August 8, 2024

Ada Potensi Saling Lempar Tanggung Jawab Beri Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan

Pelanggaran protokol kesehatan dalam kampanye Pilkada 2020 tetap terjadi, kendati relatif belum banyak. Sinergi antar instansi amat dibutuhkan dalam menangani pelanggar protokol kesehatan, termasuk dalam menjatuhkan sanksi.

Hal itu karena karena pilkada kali ini yang digelar di tengah pandemi Covid-19, menyisakan celah terkait penegakan hukum dan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, yang cenderung kurang tegas. Saling lempar tanggung jawab dan kewenangan antar instansi berpotensi terjadi dalam penanganan pelanggaran itu. Jika hal ini terjadi, dapat menyebabkan ketiadaan efek jera pelanggar dan mengancam keselamatan publik lantaran pilkada dapat menjadi penyebar Covid-19. Kondisi itu juga bisa memperkuat apatisme masyarakat, yang berdampak buruk bagi mutu pilkada.

Hingga Selasa (29/9/2020) malam, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI masih mengakumulasi laporan pengawasan kampanye 28-29 September. Berdasar data di dua hari pertama kampanye, yakni 26-27 September, ditemukan 19 pelanggaran protokol kesehatan. Pelanggaran itu, antara lain, terkait pertemuan tatap muka dengan peserta lebih dari 50 orang, tidak menggunakan masker, dan tidak menjaga jarak. Kampanye akan berlangsung hingga 5 Desember.

Anggota Bawaslu Rahmat Bagja, mengatakan Bawaslu sudah mengirim peringatan tertulis ke pelanggar protokol kesehatan saat kampanye 26-27 September. Peringatan itu diterbitkan sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 13/2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19.

Pasal 88 A PKPU 13/2020 menyebutkan, jika ada yang melanggar kewajiban protokol kesehatan, Bawaslu dapat memberikan peringatan tertulis. Apabila sudah diperingatkan tertulis, tetapi protokol kesehatan tetap tak dijalankan, Bawaslu bisa menyampaikan rekomendasi ke kepolisian. Rekomendasi berisi permintaan agar pelanggar diberi sanksi sesuai aturan perundangan.

Menurut Bagja, Bawaslu membuat tingkatan peringatan sesuai jenis pelanggaran. Bawaslu akan memberi peringatan tertulis, pembubaran massa, hingga rekomendasi proses pidana umum. Bagja menjelaskan, hingga kini belum ada rekomendasi proses pidana umum dari Bawaslu di daerah. Peringatan tertulis dinilai masih efektif menindak pelanggar.

“Kalau memang ada yang setelah ditegur tertulis masih melanggar, kami bisa melaporkan ke kepolisian agar ditindak pidana umum,” katanya.

Anggota Komisi Pemilihan Umum RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, setelah Bawaslu menentukan sanksi, hal itu akan direkomendasikan kepada pihak terkait, baik kepolisian ataupun KPU. Pihak yang ditunjuk wajib menindaklanjutinya.

Beda pegangan regulasi

Terkait protokol kesehatan di tahapan pilkada, Raka menuturkan, setiap instansi memiliki pegangan aturan sendiri-sendiri. Misal, KPU dan Bawaslu berpegang pada PKPU 13/2020. Sementara Polri dan Satuan Polisi Pamong Praja bisa mengacu ke UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Wabah Penyakit, atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

“Terhadap mereka yang nyata-nyata melanggar dan terpenuhi unsur-unsurnya, menurut saya ditindak saja sesuai kewenangan masing-masing sehingga tidak banyak terjadi perdebatan. Sebenarnya sudah dipetakan tiap instansi tugasnya di mana, supaya tidak saling lempar tanggung jawab. Maka koordinasi jadi penting. Dengan begitu, bisa dilihat lebih komprehensif. Publik akan tahu pihak mana yang tidak tegas,” ucap Raka.

Pemidanaan terhadap pelanggar protokol kesehatan sudah diterapkan kepolisian, kendati bukan dalam konteks pilkada. Di Kota Tegal, Jawa Tengah, pada 28 September, wakil ketua DPRD setempat, yakni Wasmad Edi Susilo ditetapkan kepolisian sebagai tersangka kasus pelanggaran protokol kesehatan karena menggelar acara dangdut di tengah pandemi Covid-19. Polisi tak menahan Wasmad. Dia diancam hukuman maksimal 1 tahun penjara dan atau denda Rp 100 juta, di  antaranya berdasar UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono menyampaikan, kepolisian tidak bisa asal memidanakan pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan. “Ada ketentuan dari KPU yang mengatur tentang sanksi,” ujar Awi.

Bisa saling lempar

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menilai, salah satu dampak dari regulasi yang tak sempurna dalam penyelenggaraan pilkada di masa pandemi adalah ketidaktegasan skema penegakan hukum dan sanksi. Adapun, pilkada di tengah pandemi merujuk pada UU Pilkada yang disusun dalam kondisi normal.

Di saat yang sama, lanjut Titi, pengaturan di PKPU juga terbatas terkait upaya memberi efek jera. Rangkaian sanksi teguran, pembubaran, ataupun larangan berkampanye selama tiga hari terlalu ringan dibanding dampak pelanggaran protokol kesehatan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan warga.

“Kalau masyarakat melihat pelanggaran protokol kesehatan tak tertangani dengan baik, maka stigma pilkada ini tidak aman dan tidak sehat bisa semakin kuat. Akibatnya, keengganan untuk terlibat dan berpartisipasi di pemilihan semakin menguat,” kata Titi.

Titi menambahkan, selama regulasi yang mengatur kepatuhan di protokol kesehatan masih mengandalkan PKPU, maka ketidaksepahaman dan saling lempar tanggung jawab dalam praktik di lapangan akan terjadi. Hal ini bisa berbahaya. Hal ini harus segera dibenahi dengan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), yang memuat skema penegakan hukum komprehensif dan sanksi yang memberi efek jera.

Hanya saja, perppu ini juga tidak efektif bila tidak disosialisasikan dan diinternalisasikan dalam waktu yang memadai di antara pihak yang punya otoritas, khususnya KPU, Bawaslu, dan pihak kepolisian.

“Masa kampanye berlangsung dalam waktu cukup panjang, 71 hari. Godaan melakukan pelanggaran apalagi jelang hari pemilihan sangat mungkin terus terjadi,” katanya.

Epidemiolog Universitas Airlangga Surabaya Laura Navila Yamani mengatakan, tanpa regulasi dan sanksi tegas terkait protokol kesehatan, pilkada, terutama di tahapan kampanye berpotensi menularkan Covid-19. Tanpa implementasi aturan yang tegas, masyarakat akan abai protokol kesehatan.

“Banyak kasus di Indonesia orang tanpa gejala. Mereka bisa ikut berkampanye dan mempercepat penularan Covid-19. Apalagi, kondisi penyebaran Covid-19 di Indonesia saat ini masih kritis,” kata Laura. (BOW/DEA/XTI/DIT/REN/NIK)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 30 September 2020 di halaman 1 dengan judul “Ada Potensi Saling Lempar Tanggung Jawab”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/30/ada-potensi-saling-lempar-tanggung-jawab-beri-sanksi-pelanggar-protokol-kesehatan/