September 13, 2024

Aroma Rivalitas Tiga ”Saudara”

Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan ketua kepada Arief Budiman selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum RI, bagi sejumlah pemerhati pemilu yang berbincang dengan Kompas, dianggap sebagai puncak gunung es dari rivalitas yang ditunjukkan suatu lembaga atas lembaga lain. Sebab Arief merupakan simbol KPU karena menempati jabatan Ketua KPU RI.

Putusan DKPP itu sontak memicu dukungan kepada Arief dari sejumlah anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota. Sejumlah anggota KPU memasang foto berlatar Arief Budiman dan kalimat ”I stand up for Arief Budiman”. Foto itu digunakan sebagai gambar utama di media sosial sejumlah anggota KPU di daerah, seperti di Whatsapp, Facebook, dan Twitter.

”Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada KPU provinsi dan kabupaten/kota atas dukungannya. Justru dengan peristiwa ini, kita harus makin solid dan menunjukkan kerja- kerja dengan penuh integritas,” ujar Arief seusai konferensi pers pernyataan sikap KPU terhadap putusan DKPP, Jumat (15/1/2021).

Dalam kesempatan itu, KPU RI menjelaskan Ilham Saputra dipilih sebagai Pelaksana Tugas Ketua KPU. Arief diberhentikan dari jabatannya seperti amar putusan DKPP. Di sisi lain, KPU juga meminta pendapat 11 ahli hukum atas putusan DKPP itu.

Terkait hal itu, Ketua DKPP Muhammad menepis anggapan rivalitas antara DKPP dan KPU. Dalam rapat bersama Komisi II DPR, Selasa (19/1), Muhammad mengatakan, DKPP tidak memiliki pretensi apa pun dalam memutus perkara, termasuk kasus pemberhentian Arief Budiman sebagai Ketua KPU. DKPP, lanjutnya, konsisten menilai fakta persidangan dan semua persidangan dilakukan secara terbuka.

”Harapan kami agar kita semua warga negara dan siapa pun juga membaca secara komprehensif dan tuntas pertimbangan putusan terkait pemberhentian Pak Arief. Kami minta tolong dibaca dari A sampai Z. Semoga itu membantu kita memahami mengapa DKPP harus mengambil putusan itu,” ujarnya.

Sejatinya tak hanya Arief yang diberhentikan dari jabatan ketua karena dianggap melanggar kode etik. DKPP pernah menjatuhkan sanksi serupa kepada beberapa ketua KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) provinsi dan kabupaten/kota. DKPP juga pernah memvonis penyelenggara pemilu berupa pemberhentian tetap.

Data DKPP menunjukkan, putusan pemberhentian jabatan pada 2019 ada 12 orang dan pada 2020 ada 60 orang. Sementara putusan pemberhentian tetap penyelenggara pemilu selama 2019 ada 43 orang, sedangkan pada 2020 ada 26 orang. Adapun vonis teguran pada 2019 ada 387 teguran, menurun menjadi 174 teguran pada 2020. Sementara rehabilitasi turun dari 648 orang pada 2019 menjadi 200 pada 2020.

KPU dan Bawaslu

Dalam Pilkada 2020, ada sejumlah keputusan KPU daerah yang dibatalkan Bawaslu, begitu pula sebaliknya ada rekomendasi Bawaslu di daerah yang tak dijalankan KPU setempat. KPU Kutai Kartanegara (Kaltim) dan KPU Tasikmalaya (Jabar) tidak menjalankan rekomendasi diskualifikasi dari Bawaslu.

Sementara itu, Bawaslu membatalkan keputusan KPU terkait pencalonan mantan narapidana. Sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XVII/ 2019, mantan narapidana, termasuk terpidana korupsi, harus melewati masa jeda lima tahun setelah menjalani masa pidana penjara untuk bisa maju di pilkada.

Namun, KPU dan Bawaslu tak selalu sepaham mengenai aturan itu, terutama penggunaan status bebas bersyarat. Contoh kasus pada bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati Dompu, Syaifurrahman Salman-Ika Rizky Veryani yang dinyatakan tidak memenuhi syarat.

KPU menilai Syaifurrahman belum melewati masa jeda lima tahun karena berdasarkan surat keterangan bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram dinyatakan 27 Oktober 2014 adalah pembebasan bersyarat, sedangkan pembebasan akhirnya pada 28 Maret 2016.

Hal itu pun diterapkan KPU kepada paslon Yusak Yaluwo dan Yakob Yeremba di Boven Digoel, Papua. Yusak dinyatakan tidak memenuhi syarat karena berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin, Yusak menjalani pembebasan bersyarat pada 7 Agustus 2014 dengan masa percobaan berakhir 26 Mei 2017. Yusak juga belum membayar uang pengganti Rp 45 miliar.

Artinya, Yusak baru dinyatakan bebas murni pada 26 Mei 2017 sehingga sampai dengan 2020 baru melewati jeda tiga tahun. Status bebas bersyarat dianggap masih terpidana karena masih menjalani kewajiban administrasi dengan lapas.

Yusak mengajukan sengketa ke Bawaslu setempat. Hasilnya, Bawaslu menyatakan paslon tersebut memenuhi syarat dan memerintahkan KPU RI dan atau KPU Provinsi Papua selaku KPU Kabupaten Boven Digoel menerbitkan keputusan atau berita acara penetapan Yusak-Yakob sebagai paslon bupati dan wakil bupati dalam Pilkada Boven Diogel.

”Bawaslu yang membuat tafsirnya sendiri dengan menghitung masa jeda lima tahun sejak kandidat keluar penjara, termasuk ketika menjalani bebas bersyarat atau hukuman percobaan, jauh dari semangat keberpihakan pada kepemimpinan bersih dan berintegritas. Komitmen kepatuhan hukum Bawaslu sangat dipertanyakan dalam hal ini. Sebab demi menjalankan tafsirnya, Bawaslu mengabaikan konstruksi hukum yang ada soal ketentuan pencalonan mantan terpidana,” kata anggota Dewan Pembina Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini.

Dia menilai desain kelembagaan yang ada saat ini menimbulkan rivalitas di antara penyelenggara, di mana ada hegemoni kelembagaan yang coba ditunjukkan suatu lembaga atas lembaga lain. Rivalitas antara KPU, Bawaslu, dan DKPP dikhawatirkan bisa mengganggu kredibilitas serta legitimasi pemilihan. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaannya pada pemilu dan pilkada karena beranggapan pemilu diselenggarakan oleh orang-orang yang kompetensi dan integritasnya diragukan.

Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menuturkan, salah satu penyebab terjadinya kompetisi antarlembaga pemilu adalah ketiga lembaga penyelenggara tersebut tidak menjadi satu kesatuan. Kewenangan dibagi kepada tiga lembaga dan masing-masing saling mengawasi.

Ia khawatir jika kewenangan lembaga terus diperkuat, hal ini bisa menimbulkan persaingan antarlembaga untuk membuktikan lembaga mana yang paling kuat.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, mengatakan, sejak awal, desain kelembagaan ketiga lembaga penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu, dan DKPP, tidak tepat. DKPP seharusnya menjadi lembaga yang memulihkan kehormatan KPU, bukan yang memberikan sanksi hingga mencopot jabatan penyelenggara pemilu.

Caranya, kata dia, bukan dengan mengadili, melainkan menjatuhkan sanksi berupa peringatan hingga penyelenggara pemilu tersebut menyadari kesalahan yang diperbuat.

Di sisi lain, kewenangan Bawaslu dinilai terlalu besar karena menangani pengawasan sekaligus penindakan. Seharusnya Bawaslu hanya menjalankan fungsi penegak hukum pemilu karena fungsi pengawasan bisa dilakukan oleh pemilih, masyarakat sipil, dan media massa.

KPU, Bawaslu, dan DKPP sejatinya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi untuk menciptakan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun, tampaknya masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki agar tiga ”saudara” penyelenggara pemilu itu bisa benar-benar saling melengkapi. (IQBAL BASYARI/NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 20 Januari 2021 di halaman 3 dengan judul “Aroma Rivalitas Tiga Saudara”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/20/aroma-rivalitas-tiga-saudara/