JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggara pemilihan umum dari tingkat pusat hingga lembaga ad hoc di daerah harus mampu mempertahankan kemandirian dan kredibilitas lembaga karena akan menjadi modal sosial dalam menghadapi Pemilu 2019. Hal itu sangat penting karena penyelenggara pemilu akan menjadi sasaran ketidakpuasan dari peserta pemilu.
Kemandirian yang masih terjaga ini terefleksi salah satunya dalam data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sejak institusi itu didirikan tahun 2012 hingga awal Desember 2017, ada 2.667 perkara yang didaftarkan ke DKPP. Setelah melalui tahap verifikasi, ada 961 perkara yang dianggap layak sidang. Dari angka itu, perkara yang tidak terbukti melanggar kode etik sekitar 55 persen. Angka itu relatif kecil dibandingkan dengan total jumlah penyelenggara pemilu di Indonesia, baik yang permanen maupun ad hoc.
”Ini kami pahami, kita mempunyai modal sosial di Pemilu 2019. Ada lembaga penyelenggara pemilu yang terjaga kemandirian dan kredibilitasnya,” kata anggota DKPP, Ida Budhiati, dalam diskusi peluncuran buku mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, berjudul Catatan Penyelenggaraan Pemilu 2014: Pemilu dan Demokrasi Terkonsolidasi di Gedung KPU di Jakarta, Rabu (13/12).
Kendati begitu, kata Ida, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Badan Pengawas Pemilu, masih memiliki pekerjaan rumah besar. Dari catatan DKPP, sebagian besar pelanggaran etik yang dilakukan penyelenggara pemilu lebih disebabkan oleh persoalan malaadministrasi pemilu. Ini berarti mereka dianggap tidak profesional dan tidak taat prosedur. Hal itu harus diperbaiki karena penyelenggara pemilu akan selalu menjadi sasaran ketidakpuasan peserta pemilu.
Ferry Kurnia menuturkan, tantangan penyelenggaraan pemilu ke depan ialah meningkatkan profesionalitas penyelenggara. Pada saat bersamaan juga mendorong demokrasi elektoral yang semakin baik dari sisi substantif, tidak hanya dari sisi prosedural. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kelembagaan politik, penegakan hukum, dan transparansi serta akuntabilitas.
”Pemilu kita memang semakin demokratis, tetapi di sisi lain juga terjebak pada demokrasi elektoral yang prosedural. Ini berulang kali terjadi dari satu pemilu ke pemilu lain. Sudah ada upaya untuk mengonsolidasi demokrasi menjadi lebih substantif, tetapi belum maksimal,” kata peneliti politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris.
Menurut dia, hal ini disebabkan beberapa hal, salah satunya ketiadaan visi pembuat undang-undang dalam menyusun undang-undang pemilu. Akibatnya, undang-undang pemilu hanya bersifat tambal sulam. Seharusnya, kata dia, ada skema-skema yang disiapkan, semisal skema untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensial, skema memperkuat pemerintahan daerah, serta skema memperkuat wakil-wakil rakyat yang terpilih.
Sementara itu, terkait dengan tahapan pendaftaran partai politik peserta Pemilu 2019, KPU mengagendakan penyerahan hasil penelitian administrasi terhadap berkas perbaikan 14 partai politik, Kamis (14/12) sore. Ketua KPU Arief Budiman menuturkan, setelah dipertimbangkan, KPU memutuskan partai yang lolos ke tahap verifikasi faktual akan tetap ditangani dalam dua jalur waktu yang berbeda. Jalur pertama untuk 14 parpol yang pendaftarannya sejak awal diterima dan jalur kedua untuk sembilan parpol yang pendaftarannya diterima atas putusan Bawaslu. (GAL)
Sumber : https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2017/12/14/kemandirian-penyelenggara-pemilihan-menjadi-modal/