Baru-baru ini, ramai diberitakan tentang wacana untuk menerapkan mesin e-voting (Electronic Voting Machine/EVM) India dalam pemilu di Indonesia. Wacana ini bermula dari kunjungan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon bersama delegasi dari Komisi I dan Komisi III DPR ke New Delhi, India pada 10-13 Juni 2015, salah satu agenda kunjungan tersebut adalah menemui Komisi Pemilihan Umum India (Election Commission of India/ECI) di New Delhi untuk mempelajari kemungkinan penerapan EVM di Indonesia.
Mayoritas dari delegasi tersebut kagum atas efektivitas pemilu yang diselenggarakan oleh ECI untuk negara demokrasi terbesar di dunia tersebut. Mereka tertarik akan kemungkinan penerapan EVM di Indonesia. Wacana tersebut semakin menguat dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo yang akan menjadikan India sebagai acuan dalam pelaksanaan pemilu menggunakan EVM dan menargetkan EVM dapat diterapkan pada pemilu 2019.
Adalah wajar jika Indonesia mengeksplorasi penggunaan EVM di India. India dan Indonesia memiliki kemiripan; keduanya adalah negara demokrasi besar dalam lanskap yang menantang dengan populasi yang beragam dan berbagai tantangan logistik. Pemilu India diselenggarakan dengan baik dan ECI tentunya memiliki pengalaman yang dapat dibagikan (seperti halnya KPU RI).
Sekilas, menerapkan EVM India di pemilu Indonesia terdengar seperti usulan yang menarik dan dapat membantu meningkatkan siklus pemilu Indonesia. Akan tetapi, jika dipertimbangkan lebih lanjut, penggunaan EVM India di Indonesia akan membawa lebih banyak kerugian daripada keuntungan. Meskipun India dan Indonesia menghadapi tantangan operasional yang serupa, namun tantangan pemilunya sangat berbeda jauh.
Selain itu, EVM ini memiliki rekam jejak yang terbatas dan kurang sukses di luar India. Hanya satu negara, Namibia, yang telah membeli EVM ini untuk pemilu nasionalnya dan sayangnya EVM ini tidak berhasil membawa dampak yang diinginkan.
India juga menghibahkan EVM buatannya kepada Bhutan. Sebuah negara kecil di pegunungan Himalaya ini kemudian menggunakan EVM tersebut untuk pemilu nasional mereka. Hasilnya lebih sukses dibandingkan Namibia. Meski kemudian, partai-partai menuntut diadakannya audit eksternal yang independen dari India untuk EVM tersebut.
Bahkan di India sendiri, seiring tren global, keamanan EVM ini pun kini dipertanyakan. Kepercayaan publik terhadap EVM ini melemah dan Mahkamah Agung India telah memutuskan bahwa ECI harus meng-upgrade EVM mereka untuk mendukung transparansi yang diperkirakan akan memakan biaya 250 juta dolar AS (3,5 triliun rupiah).
EVM India merupakan contoh rancangan yang cerdas: sebuah mesin yang dirancang khusus untuk mengatasi tantangan-tantangan pemilu di India. EVM ini tidak mahal (kurang dari 2,8 juta rupiah per unit), tahan banting, mudah dipindahkan, dan mudah digunakan. EVM ini sebenarnya terdiri dari dua unit mesin: unit surat suara yang memuat 16 tombol pilihan dan unit pengontrol.
Pemilih menggunakan unit surat suara untuk mencari nama dan simbol partai/calon yang mereka dukung dan selanjutnya menekan satu dari 16 tombol biru untuk memasukkan pilihan mereka. Unit surat suara dapat digabungkan satu sama lain hingga maksimal empat mesin untuk mengakomodasi maksimal 64 calon. Petugas pemilu menggunakan unit pengontrol untuk memberikan akses penggunaan unit surat suara kepada pemilih dan untuk mengeluarkan hasil penghitungan suara.
Di India, pemungutan suara adalah proses yang sederhana: hanya satu pemilu diadakan dalam satu waktu, hanya satu surat suara yang digunakan, dan pemilih hanya perlu memilih satu calon untuk daerah pemilihan mereka. Akan tetapi, untuk mengakomodasi jumlah penduduk yang besar, pemungutan dan penghitungan suara merupakan proses yang panjang yang dilaksanakan dalam sembilan tahap selama enam minggu. Proses pemungutan suara pada tahun 2014 lalu berlangsung dari tanggal 7 April sampai 12 Mei dan hasilnya diumumkan pada tanggal 16 Mei 2014.
Pemilu di Indonesia jauh lebih rumit. Untuk pemilu legislatif 2014, pemilih diberi empat surat suara (dengan 2.450 desain yang berbeda-beda) untuk memilih perwakilan dari lebih dari 19.700 calon untuk dua dewan perwakilan tingkat nasional dan dua dewan perwakilan tingkat daerah.
Kendati tingkat kerumitannya tinggi, pemungutan suara dilakukan secara serentak pada hari yang sama di seluruh Indonesia, dengan pemungutan suara diselesaikan pada tengah hari dan penghitungan suara dilaksanakan secara transparan di depan para pemilih sebelum matahari terbenam. Hari pemungutan suara ini merupakan pesta demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia, dan sampai saat ini tidak ditemui keluhan yang berarti dari semua pihak.
Barulah dalam periode rekapitulasi hasil secara nasional proses dilakukan tidak di depan umum dan secara kurang transparan, meskipun UU mengatur agar proses ini dihadiri saksi. Di sini terjadi banyak keterlambatan dan intimidasi, sehingga proses pemilu lemah karena kurangnya kejelasan dan kepercayaan publik.
Mempertimbangkan fakta-fakta di atas, EVM India tidak cocok untuk Indonesia. EVM India tidak dapat menangani lebih dari satu jenis surat suara atau lebih dari 64 calon per jenis pemilu. Untuk mengakomodasi pemilu Indonesia, pemerintah perlu membeli banyak EVM untuk tiap TPS atau merubah sistem pemungutan suara dari satu hari menjadi bertahap yang akan menjadikan proses pemungutan dan penghitungan suara dilaksanakan selama berminggu-minggu.
EVM akan menghambat transparansi pada proses penghitungan, kecuali jika diterapkan fasilitas kertas jejak audit yang dapat diverifikasi oleh pemilih (voter verified paper audit trail/VVPAT) dan pelaksanaan audit yang dianggarkan secara baik. Secara keseluruhan, sistem EVM akan lebih mahal dibandingkan penggunaan kertas suara, karena selain peralatan itu EVM sendiri, diperlukan juga infrastruktur yang menjamin keamanannya. Yang lebih penting lagi bagi kita, penggunaan EVM akan menghilangkan kemeriahan pesta demokrasi yang selama ini menjadi ciri khas pemilu kita.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, hanya Namibia yang pernah membeli EVM dari India dan menggunakannya dalam pemilu nasional, yaitu pilpres Namibia pada November 2014. Komisi Pemilu Namibia (Electoral Commission of Namibia/ECN) sebelumnya beranggapan bahwa EVM akan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu: memperbaiki proses pemungutan suara, mempercepat perhitungan hasil pemilu, mengurangi surat suara rusak, mempermurah biaya, dan mengurangi kecurangan.
Sayangnya, proses pemungutan suara banyak diwarnai dengan penundaan, terhambat oleh antrian yang panjang dan protes terkait tidak berfungsinya EVM. Partai-partai menuduh komisi pemilu melakukan kecurangan dengan memprogram EVM untuk mengeluarkan hasil yang telah diatur sebelumnya. Sayangnya, EVM yang dikirim ke Namibia tidak dilengkapi dengan fasilitas kertas jejak audit yang dapat mematahkan rumor tersebut.
Penerapan EVM tersebut justru memunculkan lebih banyak pertanyaan. Meskipun keterlambatan tidak seluruhnya dikarenan oleh EVM dan hasil pemilu secara umum diterima, jelas bahwa pembelian EVM tidak meningkatkan proses penyelenggaraan pemilu.
Produsen EVM India menyatakan bahwa EVM tidak akan bekerja optimal jika tidak diinstall dengan baik atau jika operatornya tidak terlatih. Maka, pelajaran yang dapat dipetik dari Namibia adalah pelatihan dan pemahaman proses penyelenggaraan pemilu akan menghasilkan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik, bukan pembelian EVM.
Tahun 2008, India menghibahkan kurang lebih 4.000 unit EVM kepada negara tetangga mereka, Bhutan, untuk digunakan pada pemilu majelis nasional Bhutan. Pemilu tersebut terselenggara baik. Menurut pemantau pemilu, 100% pejabat pemilu memahami prosedur pemungutan suara dengan baik, 100% TPS sesuai rancangan yang diinstruksikan, dan penggunaan EVM dianggap berhasil menyederhanakan proses pemungutan dan penghitungan suara.
Setelah pemilu, satu partai politik mengajukan sebuah petisi ke Pengadilan Tinggi untuk mengaudit EVM tersebut, akan tetapi tanpa adanya jejak kertas audit, hasil pemilu tidak dapat diaudit. Petisi tersebut ditolak dan hasil pemilu diterima secara resmi, tetapi partai-partai tetap meminta evaluasi eksternal yang independen dari India untuk EVM tersebut.
Di India pun muncul pertanyaan. Sekelompok peneliti menemukan beberapa celah keamanan pada EVM dan menunjukkan kepada publik bahwa kecurangan pemilu secara besar-besaran sangatlah dimungkinkan. EVM sangat lemah terhadap serangan dari dalam, dan untuk melakukan pembobolan hanya dibutuhkan keterampilan elektronik dasar. Tanpa jejak kertas untuk mengaudit hasil pemilu, EVM tidak dapat dipercayai.
Penyelidikan ini menyatukan partai-partai untuk menuntut ECI mengkaji ulang faktor keamanan EVM dan meneliti alat tambahan yang dapat menghasilkan VVPAT untuk memastikan proses pemungutan dan penghitungan suara berjalan secara transparan. Mahkamah Agung India dengan cepat memutuskan bahwa ECI harus menambahkan mesin VVPAT, yang diperkirakan akan memakan biaya 3,5 triliun rupiah.
Sekali lagi, Indonesia sebaiknya tidak menerapkan EVM India dalam pemilunya. EVM India terlalu sederhana untuk mengakomodasi pemilu legislatif Indonesia yang dilakukan secara serentak dalam satu hari. Selain itu, penggunaan EVM tidak akan memberikan solusi untuk masalah utama dan kritis dalam proses pemilu Indonesia, yaitu rekapitulasi hasil Pemilu yang berjenjang. Namibia, satu-satunya negara di luar India yang telah membeli dan menggunakan EVM ini tidak mendapatkan peningkatan yang mereka harapkan.
Bhutan memiliki pengalaman yang lebih baik dengan EVM yang dihibahkan India untuknya, meski sukses tersebut kemungkinan adalah berkat pelaksanaan pemilu yang terlatih dan terorganisir dengan baik. Sementara EVM ini justru mengurangi transparansi dan meningkatkan kecurigaan terhadap hasil pemillu.
Dan akhirnya, bahkan di India pun para peneliti telah mengungkapkan kelemahan keamanan EVM. Sehingga, meningkatkan keraguan publik. Banyak pihak mendorong Mahkamah Agung memerintahkan ECI untuk melakukan perbaikan yang mahal hanya agar EVM tetap dapat digunakan.
Pemilu India diselenggarakan dengan baik dan dihormati oleh masyarakatnya bukan karena EVM yang digunakan, tetapi karena proses pemilu mereka yang jelas dan mudah: prosedurnya sederhana dan baku, petugasnya terlatih, pemilihnya terinformasi dengan baik, dan penyelenggaraannya yang independen dan didanai dengan baik. Itu seharusnya pelajaran yang dapat dipetik oleh Indonesia dari India, dan bukan tentang penggunaan mesin e-voting-nya.
Indonesia memerlukan solusi yang dapat memperbaiki proses rekapitulasi suara tanpa menghilangkan kemeriahan pesta demokrasi di hari pemilihan. Solusi ini sebaiknya merupakan sebuah karya yang dibangun oleh anak bangsa sendiri, bukan dibeli dari negara lain. []
SETIADI YAZID
Dosen Sistem Operasi dan Mobile Computing, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia.
Peneliti di bidang jaringan komputer, rekayasa piranti lunak, dan TIK untuk pembangunan.