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga menunjukkan 12 dari 17 provinsi yang menggelar pilkada masuk kategori tinggi penggunaan media sosial terkait dengan pilkada. Sementara itu, untuk pilkada kabupaten/kota, 38 daerah masuk kategori tinggi (25 persen).
Peneliti politik kelas menengah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wasisto Raharjo Jati, pekan lalu, menuturkan, ujaran kebencian di media sosial terkait dengan pilkada bisa saja muncul kembali di pilkada serentak 2018. Namun, hal ini lebih berpotensi terjadi di daerah urban yang lebih pesat penetrasi internetnya ketimbang daerah pedesaan. Hal itu juga dipengaruhi faktor demografi pemilih, termasuk faktor identitas primordial.
Untuk menekan potensi munculnya ujaran kebencian ataupun informasi palsu di media sosial pada pilkada serentak 2018, semua pemangku kepentingan punya peranan. Wasisto juga mengingatkan penyelenggara pemilu agar lebih aktif terlibat. ”Justru yang saya lihat bergerak ke sana masyarakat sipil. Mereka berani bersikap jangan sampai ini (ujaran kebencian) muncul lagi,” kata Wasisto.
Penyelenggara pemilihan
Dari sisi penyelenggara pemilu, komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, menuturkan, KPU juga prihatin dengan komodifikasi isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) dalam pilkada. Sebagai antisipasi agar hal itu bisa diminimalkan pada Pilkada 2018, dia mengatakan sudah menugasi jajaran KPU hingga ke badan ad hoc untuk menggunakan media sosial guna mendorong masyarakat tidak menggunakan isu SARA dalam Pilkada 2018.
”Bukan hanya pendidikan pemilih, kami juga minta petugas menggunakan media sosial untuk meng-counter isu-isu bernuansa SARA,” katanya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah mengatur penggunaan media sosial dalam kampanye. Media baru ini diletakkan sejajar dengan media massa cetak dan lembaga penyiaran dalam konteks kampanye. KPU lalu menuangkan pengaturan detail dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pilkada. Di PKPU itu diatur kewajiban tim kampanye mendaftarkan akun resmi, kemudian menutupnya paling lambat sehari setelah masa kampanye selesai.
Diatur pula bahwa konten media sosial tidak boleh mempermasalahkan dasar negara Pancasila dan UUD 1945, menghina suku, agama, ras, dan antar-golongan, menghasut, maupun menggunakan ancaman kekerasan. Persoalannya, bagaimana jika pemilik akun media sosial penyebar ujaran kebencian tidak masuk dalam daftar tim kampanye atau bukan akun pasangan calon?
Dalam rapat konsultasi Bawaslu, KPU, bersama Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, beberapa bulan lalu, muncul komitmen memberikan kewenangan Bawaslu agar aktif menangani ujaran kebencian. Kesimpulan rapat saat itu meminta draf Perbawaslu Pengawasan Kampanye Pilkada ditambahkan pada Pasal 17 dan Pasal 19 soal pengaturan akun liar atau hoax (berita bohong). Bawaslu diberi kewenangan untuk berkoordinasi dan melaporkan akun itu kepada polisi maupun Kementerian Komunikasi dan Informatika atas laporan yang Bawaslu terima.
Sayang, hal itu tidak masuk dalam Perbawaslu No 12/2017 tentang Pengawasan Kampanye Pilkada. Pasal 17 Ayat (2) Huruf (h) hanya menyebut ”kampanye melalui media sosial”. Sementara pada Pasal 19 Ayat (1) mengatur pengawasan yang ”normatif”, yakni kampanye yang dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye. Amanat kesimpulan rapat dengar pendapat Komisi II untuk pengaturan ”akun liar” yang bukan dari tim kampanye tidak masuk dalam Perbawaslu No 12/2017 itu.
Ketua Bawaslu Abhan saat ditanya soal ketiadaan pengaturan ”akun liar” dan kewenangan pelaporan itu mengatakan akan kembali melihat Perbawaslu No 12/2017. Namun, dia juga menuturkan, dengan mengacu pada UU No 7/2017 tentang Pemilu, Bawaslu juga masih bisa memiliki landasan operasional untuk menangani kasus hoaks atau ujaran kebencian karena di UU itu ada larangan kampanye.
”Tinggal memang aplikasinya. Kami berencana membuat satuan tugas siber bekerja sama dengan kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika,” katanya.
Dengan waktu kampanye Pilkada 2018 yang kian dekat, kita tunggu saja bagaimana implementasinya…. (Antony Lee)
Sumber : https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2017/12/14/menanti-kesiapan-penyelenggara-pemilihan/