August 8, 2024
Print

Laporan Kekayaan Timbulkan Tanya

Sepuluh bakal calon kepala daerah dalam Pilkada 2018 mempunyai kekayaan kurang dari Rp 30 juta. Dua  orang di antaranya punya kekayaan minus.   

JAKARTA, KOMPAS Laporan harta kekayaan para kandidat yang akan bertarung dalam Pilkada 2018 mesti ditelusuri kebenarannya dengan saksama. Pasalnya, sejumlah laporan menimbulkan pertanyaan.

Berdasarkan penelusuran Kompas di laman http://kpk.go.id/id/pantau-pilkada-indonesia pada Selasa (23/1) malam, ada 1.161 bakal calon kepala daerah yang melaporkan harta kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari jumlah tersebut, sedikitnya ada 10 bakal calon yang punya kekayaan di bawah Rp 30 juta. Bahkan, dua orang di antaranya punya kekayaan minus.

Berkas para bakal calon kepala daerah yang punya kekayaan terbatas ini telah terverifikasi. Di KPK, proses verifikasi itu berupa verifikasi administratif dengan mengandalkan bukti dan dokumen yang dilampirkan dalam laporan yang diserahkan kepada petugas laporan harta kekayaan.

Kekayaan di bawah Rp 30 juta ini amat jauh dari kebutuhan untuk ikut pilkada, Menurut data dari Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, pengeluaran untuk bakal bupati/wali kota dalam pilkada berkisar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar, sedangkan untuk gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar (Kompas, 23/1).

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menuturkan, adanya bakal calon kepala daerah yang punya harta minus disebabkan yang bersangkutan masih memiliki utang yang belum terlunasi atau ada persoalan keuangan lain.

Dari pengalaman pada Pilkada 2015 dan 2017, sejumlah calon kepala daerah yang total hartanya rendah berasal dari independen. ”Kalaupun diusung partai politik, biasanya punya elektabilitas bagus,” kata Pahala.

Tidak masuk akal

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, menilai, laporan kekayaan bakal calon kepala daerah yang memiliki kekayaan di bawah Rp 30 juta tidak masuk akal. Menurut dia, terdapat tiga potensi negatif terkait laporan jumlah harta yang minim itu.

Pertama, para calon kepala daerah itu tidak jujur dalam melaporkan jumlah kekayaan. Kedua, mereka menjadikan Pilkada 2018 sebagai ajang mencari pekerjaan. Ketiga, mereka didukung pemilik modal yang berpotensi akan bekerja sama di kemudian hari untuk menyalahgunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

”Penyelenggara pemilu harus menelusuri kebenaran laporan itu. Kalau tidak jujur, seharusnya mereka didiskualifikasi. Sebab ketika masih jadi calon kepala daerah saja sudah tidak jujur, tentu berpotensi buruk ketika nanti terpilih,” ujar Syamsuddin.

Pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, mengatakan, penyelenggara pemilu perlu memeriksa portofolio calon kepala daerah itu sehingga bisa membuktikan kebenaran laporan mereka. Selain itu, hingga sebelum penetapan calon kepala daerah pada 12 Februari merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan tanggapan terhadap pengajuan bakal calon kepala daerah yang dianggap memiliki kejanggalan.

Menurut Gun Gun, calon kepala daerah yang berdana minim rentan mendapat sokongan dana dari pemilik modal. Ketergantungan terhadap pemilik modal itu akan berdampak negatif karena ada kemungkinan calon kepada daerah telah melakukan kesepakatan untuk memberikan akses sumber daya ekonomi di daerah kepada pemilik modal itu.

Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, juga menilai, terjunnya para calon kepala daerah yang kekayaan pribadinya terbatas rentan ditunggangi pihak tertentu. Apalagi jika mereka punya potensi besar untuk memenangi pilkada. ”Harus diwaspadai masuknya cukong pengusaha yang bisa membuka celah korupsi,” ujarnya.

Oce menambahkan, majunya para calon kepala daerah dengan dana pribadi terbatas yang kadang merupakan tokoh independen atau sosok baru dengan elektabilitas bagus memang dilematis. Di satu sisi, mereka bisa menjadi harapan meruntuhkan dinasti politik di sejumlah daerah yang sarat dengan korupsi. Namun, munculnya politik balas budi juga patut dicermati dari para kandidat yang punya kekayaan terbatas.

Terkait hal itu, kata Oce, audit laporan dana kampanye menjadi langkah awal yang penting untuk mencegah politik balas budi dan korupsi politik secara umum. Ironinya, pelaporan dana kampanye cenderung bersifat formalitas. ”Selama ini terkesan asal ada laporannya. Semestinya audit dilakukan secara independen dengan sanksi tegas jika ada pelanggaran,” katanya. (IAN/SAN)

Selengkapnya: https://kompas.id/baca/bebas-akses/2018/01/24/laporan-kekayaan-timbulkan-tanya/