August 8, 2024

Akselerasi TI Pemilu, Kebutuhan dan Solusi Menuju Pemilu 2024

Pemilu di Indonesia sudah terkenal sebagai pemilu terumit dan terbesar di dunia. Mulai Pemilu 2019, ada lima kotak suara dengan tiga sistem yang berbeda untuk pemilihan presiden, DPD, serta DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Dalam satu hari digelar pemilu dengan pemilih lebih dari 190 juta jiwa.

Akibat kompleksitas tersebut, pada 2019, 894 petugas penyelenggara di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PKK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) meninggal serta 5.175 sakit. Penyebabnya diduga kombinasi antara kelelahan saat penghitungan suara dan rekapitulasi suara berjenjang dengan penyakit penyerta.

Di 2024, tantangan itu menjadi bertambah. Pemungutan suara Pemilu 2024 akan digelar 14 Februari. Kemudian pada 27 November 2024 akan digelar pilkada serentak nasional pertama. Hasil pemilihan anggota legislatif di provinsi serta kabupaten/kota akan menjadi basis pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari jalur partai politik.

Dalam rangka mewujudkan digitalisasi Pemilu dan Pilkada 2024, KPU telah menyiapkan peta jalan teknologi informasi yang terintegrasi. Tahapan pembangunan atau pengembangan setiap aplikasi, baik untuk Pemilu maupun Pilkada Serentak 2024. Salah satu inovasi yang digulirkan ialah Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Pada 2020, Sirekap mulai diperkenalkan KPU untuk meringankan kerja KPPS dan mengurangi manipulasi dalam rekapitulasi.

Dalam diskusi Kompas XYZ Forum yang digelar hibrida di kantor Redaksi Kompas di Jakarta, Selasa (1/3/2022), Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra berharap, inovasi penggunaan teknologi informasi yang sudah dilakukan KPU dan Bawaslu 2017-2022 dapat dilanjutkan seperti penggunaan Sirekap. Sistem yang dikembangkan KPU bersama universitas di dalam negeri itu dapat membuat proses rekapitulasi menjadi transparan.

“Saya berharap Mas Hasyim Asy’ari bisa lanjutkan,” kata Ilham, yang direspons dengan kata “siap” oleh Hasyim, anggota KPU periode 2017-2022 yang juga anggota KPU periode 2022-2027 terpilih.

Selain itu, anggota KPU Viryan Aziz menambahkan, penggunaan teknologi digital menjadi kebutuhan dan solusi atas kompleksitas serta kesulitan dalam manajemen pemilu. “Dengan penggunaan teknologi digital, pemilu semakin dipercaya, memudahkan, dan menyederhanakan proses kerja kepemiluan,” kata Viryan saat dihubungi di Jakarta, Kamis (3/3).

Tantangan penggunaan teknologi informasi pada pemilu terdapat pada pola pikir, instrumen, dan kultur. Pola pikir menyangkut cara pandang penyelenggara pemilu untuk beradaptasi mengubah cara kerja dengan mengoptimalkan teknologi digital untuk memudahkan dan menyederhanakan kerja kepemiluan.

Viryan menegaskan, manajemen pemilu yang telah mentradisi harus diubah menjadi manajemen pemilu yang berinovasi. Anggota KPU 2022-2027 yang baru terpilih dapat membuat pola kerja baru untuk menjawab tantangan kompleksitas dan kesulitan kerja teknis.

Ia menyebutkan, ada dua masalah pokok manajemen kepemiluan, yakni masalah klasik dan baru. Masalah klasik seperti persoalan daftar pemilih tetap, pengadaan dan distribusi logistik, manipulasi hasil dan lainnya. Masalah baru melingkupi disinformasi dan meninggalnya petugas yang terlibat dalam kerja Pemilu 2019.

Manajemen pemilu yang telah mentradisi harus diubah menjadi manajemen pemilu yang berinovasi. Anggota KPU 2022-2027 yang baru terpilih dapat membuat pola kerja baru untuk menjawab tantangan kompleksitas dan kesulitan kerja teknis.

Saat ini penerapan teknologi digital oleh KPU telah dioptimalkan dengan membuat Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2021 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, rencana utama teknologi informasi KPU Tahun 2021-2025 dan beberapa gugus tugas melalui pola kerja gotong royong terkait keamanan siber, infrastruktur teknologi informasi, serta integrasi manajemen data pemilu. KPU juga sudah mendapat ISO 27001:2013 atau standar sistem manajemen keamanan informasi dan telah membentuk tim guna merespons insiden keamanan informasi atau Computer Security Insident Response Team (CSIRT).

Pentingnya penggunaan teknologi informasi dalam pemilu juga diungkapkan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 2017-2022 yang juga calon anggota Bawaslu 2022-2027 terpilih, Rahmat Bagja. Digitalisasi pemilu sesuai dengan kebutuhan Bawaslu. Dalam pengawasan pemilu, teknologi digital mampu memangkas waktu dan biaya sehingga efektif dan efisien, transparan, serta akuntabel.

Digitalisasi pemilu cocok dengan situasi pandemi Covid-19 yang menuntut adanya disiplin pada protokol kesehatan. Secara sosiologis, kata Bagja, saat ini Indonesia adalah negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak ke-4 di dunia. Pengguna internet di Indonesia sebesar 73,7 persen dari total populasi atau berjumlah 202,6 juta pengguna.

Sebagai persiapan, Bawaslu sedang memantapkan regulasi untuk mendukung pengawasan dan sistem aplikasi pengawasan berbasis teknologi digital yang saat ini digunakan. Selain itu, melakukan sosialisasi penggunaan sistem aplikasi digital untuk kalangan internal maupun pemangku kepentingan dan memetakan kesiapan akses jaringan teknologi informasi di seluruh daerah.

Sebuah kebutuhan

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengatakan, penggunaan perangkat teknologi informasi merupakan kebutuhan bagi KPU dan Bawaslu untuk memperlancar proses penyelenggaraan tugas dan kewenangan masing-masing. Namun, yang terpenting dalam digitalisasi pemilu bukan hanya sistemnya, tetapi juga sumber daya manusia yang berada di belakang perangkat teknologi informasi tersebut.

“KPU dan Bawaslu perlu memastikan semua personalia yang berada di belakang perangkat TI (teknologi informasi) memahami dan menginternalisasi karakter dari TI yang cepat, akurat, dan efisien. Mental pegawai yang bertele-tele, asal tugas dilaksanakan, dan tanpa kontrol tidak cocok untuk TI,” ujarnya.

Di sisi lain, Ramlan mengingatkan agar KPU mempersiapkan naskah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) untuk dikomunikasikan dengan Presiden dan Komisi II DPR. Sebab saat ini, salah satu perangkat teknologi informasi Sirekap yang telah digunakan sejak Pilkada 2020 serta akan kembali digunakan untuk Pemilu dan Pilkada 2024 tetap hanya bersifat informal untuk memberi informasi kepada masyarakat terhadap hasil pemilu.

Penggunaan perangkat teknologi informasi merupakan kebutuhan bagi KPU dan Bawaslu untuk memperlancar proses penyelenggaraan tugas dan kewenangan masing-masing. Namun, yang terpenting dalam digitalisasi pemilu bukan hanya sistemnya, tetapi juga sumber daya manusia yang berada di belakang perangkat teknologi informasi tersebut.

Adapun, proses rekapitulasi perolehan suara tetap dilakukan secara berjenjang dan dilakukan secara manual. Menurut Ramlan, waktu yang dibutuhkan untuk penghitungan dan rekapitulasi suara hingga 35 hari amat lama. “Ini paling lama di dunia,” kata Ramlan.

Di sisi lain, keberadaan Sirekap yang hanya bersifat informal itu hanya akan menambah beban tenaga dan anggaran. “Sirekap sebagai satu-satunya hasil resmi harus diatur dengan UU, dan tidak bisa hanya diatur dengan Peraturan KPU. Bila KPU hendak sungguh-sungguh memperbaiki kualitas hasil pemilu dengan mempercepat proses penetapan dan pengumuman hasil pemilu dengan Sirekap, maka sekarang saatnya menyiapkan naskah Perppu,” kata Ramlan.

Anggota KPU Arief Budiman menuturkan, di Pilkada Serentak 2020, KPU sebenarnya sudah mengusulkan dalam rapat bersama DPR dan pemerintah, agar Sirekap dijadikan sebagai hasil resmi rekapitulasi suara. Namun, usulan saat itu belum disetujui. Di Pilkada Serentak 2020, data yang masuk Sirekap sudah mencapai 98,9 persen dari total tempat pemungutan suara.

“Hanya tersisa 1 persen lagi belum terkirim dengan cepat. Beberapa waktu lalu kami berkomunikasi dengan Menkominfo yang menyampaikan di 2023 seluruh daerah di Indonesia sudah terkoneksi (internet). Kalau membangun sistem sekarang, 2023 terkoneksi, siapkan SDM. Pada 2024, ini bisa jadi hasil resmi,” katanya.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Nurlia Dian Paramita menilai, proses penyusunan teknologi informasi pada sistem peta jalan KPU tak pernah terinformasi dengan jelas. Menurut dia, tidak diketahui dari mana usulan itu, apakah inisiatif KPU, usulan masyarakat, atau dari jajaran struktural penyelenggara pemilu. Dia menilai KPU terkesan menyediakan sistem informasi, tapi tidak jelas dari mana kerangka gagasannya. Hal ini dikhawatirkan pengadaan teknologi informasi ke depan hanya semacam penyediaan namun tidak digunakan sesuai dengan harapan.

“Seperti Sidalih (Sistem Informasi Data Pemilih) misalnya, apakah masyarakat selama ini mengakses secara rutin? Penggunaan Sipol (Sistem Informasi Partai Politik), apakah peserta pemilu terbantu atau jadi hambatan?” katanya.

Selain itu, lanjut Mita, perlu ada integrasi sistem teknologi informasi KPU. Sistem yang dirumuskan saat ini terkesan masih parsial sesuai kebutuhan masing-masing sektor. Padahal keberadaan teknologi informasi untuk mempermudah penyelenggaraan pemilu mestinya menjadi elemen penting yang harus dikedepankan.

“Terlepas memang UU belum memberikan payung regulasi yang berlaku, KPU harus memperkuat dengan rajin melakukan evaluasi dan pembenahan sistem,” katanya.

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi  di halaman 2 https://www.kompas.id/baca/pemilu/2022/03/03/teknologi-informasi-untuk-menjawab-tantangan-kompleksitas-pemilu