August 8, 2024

Perempuan dalam Kontestasi Pilkada

Perempuan turut mewarnai perhelatan pilkada serentak 2018 yang pemungutan suaranya akan digelar pada 27 Juni mendatang, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, sebanyak 101 perempuan menjadi kandidat dalam pilkada tersebut. Sebanyak 49 perempuan maju sebagai bakal calon kepala daerah dan 52 lainnya terdaftar sebagai bakal calon wakil kepala daerah.

Jumlah kandidat perempuan di pilkada mendatang adalah 8,8 persen dari total 574 pasangan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terdaftar. Jumlah tersebut merupakan peningkatan. Pasalnya, pada pilkada serentak 2015 terdapat 7,9 persen calon perempuan. Sementara pada pilkada serentak 2017 tercatat hanya 7,1 persen perempuan dari total calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang bertarung.

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan mayoritas responden tidak mempermasalahkan perempuan masuk ke dunia politik. Bahkan, sebanyak 81,5 persen responden tidak mempersoalkan jika daerahnya dipimpin perempuan. Publik menilai sejumlah perempuan kepala daerah berhasil membuktikan diri mampu memimpin daerah. Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Idza Priyanti (Bupati Brebes), dan Dewanti Rumpoko (Wali Kota Batu) menjadi beberapa contoh nama yang disebut publik sebagai srikandi politik dan dinilai berhasil memajukan daerahnya.

Meskipun responden mengapresiasi kinerja sejumlah perempuan kepala daerah, hal itu tidak membuat semua perempuan yang menjabat kepala daerah lalu dipersepsikan memiliki kompetensi yang lebih baik dari kepala daerah laki-laki.

Figur perempuan kepala daerah tidak diidentikkan sebagai pemimpin yang lebih bersih atau lebih kompeten. Tersangkutnya sejumlah perempuan kepala daerah dalam kasus korupsi menjadi faktor yang turut memengaruhi penilaian publik. Kasus teranyar, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari menjadi tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait perizinan lahan pada Oktober tahun lalu.

Lebih dari separuh responden menyebut kompetensi sosok calon kepala daerah sebagai bahan pertimbangan utama dalam memutuskan pilihan. Saat ini, perempuan dan laki-laki ada pada posisi setara di pilkada. Pemilih tak lagi mementingkan jenis kelamin, tetapi lebih mempertimbangkan kemampuan dan latar belakang sosial politik mereka.

Dalam kontestasi politik, perempuan yang menjadi kandidat kepala daerah juga dituntut menunjukkan kemampuannya sebagai pemimpin untuk merebut hati pemilih. Tjhai Chui Mie, perempuan pertama yang memimpin kota Singkawang, Kalimantan Barat, adalah salah satu contoh. Sebelum terpilih menjadi kepala daerah, Tjhai Chui Mie aktif di kegiatan sosial dan menjadi Ketua DPRD Singkawang. Rekam jejaknya itu yang membuat konstituen memilihnya.

Melihat bursa calon kepala daerah atau wakil kepala daerah perempuan dalam pilkada mendatang, latar belakang pekerjaan swasta tampak mendominasi. Sementara profesi lain dari bidang politik antara lain perempuan sebagai mantan kepala daerah, mantan wakil kepala daerah, anggota DPR, dan anggota DPRD tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota.

Melanjutkan kekerabatan

Di tengah bergesernya perubahan persepsi publik terkait jenis kelamin calon pemimpin daerah, figur perempuan calon kepala daerah kerap dimanfaatkan sebagai bagian dari strategi pelanggengan politik kekerabatan di daerah. Hal ini setidaknya tampak dari fakta bahwa 41 persen perempuan bakal calon kepala daerah dalam pilkada mendatang berstatus sebagai kerabat tokoh politik setempat, baik itu sebagai anak, adik, maupun istri.

Bahkan, 12 orang dari 49 perempuan bakal calon kepala daerah yang akan bertarung adalah istri dari kepala daerah yang sedang berkuasa. Sebagai contoh, bakal calon bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika merupakan istri Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Sosok lain adalah bakal calon wali kota Serang Vera Nurlaela Jaman yang merupakan istri Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman.

Praktik politik kekerabatan banyak ditemui di negeri ini. Pemindahan kekuasaan yang masih dalam satu keluarga diakomodasi oleh sejumlah partai politik (parpol). Popularitas tentu menjadi pertimbangan parpol dalam memilih calon kepala daerah. Lambatnya pengaderan dan ambisi kemenangan menyebabkan parpol mengambil jalan pintas dengan menggandeng keluarga petahana di pilkada. Istri kepala daerah menjadi salah satu pilihan parpol karena popularitasnya yang ikut terangkat selama suaminya menjabat. Umumnya, modal politik telah dimiliki sang istri, misalnya karena menjadi ketua tim penggerak PKK daerah dan kerap ikut blusukan bersama suami.

Politik kekerabatan memang tidak dilarang menurut hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 menyatakan calon kepala daerah yang berkonflik kepentingan dengan petahana tidak bertentangan dengan konstitusi. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Jika memang terjadi penyalahgunaan kewenangan, hukum yang akan menyelesaikan.

Meski demikian, politik kekerabatan terkesan negatif di mata publik karena dianggap melanggengkan kekuasaan dan dalam sejumlah kasus menyalahgunakan wewenang. Kekerabatan politik di Banten menjadi salah satu contoh. Ratu Atut Choisyah, mantan gubernur yang terjerat kasus korupsi, adalah kakak tiri Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman.

Adik ipar Atut, Airin Rachmi Diany, memimpin Kota Tangerang Selatan. Selain itu, adik Atut, Ratu Tatu Chasanah, kini menjabat sebagai Bupati Serang. Menantu Atut, Tanto Warsono, pun menjadi Wakil Bupati Pandeglang. Terakhir, anak Atut, Andika Hazrumy, juga menjadi Wakil Gubernur Banten yang terpilih pada pilkada serentak 2017.

Kesetaraan jender

Representasi perempuan di dunia politik menjadi salah satu bentuk kesetaraan jender. Kehadiran perempuan di politik diharapkan dapat membuat isu-isu sosial, terutama yang berkaitan dengan perempuan dan anak, dapat makin menjadi prioritas.

Namun, hal ini ternyata tidak mutlak terjadi jika perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah tidak memiliki perspektif jender. Sebaliknya, jika laki-laki yang menjadi kepala daerah, tidak lantas abai terhadap persoalan perempuan dan anak. Sejumlah kebijakan terkait pemberdayaan perempuan lahir di daerah yang pemimpinnya bukan perempuan. Misalnya, Perda Kota Tasikmalaya Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terbit saat masa pemerintahan Wali Kota Budi Budiman.

Basuki Tjahaja Purnama saat memimpin Jakarta juga melahirkan program unggulan, yakni Ruang Publik Terpadu Ramah Anak. Fasilitas publik ini dibangun untuk menjadi sarana beraktivitas ibu-anak mengingat langkanya ruang publik di Jakarta.

Pemimpin yang punya perspektif jender menjadi kunci kelahiran kebijakan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan perempuan dan anak. Pilkada 2018 menjadi ajang pembuktian apakah kandidat perempuan yang maju akan membawa perubahan di daerah yang akan dipimpinnya atau sekadar menjadi alat pelanggengan kekerabatan politik daerah, seperti yang terjadi di sejumlah daerah. (Litbang Kompas/Ida Ayu Grhamtika Saitya)

Dikliping dari artikel di harian Kompas edisi 5 Februari 2018 di halaman 5 dengan judul “Perempuan dalam Kontestasi Pilkada”.

https://kompas.id/baca/bebas-akses/2018/02/05/perempuan-dalam-kontestasi-pilkada/