August 8, 2024

Antara Korupsi dan Biaya Pilkada

Penangkapan empat calon kepala daerah oleh KPK  menguatkan kembali wacana di ruang publik soal implikasi tingginya biaya politik terhadap korupsi. Dua hal itu saling terhubung laiknya benang kusut yang jalin-menjalin.

Empat kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi itu terdiri dari dua bupati yang tengah berusaha ”naik kelas” melalui pilkada serentak 2018, yakni Bupati Lampung Tengah Mustafa yang menjadi calon gubernur Lampung dan Bupati Ngada Marianus Sae yang menjadi calon gubernur Nusa Tenggara Timur. Selain itu, ada dua kepala daerah yang berusaha bertahan pada periode kedua jabatan, yakni Bupati Jombang (Jawa Timur) Nyono S Wihandoko dan Bupati Subang (Jawa Barat) Imas Aryumningsih.

Sebagian uang hasil korupsi itu diduga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalir untuk mendanai kampanye pilkada. Pertautan antara uang hasil korupsi dan proses demokrasi elektoral juga bukan sekali ini saja muncul. Korupsi, selain dilakukan kepala daerah dengan mencuri uang negara, juga bisa terjadi karena kepala daerah itu memberi konsesi proyek kepada pengusaha yang mendanai kampanyenya.

Kajian KPK atas pendanaan pilkada serentak 2015 juga menunjukkan potensi konflik kepentingan lewat pertautan sumbangan kampanye dari pengusaha. Sebanyak 65 persen dari 286 mantan calon kepala daerah serta wakil kepala daerah pada Pilkada 2015 yang menjadi responden KPK mengatakan, penyumbang dana kampanye mengharap diberi kemudahan perizinan di kemudian hari.

Sudah menjadi rahasia umum, kebutuhan dana kampanye dalam pilkada sangat besar. Hasil kajian Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri memperkirakan, biaya kampanye untuk pemilihan gubernur berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar, sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota berkisar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Namun, apakah korupsi kepala daerah muncul hanya karena pendanaan pilkada? Atau seberapa signifikan sumbangsih biaya tinggi pilkada terhadap munculnya perilaku korupsi kepala daerah?

”Saya melihat persoalan korupsi ini bukan hanya biaya politik mahal, tetapi dalam banyak kasus disebabkan gaya hidup. Tidak semua kepala daerah ditangkap KPK karena kebutuhan kampanye pilkada,” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari dalam diskusi Satu Meja bertajuk ”Korupsi demi Pilkada?” yang ditayangkan di Kompas TV, Senin (19/2) malam.

Diskusi yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo itu juga dihadiri tiga pembicara lain, yakni Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, serta Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto.

Qodari mencontohkan, dari empat kepala daerah peserta Pilkada 2018 yang ditangkap KPK, salah satunya, yakni Bupati Lampung Tengah Mustafa, ditangkap bukan karena menerima uang untuk membiayai kampanye. Sebaliknya, ia diduga memberikan dana kepada DPRD setempat agar menyetujui peminjaman dana untuk proyek pembangunan di Lampung Tengah. ”Jadi, tidak bisa dipukul rata juga,” kata Qodari.

Mencari solusi

Berbagai kajian menunjukkan, tidak ada penyebab tunggal korupsi. Konsepsi segitiga kejahatan, yang diperkenalkan krimonolog Donald Cressey tahun 1950-an, menyebutkan, kejahatan bisa muncul karena setidaknya tiga variabel: tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Tekanan disebabkan banyak hal yang bisa memotivasi individu berbuat jahat, seperti gaya hidup atau kesulitan finansial yang tak bisa dituntaskan dengan cara legal.

Kesempatan bisa muncul karena pengawasan yang lemah. Sementara rasionalisasi, dalam perspektif Cressey, merupakan justifikasi dari internal pelaku kejahatan yang menganggap dirinya sebagai korban keadaan. Bisa juga ini karena mereka merasa apa yang dilakukannya juga dilakukan oleh orang-orang lain (Kassem dan Higson, 2012).

Biaya pilkada yang tinggi, jika kemudian dilihat dari segitiga kejahatan Cressey ini, bisa masuk dalam aspek penekan. Calon termotivasi untuk korupsi karena butuh biaya kampanye besar. Namun, motivasi ini bisa dikurangi jika sistem pengawasan saat pemilihan optimal, begitu juga setelah ia menjabat. Selain itu, kepala daerah itu bisa kehilangan justifikasi jika calon-calon lain kemudian tidak jorjoran mengeluarkan dana kampanye karena patuh pada peraturan pembatasan pengeluaran kampanye.

Namun, pendekatan yang holistik dari hulu ke hilir untuk menekan potensi korupsi kepala daerah, menurut Titi Anggraini, belum muncul. Di hulu sudah ada upaya menekan biaya tinggi pilkada dengan pengaturan empat jenis kampanye dibiayai negara. Namun, parpol menganggap kampanye menjadi tidak meriah sehingga ketentuan itu diubah pada Pilkada 2017 menjadi sebagian didanai negara dan sebagian oleh pasangan calon.

”Itu menunjukkan, yang tidak mau membatasi diri itu peserta pemilihan. Belum lagi biaya tinggi, seperti biaya saksi, tidak terjangkau akuntabilitas pelaporan dana kampanye. Biaya menggerakkan mesin partai juga,” kata Titi.

Di luar hal itu, ada juga persoalan ”pembelian perahu” pencalonan yang butuh biaya besar.

Di satu sisi, partai mengakui, sulit untuk mengetahui apakah kandidat yang diusung punya tendensi korupsi atau tidak. Menurut Hasto Kristiyanto, psikotes bisa membantu mengetahui tingkat loyalitas dan daya juang kandidat. Namun, apakah seseorang akan korupsi atau tidak sulit diukur. Oleh karena itu, PDI-P menyiapkan sistem kelembagaan dalam rekrutmen dengan melatih calon yang direkomendasikan partai. Mereka juga kemudian diminta menandatangani pakta integritas untuk tidak menerima gratifikasi ataupun terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme jika terpilih.

”PDI-P memberi sanksi tegas. Kena OTT (operasi tangkap tangan) KPK, langsung dipecat. Saat ini sudah ada 14 orang yang dipecat agar ada efek jera. Partai tidak toleransi. Namun, ada persoalan sistemik. Pemilu begitu mahal,” ujar Hasto.

Solusi yang lebih komprehensif sudah disampaikan oleh KPK saat safari kepada pengurus pusat partai politik. Saut Situmorang menuturkan, untuk mengatasi persoalan korupsi, bangsa Indonesia harus sama-sama membenahi sistem pemilu, pendanaan partai, termasuk kaderisasi partai. Hasil kajian KPK pun sudah disampaikan kepada parpol.

Pertanyaannya, apakah usulan untuk menyehatkan parpol itu juga disambut dengan baik oleh para elite parpol?

(ANTONY LEE)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 21 Februari 2018 di halaman 5 dengan judul “Antara Korupsi dan Biaya Pilkada”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/02/21/antara-korupsi-dan-biaya-pilkada/