August 8, 2024

Bawaslu Akan Terbitkan Kurikulum Ceramah Saat Masa Kampanye

JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilihan Umum akan mengedarkan kurikulum materi ceramah para pemuka agama saat masa kampanye pemilihan kepala daerah pada Juni mendatang. Langkah tersebut diambil agar semua agama dapat mendorong terciptanya nuansa damai di tengah persaingan politik di masyarakat.

Komisioner Bawaslu, Rahmat Bagja, menyampaikan, kurikulum tersebut disusun melalui proses konsultasi dengan seluruh organisasi keagamaan di Indonesia, antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan Konferensi Waligereja Indonesia.

”Insya Allah akan kami sebarkan kepada organisasi-organisasi keagamaan. Agar ceramah-ceramah agama ketika kampanye lebih cenderung menyejukkan daripada menyesakkan dada,” ujar Rahmat seusai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ”Pilkada Tanpa SARA,” yang diselenggarakan Setara Institute di Jakarta, Kamis, (8/2).

Menurut Rahmat, peran agama penting untuk menciptakan suasana yang damai di tengah nuansa politik identitas berbasiskan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang mulai terasa kehadirannya di tengah masyarakat.

Rahmat berkaca pada penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017. Saat itu, mimbar-mimbar keagamaan cenderung berpihak kepada salah satu calon dan menebar kebencian di antara sesama masyarakat. Perbedaan agama seolah menjadi perdebatan utama dalam pesta demokrasi saat itu.

Berangkat dari evaluasi Pilkada DKI yang dinilai Rahmat penuh dengan isu SARA yang memicu konflik di tengah masyarakat, Bawaslu telah menyusun Indeks Kerawanan Pilkada 2018. Indeks tersebut disusun berdasarkan tiga aspek, yaitu materi kampanye, kekerabatan para calon kepala daerah, dan pengaruh pemuka agama dan adat.

Terdapat delapan provinsi yang dinilai rawan konflik saat pilkada serentak mendatang. Kedelapan provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menilai, dalam konsep negara bangsa, siapa pun pemimpin yang dipilih melalui mekanisme demokrasi bersifat sah dan wajib ditaati. ”Tidak ada istilah kafir,” ujar Robikin.

Menurut Robikin, penggunaan sentimen SARA yang dikelola semata-mata untuk kepentingan politik suatu kelompok tertentu akan berdampak pada rusaknya hubungan sosial di masyarakat. Lebih dari itu, konflik yang timbul dari diembuskannya isu SARA akan berakibat pada rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa.

Senada dengan yang disampaikan Rahmat, Robikin menyoroti mimbar-mimbar keagamaan saat masa Pilkada DKI 2017 yang cenderung memperkeruh suasana. ”Mimbar-mimbar keagamaan dijadikan panggung politik untuk kemudian mengafirkan kelompok agama yang berbeda dengan dirinya,” kata Robikin.

”Bahkan yang seagama pun bisa dikafirkan semata-mata hanya karena perbedaan politik. Ini terjadi dan dampaknya akan sangat merusak,” lanjut Robikin.

Dilarang agama 
Robikin mengatakan, Islam melarang umatnya melakukan perbuatan yang mengandung ujaran kebencian yang berdasarkan SARA. Penegasan akan hal itu juga menjadi salah satu keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Lombok, NTB, pada 2017.

”Ujaran kebencian adalah perilaku yang tidak berakhlak karimah atau akhlak terpuji karena perbuatan ini menyerang kehormatan pribadi dan golongan yang dilindungi agama atau hifz al-‘irdh,” ujar Robikin.

Dengan demikian, Robikin menganggap, penggunaan mimbar keagamaan guna meraup kepentingan politik tertentu yang berdampak terhadap perpecahan di masyarakat bersifat haram. Menurut dia, agama tidak sekadar aqidah dan syariat, tetapi juga moral.

Menurut Robikin, pilkada yang merupakan bagian dari proses demokrasi harus dapat menjamin kemerdekaan para pemilihnya. ”Kalau pilkada tidak disertai dengan perilaku yang beradab, proses itu mengurangi makna dari kelahiran agama itu sendiri,” kata Robikin.

Adu program
Dalam rangka pengamanan pilkada, Kepolisian Negara Republik Indonesia membentuk Satgas Nusantara. Satgas itu diketuai Irjen Gatot Edi Pramono. Salah satu tugas utama satgas tersebut adalah mengurangi penyebaran isu provokatif terkait SARA yang dapat memicu konflik sosial di masyarakat.

”Satgas ini dibentuk berdasarkan pengalaman pilkada di masa lalu. Pendekatan yang kami gunakan adalah 80 persen soft approach (pendekatan lunak), dengan melakukan sosialisasi di masyarakat, melibatkan pemuka agama, adat, dan tokoh masyarakat. Sementara pendekatan hukum kami gunakan hanya sekitar 20 persen,” tutur Gatot.

Ia berharap, para calon kepala daerah bertarung dengan mengadu gagasan dan program sehingga dapat terpilih karena ide pembangunan di daerahnya. Meski demikian, Gatot menilai, masih banyak pihak terkait dengan peserta pilkada yang menggunakan isu-isu identitas dan SARA untuk meraih kemenangan. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik di antara masyarakat.

”Dalam sistem demokrasi, orang boleh menyampaikan pendapatnya, ekspresinya. Akan tetapi, ada rule of the law (hukum yang mengatur), ada batasannya,” lanjut Gatot.

”Isu politik identitas dan SARA tanpa disadari mengancam persatuan kita sebagai bangsa Indonesia. Apakah mau negara kita terpecah belah karena perbedaan SARA seperti yang terjadi di Afghanistan atau Uni Soviet (kini Rusia)?” ucap Gatot.

Suku asli
Budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan, identitas seorang manusia yang tidak bersalah saat ini terus dieksploitasi dan dimanipulasi oleh kepentingan politik tertentu. Ironisnya, kecenderungan politik saat ini hanya mencari jabatan untuk memperoleh kekuasaan dari sumber daya ekonomi yang ada.

Ihwal identitas, Panca menilai, Indonesia tidak pernah memiliki sejarah akan persaingan antara satu identitas dan identitas yang lain. Persaingan di antara identitas pada awalnya terjadi di wilayah yang memiliki struktur geografis berupa daratan, seperti di Benua Eropa. Sifat hubungan antarsuku di daratan yang berupa separasi (pemisahan) memungkinkan mereka saling bersaing satu sama lain.

”Basis historis Indonesia ialah kehidupan maritim. Melihat kehidupan maritim dari pelabuhan, tidak pernah ada para bandar pelabuhan yang menolak kedatangan siapa pun dari suku mana pun. Hubungan itu kemudian berlanjut dengan meleburnya satu suku dengan suku yang lain,” tutur Panca.

”Jadi, tidak pernah ada satu suku yang murni di Indonesia. Tidak ada, misalnya, Jawa murni, Bali murni, atau suku murni yang lain karena semua dari kita itu campuran dan melebur dari semua pendatang. Hakikat kita itu saling menerima, jauh di atas sekadar mempunyai rasa toleransi,” kata Panca.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menganggap politik identitas merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Ia juga menilai, masyarakat telah dewasa sehingga tidak mudah dipecah belah hanya karena isu politik identitas berdasarkan SARA.

”Yang dimaksud SARA dan politik identitas itu apa? Kalau saya katakan dalam era demokrasi ini, misalnya, di Pilkada Jawa Barat pilihlah orang Sunda, masak itu salah. Itu, kan, politik identitas dan bagian dari SARA,” kata Fadli saat ditemui di Kompleks DPR, Jakarta.

”Kalau, misalnya, di Sumut (Pilkada Sumatera Utara) saya bilang pilih orang Jawa atau dari Batak, itu kan biasa dalam politik,” lanjut Fadli.

Menurut Fadli, hal yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan demokrasi, khususnya saat pilkada mendatang, adalah menebar fitnah atau kampanye hitam. Hal seperti itu dinilai akan merusak persatuan masyarakat Indonesia. (DD14)

https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2018/02/08/bawaslu-akan-terbitkan-kurikulum-ceramah-saat-masa-kampanye/