August 8, 2024

Antisipasi Penyalahgunaan Peran ASN dalam Pilkada

Pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 akan berlangsung pada 27 November. Walaupun terbilang masih lama namun para bakal calon kepala derah sudah mulai bermunculan dan memperkenalkan dirinya kehadapan public. Ada dari kalangan masyarakat biasa. Ada juga yang merupakan anggota partai politik. Bahkan ada kepala daerah yang akan mencalonkan lagi yang biasa disebut petahana (incumbent).

Menarik memang jika kita melihat bakal calon kepala daerah yang mulai bermuculan saat ini, berbagai macam cara dilakukan untuk menarik perhatian publik. Tidak ada yang salah jika sepanjang itu dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya hak politik setiap warga negara merupakan bagian dari hak-hak yang dimiliki setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Hak turut serta dalam pemerintahan dapat dikatakan sebagai bagian yang amat penting dari demokrasi. Hak ini bahkan dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari demokrasi. Jika hak ini tidak ada dalam suatu negara, maka negara tersebut tidak semestinya mengakui diri sebagai negara demokratis. Negara-negara yang menganut demokrasi, pada umumnya mengakomodir hak politik warga negaranya dalam suatu penyelenggaraan pemilu, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.

Jika mencalonkan diri sudah menjadi hak dari setiap warga negara maka tidak ada salahnya juga bagi kepala daerah yang menjabat hari ini kembali mencalonkan diri untuk menjabat kedua kalinya. Catatannya, pencalonan ini harus sesuai juga dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku. Justru yang menjadi masalah adalah jika calon kepala daerah yang ikut pada kontestasi pilkada tersebut melanggar aturan dan melakukan penyalahgunaan peran aparatur sipil negara dalam kontestasi pilkada.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, aparatur sipil negara (ASN) adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Sebagai salah satu profesi, ASN dituntut menjalankan tupoksinya dengan menjunjung tinggi kode etik profesi yang memang dengan sengaja diatur untuk kepentingan ASN itu sendiri. Semua ini agar ASN dapat bekerja professional tanpa tekanan atau membawa kepentingan sekelompok orang. Salah satu bentuk kode etik ASN tersebut adalah menjaga kenetralannya dalam pilkada.

Dalam rangka mengantisipasi penyalahgunaan peran ASN dalam pilkada mendatang, tentunya penyelenggara pemilu khususnya Bawaslu melakukan pencegahan dan pengawasan. Pemilu punya peran penting dalam menghibau dan mengingatkan para bakal calon yang akan ikut pada kontentestasi Pilkada 2024 mendatang. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sebenarnya sudah memberikan perhatian khusus kepada Gubernur atau wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati dan Walikota atau Wakil Walikota untuk tidak melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri.

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan Dan Jadwal Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota Tahun 2024. Penetapan Pasangan Calon dijadwalkan akan dilakukan pada 22 September 2024. Jika dihitung mundur dari tanggal penetapan pasangan calon diatas maka dapat dinyatakan bahwa kepala daerah dilarang untuk melakukan mutasi dan rotasi semenjak tanggal 22 Maret 2024 yang lalu.

Ketentuan larangan terhadap mutasi atau penggantian pejabat ini memberikan indikasi bahwa petahana berpotensi menggunakan kekuasaannya sebagai alat politik untuk mempengaruhi birokrasi. Posisi ASN sering kali menjadi dilematis, di satu sisi mereka terikat kepentingan politik praktis dari para kandidat, di sisi lain, ASN yang diangkat, ditempatkan, dipindahkan, atau diberhentikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang berstatus sebagai pejabat politik, karir ASN sering terkait erat dengan kepentingan politik PPK.

Dari pengalaman pengawasan penulis, ASN di daerah yang menempati posisi atau kedudukan strategis dalam birokrasi sipil cendrung terlibat dalam politik, baik secara aktif maupun pasif. Keterlibatan ini umumnya merupakan bentuk dukungan terselubung kepada salah satu kandidat, dengan motif utama untuk meningkatkan prospek karier. Iming-iming atau janji posisi khusus sering menjadi daya tarik apabila kandidat atau elite terpilih menjadi kepala daerah.

Praktik-praktik penyalahgunaan peran ASN di atas telah mencoreng budaya demokrasi. Dalam rangka mengembalikan peran ASN sebagai pelayan publik yang profesional dan bebas dari intervensi politik, perlu adanya upaya yang sistematis dan konsisten. Netralitas birokrat adalah prinsip dasar yang harus dipegang teguh dalam melaksanakan tugas sebagai pelayan publik dan sebagai pengeksekusi kebijakan pembangunan. Jika terjadi intervensi politik dalam tubuh birokrasi, sistem pengelolaan dan pembinaan kepegawaian akan mengalami dekonstruksi. Pengangkatan individu ke posisi strategis dalam birokrasi akan didasarkan pada preferensi politik, bukan pada kemampuan, kapasitas, atau pengalaman kerja yang relevan.

Oleh karena rentannya penyalahgunaan peran ASN dalam Pilkada, tentu hal ini harus menjadi perhatian bersama baik penyelenggara maupun peserta. Semoga konflik kepentingan dan penyanderaan peran ASN selama pilkada dapat dihindarkan. Jangan sampai niat baik untuk mencalon kepala daerah menjadi noda kotor dalam pelaksanaan Pilkada 2024 dan jangan sampai pula niat baik tersebut akan berdampak buruk terhadap karir dan aktifitas kepegawaian ASN. Niat baik harus dijalankan dengan cara yang baik pula. Untuk itu mari kita kawal pesta demokrasi Pilkada 2024 ini dengan sama-sama mengawasi setiap tahapannya demi terwujudnya Pilkada yang jujur adil dan berkualitas. []

RAHMAD RAMLI

Anggota Bawaslu Kota Padang