Ancaman kebebasan dalam media sosial semakin menguat pada konteks Pilkada 2024. Kali ini ancaman ditujukan kepada platform media sosial yang berdampak pada kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi pengguna media sosial. Penyelenggaraan Pilkada 2024 terus berlangsung dan memasuki tahapan kampanye yang semakin penting dalam penyebaran informasi.
Wujud nyata ancaman tersebut adalah Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nomor 172 Tahun 2024. Aturan ini telah memicu kekhawatiran di kalangan platform media sosial dan para pendukung kebebasan berpendapat. Di dalamnya ada ketentuan yang mengharuskan platform media sosial untuk menurunkan (take down) konten yang diperintahkan oleh pemerintah dalam waktu yang ditentukan. Kegagalan untuk melaksanakan perintah tersebut akan dikenakan denda sebesar 500 juta rupiah. Ancaman ini tidak hanya mengkhawatirkan dari segi finansial, tetapi juga mencerminkan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.
Dalam peraturan ini, tidak ada standar yang jelas tentang ciri-ciri konten yang harus ditakedown, membuka ruang bagi interpretasi subjektif dan potensi penyalahgunaan. Pemerintah dapat memerintahkan penghapusan konten yang dianggap tidak sesuai tanpa adanya kriteria yang terukur atau transparan. Hal ini memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemerintah, tanpa ada mekanisme pengawasan yang memadai untuk melindungi hak-hak pengguna platform media sosial.
Peraturan ini memunculkan kekhawatiran bahwa pemerintah akan menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan narasi di media sosial. Tanpa adanya standar yang jelas, platform media sosial akan berada dalam posisi yang sulit, terjepit antara tekanan pemerintah dan tuntutan untuk melindungi kebebasan berpendapat penggunanya. Apakah ini merupakan langkah maju dalam penegakan hukum di dunia digital, ataukah justru ancaman bagi kebebasan berekspresi di Indonesia?
Penyalahgunaan Kekuasaan
Keputusan Menteri Kominfo Nomor 172 Tahun 2024 mengandung ketentuan yang sangat rentan disalahgunakan. Ketiadaan standar yang jelas mengenai konten apa yang harus di-takedown menciptakan ketidakpastian hukum. Platform media sosial tidak memiliki panduan yang tegas tentang jenis konten yang harus mereka hapus berdasarkan perintah pemerintah, sehingga keputusan untuk menurunkan konten menjadi sangat subjektif dan dapat dimanfaatkan oleh pihak yang berkuasa.
Ketidakpastian ini membuka peluang bagi pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang. Konten yang seharusnya sah menurut prinsip kebebasan berpendapat dapat dengan mudah diperintahkan untuk dihapus dengan dalih yang tidak jelas. Dalam konteks politik yang sensitif, peraturan ini bisa digunakan sebagai alat untuk memberangus kritik terhadap pemerintah atau isu-isu yang tidak diinginkan oleh pihak berwenang.
Selain itu, ancaman denda yang besar, sebesar 500 juta rupiah, akan mendorong platform media sosial untuk lebih memilih menghapus konten daripada mengambil risiko. Hal ini akan menimbulkan efek pembatasan diri (self-censorship) yang merugikan kebebasan berpendapat. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat menciptakan iklim ketakutan dan ketidakpastian di kalangan pengguna platform media sosial, yang pada akhirnya akan menghambat diskusi dan pertukaran ide yang sehat di ruang publik.
Kontrol Pemerintah
Dengan diberlakukannya Keputusan Menteri Kominfo Nomor 172 Tahun 2024, kita menyaksikan bagaimana pemerintah berusaha memperluas kendalinya atas platform media sosial. Peraturan ini tidak hanya memberikan otoritas untuk memerintahkan penghapusan konten, tetapi juga memperkenalkan ancaman finansial yang signifikan bagi platform yang tidak mematuhi perintah tersebut. Dalam hal ini, media sosial tidak lagi menjadi ruang bebas yang memberikan kesempatan bagi semua orang untuk berbicara dan berbagi informasi, melainkan menjadi alat yang dapat dengan mudah dikendalikan oleh pemerintah.
Kekhawatiran ini diperparah oleh ketiadaan mekanisme transparan dalam proses pengambilan keputusan mengenai penghapusan konten. Siapa yang akan menentukan apakah suatu konten layak untuk dihapus? Apakah ada mekanisme banding bagi pengguna yang kontennya dihapus? Tanpa adanya prosedur yang jelas dan adil, peraturan ini berpotensi besar untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
Situasi ini membawa kita pada pertanyaan mendasar tentang masa depan kebebasan berpendapat di Indonesia. Apakah peraturan ini benar-benar ditujukan untuk melindungi masyarakat dari konten berbahaya, ataukah ini adalah langkah terselubung untuk mengontrol narasi publik? Dalam era digital ini, kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara di media sosial adalah pilar penting dari demokrasi. Penggunaan peraturan ini sebagai alat kendali akan menjadi ancaman serius bagi nilai-nilai tersebut.
Hukum dan Ketakutan
Peraturan ini, dengan ancaman denda yang berat, akan mendorong platform media sosial untuk menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap konten pengguna. Namun, masalah yang lebih besar adalah bagaimana kebijakan ini akan memengaruhi perilaku pengguna media sosial itu sendiri. Efek pembatasan diri (self-censorship) adalah dampak yang sangat mungkin terjadi, di mana pengguna akan merasa terpaksa untuk menahan diri dari mengekspresikan pendapat mereka karena takut kontennya akan dihapus atau, lebih buruk lagi, terkena masalah hukum.
Efek ini bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Ketika orang-orang mulai merasa takut untuk berbicara secara bebas, ruang diskusi publik akan menyusut. Gagasan dan pendapat yang berbeda-beda, yang seharusnya menjadi bagian dari demokrasi yang sehat, akan semakin sulit untuk didengar. Pada akhirnya, hal ini akan mengarah pada homogenisasi opini di ruang publik, di mana hanya pandangan-pandangan tertentu yang aman untuk diungkapkan.
Selain itu, efek pembatasan diri ini tidak hanya akan mempengaruhi individu, tetapi juga platform media sosial itu sendiri. Platform akan cenderung untuk menghapus konten yang mungkin kontroversial meskipun tidak melanggar hukum, hanya untuk menghindari risiko denda yang besar. Ini akan menciptakan lingkungan di mana media sosial kehilangan fungsi aslinya sebagai wadah untuk kebebasan berpendapat dan menjadi alat yang tunduk pada tekanan pemerintah. []
ANNISA ALFATH
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)