August 8, 2024

Perketat Pelaporan

Biaya  pilkada umumnya lebih besar daripada  kekayaan kandidat. Dengan demikian, yang harus diawasi bukan cuma pelaporan sumbangan, melainkan juga balas jasa  bagi  donatur yang bisa mengarah ke korupsi. 

JAKARTA, KOMPAS Biaya yang harus dikeluarkan para kandidat dalam pemilihan kepala daerah umumnya lebih besar daripada kekayaan yang mereka miliki. Ini membuat para kandidat mengoptimalkan penerimaan sumbangan dari pihak lain untuk membiayai pilkada.

Namun, hingga saat ini belum ada mekanisme pelaporan penerimaan sumbangan yang diterima dan kemudian dipakai para kandidat dalam pilkada secara detail dan tegas.

Padahal, pemberian sumbangan itu sering kali memiliki dampak yang panjang karena diikuti dengan sejumlah komitmen politik jika kandidat yang bersangkutan memenangi pilkada.

”Hal terpenting (dalam pilkada) adalah mekanisme pelaporan dana kampanye yang diterima dan dikeluarkan. Sayangnya, laporan ini tidak dieksekusi dengan baik oleh para calon sehingga akhirnya sulit mendeteksi politik uang yang mungkin akan terjadi,” kata Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan, Senin (22/1), di Gedung KPK, Jakarta.

Minus

Berdasarkan laman di http://kpk.go.id/id/pantau-pilkada-indonesia, hingga semalam ada 1.159 bakal calon kepala daerah peserta Pilkada 2018 yang melaporkan harta kekayaannya kepada KPK. Kekayaan mereka bervariasi dengan bakal calon wakil gubernur Sumatera Utara Sihar Pangihutan H Sitorus sebagai yang terkaya dengan kekayaan Rp 350 miliar. Namun, ada juga bakal calon kepala daerah yang melaporkan harta kekayaannya adalah minus.

Dalam Studi Potensi Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada 2017 yang dilakukan KPK, rata-rata total harta kekayaan pemenang adalah Rp 11,9 miliar.

Sementara itu, berdasarkan data dari Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, rata-rata pengeluaran untuk bupati/wali kota berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar. Adapun untuk pemilihan gubernur, biayanya bisa mencapai Rp 100 miliar. Dengan kata lain, dana kampanye yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan dengan harta yang mereka miliki.

Hal ini juga terbukti dari studi KPK di mana 47,3 persen responden mengeluarkan dana pilkada melebihi harta yang dimilikinya. Bahkan, 36 persen responden menghabiskan biaya kampanye lebih tinggi daripada yang dilaporkan di Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye.

Untuk menutup biaya kampanye ini, 82,6 persen responden menerima sumbangan untuk pendanaan pilkada. Selanjutnya, mengenai mekanisme laporan, 34,7 persen mengaku menerima sumbangan melebihi yang dilaporkan dalam Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye.

Banyaknya sumbangan yang diterima kandidat saat pilkada ini perlu diantisipasi. Pasalnya, 71,3 persen responden menyatakan para donatur mengharapkan balasan saat calon kepala daerah itu menjabat. Balas jasa yang diberikan berupa keamanan menjalankan bisnis, kemudahan perizinan, dan kemudahan ikut tender.

Kemudian, 82 persen responden mengaku para calon kepala daerah memenuhi harapan itu.

”Ini membuat tidak heran kalau kemudian banyak operasi tangkap tangan atas berbagai kasus korupsi yang terjadi. Perkara yang menjerat para kepala daerah juga tidak jauh berbeda. Adanya komitmen di awal itu yang berdampak pada penganggaran APBD saat mereka menjabat. Jadi, perlu didorong untuk membuka siapa para pemberi sumbangan ini,” tutur Pahala.

Hal senada disampaikan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan.

”Yang mesti dipastikan adalah laporan dana kampanye. Semua kandidat harus jujur dan sesuai, antara yang diterima dan yang dikeluarkan secara riil. Ini termasuk juga laporan sumbangan. Semua yang diterima harus dilaporkan. Kalau ini bisa ditegakkan, pertarungan tidak adil karena uang, bisa diminimalkan,” tutur Ade.

Ia pun berpendapat perlunya politik uang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, mengingat selama ini ketidaktaatan dan ketidaktepatan laporan dana kampanye tidak memiliki sanksi dari Badan Pengawas Pemilu. (IAN)

Selengkapnya: https://kompas.id/baca/bebas-akses/2018/01/23/perketat-pelaporan/