October 15, 2024

Ambang Batas Pilkada Digugat

Ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada digugat ke Mahkamah Konstitusi. Ambang batas pencalonan itu dinilai tidak memiliki dasar di konstitusi sehingga berpotensi mencederai hak dan kesempatan partai politik untuk mencalonkan kepala daerah di dalam pilkada.

Uji materi UU Pilkada itu diajukan oleh Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Bulan Bintang (PBB) DKI Jakarta Madsanih, yang diwakili oleh kuasanya, Viktor Santoso Tandiasa. Ketentuan yang diuji ialah Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada yang berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”

Viktor S Tandiasa mengatakan, ambang batas pencalonan kepala daerah kerap dianggap sama dengan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT). Namun, menurut dia, ambang batas bagi pencalonan kepala daerah memiliki arti yang berbeda karena di dalam pencalonan kepala daerah dikenal adanya calon perseorangan atau independen yang tidak berasal dari parpol.

”Apabila merujuk putusan MK tentang PT, salah satu pertimbangan MK meloloskan PT ialah untuk menjaga keseimbangan antara parlemen dan pemerintahan sehingga roda pemerintahan bisa berjalan dengan baik dan tidak terjadi kebuntuan terkait dengan sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia,” kata Viktor, Selasa (20/8/2019), di Jakarta.

Namun, pertimbangan semacam itu dinilai tidak bisa diterapkan dalam pilkada karena UU Pilkada membolehkan adanya calon perseorangan yang tidak diusung oleh parpol. Di sejumlah daerah yang dipimpin oleh calon perseorangan, menurut Viktor, tidak terbukti telah terjadi kebuntuan pemerintahan. Sekalipun kepala daerah perseorangan tidak diusung oleh parpol, dia tetap bisa bersinergi dengan DPRD asalkan menjalankan komunikasi politik yang baik.

Dengan logika hukum itu, menurut Viktor, ambang batas pencalonan kepala daerah berbasis kursi atau perolehan suara parpol dipandang tidak relevan. Bahkan, untuk menjadi calon kepala daerah sekarang tidak harus melalui parpol. Kekhawatiran adanya kebuntuan dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah kecil kemungkinan terjadi lantaran sinergi lebih bergantung pada komunikasi politik, bukan konfigurasi perolehan suara dan kursi.

”Logika yang menyamakan antara PT dan ambang batas pencalonan kepala daerah tidak relevan. Pemohon berharap MK memiliki kacamata berbeda dalam memeriksa uji materi UU Pilkada terkait dengan ambang batas pencalonan kepala daerah,” kata Viktor.

Pemohon juga menilai adanya dualisme hukum dalam penerapan Pasal 40 Ayat (2) UU Pilkada itu dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). UU PA membolehkan parpol mencalonkan kepala daerah tanpa batasan perolehan suara dan kursi.

”Jika UU PA membolehkan pencalonan kepala daerah tanpa ambang batas, mengapa UU Pilkada memberikan ambang batas pencalonan. Padahal, dasar hukum di konstitusi yang digunakan kedua ketentuan itu sama, yakni Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945,” katanya.

Sementara itu, terkait dengan persiapan Pilkada 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih melakukan harmonisasi peraturan KPU (PKPU). Sebelumnya, anggota KPU, Ilham Saputra, mengatakan, harmonisasi itu menyangkut banyak hal, termasuk mekanisme pencalonan hingga penghitungan suara yang direncanakan dengan sistem rekapitulasi elektronik (e-rekap). KPU, antara lain, mengusulkan agar mantan napi korupsi tidak boleh mencalonkan diri di dalam pilkada. Harmonisasi itu melibatkan sejumlah ahli hukum. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel berjudul “Ambang Batas Pilkada Digugat” yang terbit di https://kompas.id/baca/polhuk/2019/08/21/ambang-batas-pilkada-digugat/