August 8, 2024

Korupsi Bayangi Peserta Pilkada

JAKARTA, KOMPAS — Pemilu kepala daerah serentak tahun 2018, yang digelar dengan biaya Rp 18 triliun, Senin (12/2) ini, memasuki tahap penetapan pasangan calon. Dari 1.160 calon kepala daerah yang mendaftar untuk memperebutkan kursi kepala atau wakil kepala daerah di 171 daerah yang mengelar pilkada serentak, ada calon yang telah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pada Minggu, bakal calon Gubernur Nusa Tenggara Timur, yang juga Bupati Ngada, Marianus Sae, tiba di kantor KPK di Jakarta. Ia ditangkap karena diduga menerima suap hingga miliran rupiah terkait proyek di daerahnya.

Pada 3 Februari lalu, KPK juga menangkap Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko. Nyono yang juga sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat untuk bertarung pada Pilkada 2018 diduga menerima suap dari pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang. Ia diduga menggunakan sebagian dana itu untuk membayar iklan kampanye (Kompas, 3/2).

Sesuai Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Marianus Sae serta Nyono tetap bisa ditetapkan sebagai calon dan ikut pilkada hingga ada putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap perkaranya. Jika mereka menyatakan mundur, partai pengusungnya tak dapat mengajukan calon pengganti. Jika keputusan untuk mundur ini dilakukan setelah penetapan calon, ada denda Rp 20 miliar untuk calon gubernur dan wakil gubernur serta Rp 10 miliar untuk calon bupati/wali kota ataupun wakilnya yang mundur.

Sejumlah kasus itu memberi peringatan serius terkait dengan kualitas pilkada. Pasalnya, untuk penyelenggaraan Pilkada 2018, negara saat ini telah mengeluarkan sedikitnya Rp 10,5 triliun.

Biaya

Anggota KPU, Ilham Saputra, di Jakarta, akhir pekan lalu, menyampaikan, sebagian besar dana pilkada untuk KPU digunakan untuk honorarium. Sisanya untuk mendanai sebagian kebutuhan kampanye dari kandidat.

Namun, para kandidat dan tim suksesnya juga harus menyiapkan sejumlah uang, seperti untuk sosialisasi dan biaya saksi.

Hasil olah data laporan penerimaan dan penggunaan dana kampanye (LPPDK) yang dilaporkan ke KPU pada Pilkada 2017, rata-rata kandidat pada pemilihan gubernur menghabiskan dana Rp 15,7 miliar. Di DKI Jakarta, dana kampanye pasangan calon dilaporkan berkisar Rp 50 miliar hingga Rp 60 miliar. Namun, jumlah dana yang dilaporkan dalam LPPDK itu jauh lebih rendah daripada total dana yang dikeluarkan setiap kandidat.

Sementara kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri memperkirakan biaya kampanye untuk pemilihan gubernur berkisar Rp 20 miliar-Rp 100 miliar, sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota berkisar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar.

Para kandidat sudah harus mengeluarkan biaya sejak mendaftar diri ke parpol. Bakal calon Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa, misalnya, harus mengeluarkan Rp 50 juta-Rp 100 juta untuk mendaftar ke sekretariat partai tingkat provinsi di Surabaya atau ke tingkat pusat di Jakarta. Namun, mereka menegaskan tidak memberikan uang khusus kepada pengurus partai demi mendapatkan dukungan.

Biaya yang harus disiapkan kandidat untuk Pilkada 2018, yang digelar kurang dari satu tahun sebelum Pemilu 2019, berpotensi lebih besar lagi karena kontestasi makin ketat. Ini karena, seperti disampaikan Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, partainya melihat pilkada kali ini merupakan bagian dari proses pemenangan di Pemilu 2019. Pilkada kali ini tak hanya menentukan nasib para kandidat, tetapi juga mereka yang ingin ikut Pemilu 2019.

Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Ace Hasan Syadzily, menuturkan, anggota DPR yang bekerja keras membantu pemenangan calon kepala daerah di daerah pemilihannya berpeluang diperlakukan istimewa pada Pemilu 2019. Mereka biasanya akan dijamin kembali dicalonkan pada Pemilu 2019 dengan mendapat nomor urut atas di daftar calon anggota legislatif. ”Keberadaan anggota DPR jadi penting. Bukan hanya modal sosialnya di daerah yang bisa memberi pengaruh, tetapi juga modal finansialnya,” kata Ace Hasan.

Peneliti politik Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Panji Anugrah, mengatakan, kemenangan di pilkada memang tak selalu beririsan dengan kemenangan di pemilu. Namun, parpol yang memenangi pilkada akan punya kepercayaan lebih tinggi di daerah tersebut. Kandidat terpilih yang mereka usung juga terbuka kemungkinan bisa jadi pengumpul suara di pemilu.

Kondisi ini yang membuat parpol berjuang optimal di pilkada. Terlebih, Pilkada 2018 digelar di daerah lumbung suara pemilu, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sekitar 48 persen suara pemilih di pemilu ada di tiga daerah itu.

Kesadaran masyarakat

Hadar Nafis Gumay dari Constitutional and Electoral Reform Center mengingatkan, dana kampanye yang besar di pilkada, jika didapatkan dari segelintir elite, akan berpotensi memunculkan korupsi utang. Namun, dia juga mengingatkan agar jangan sampai biaya besar dan kasus korupsi kepala daerah lalu digunakan untuk mendorong agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.

Ini karena pemilihan di DPRD juga bisa menimbulkan korupsi baik pada saat pemilihan maupun kontrol legislatif yang luar biasa besar saat kandidat terpilih menjadi kepala daerah.

Menurut dia, solusi yang perlu dilakukan adalah parpol memilih kandidat bukan berdasarkan kemampuan finansial, melainkan kualitas calon. Pemilih juga harus lebih disadarkan untuk melawan politik uang. ”Pengawasan juga harus dilakukan secara terstruktur dan sistematis untuk memutus rantai politik uang dan biaya mahal,” kata Hadar (GAL/BRO/AGE/APA)

https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2018/02/12/korupsi-bayangi-peserta-pilkada/