September 13, 2024

Atur Koalisi Berbasis Peserta

Tawaran Barter Ancam Kualitas Pemilu

JAKARTA, KOMPAS — Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu diharapkan mengatur ambang batas minimal dan maksimal koalisi partai pengusung calon presiden di Pemilu 2019. Aturan ini lebih sesuai dengan napas keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Ambang batas minimal dan maksimal ini bisa diterapkan dengan basis partai politik yang lolos verifikasi untuk mengikuti pemilu. Di satu sisi, ambang batas minimal akan “memaksa” partai politik untuk bergabung sehingga bisa membatasi jumlah pasangan calon presiden-wakil presiden.

“Di sisi lain, ambang batas maksimal, misalnya 60 persen dari partai politik peserta pemilu, bisa menghindari adanya calon tunggal,” kata peneliti politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, dalam diskusi “Membatasi Ambang Batas Presidensial?” di Jakarta, Sabtu (6/5).

Menurut Syamsuddin, sebagai konsekuensi logis dari keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden, maka tidak lagi ada ambang batas pemilihan presiden berbasis perolehan suara pemilu legislatif karena hal itu menjadi tidak lagi relevan. Terkait hal itu, pengaturan ambang batas minimal dan maksimal koalisi menjadi lebih relevan dalam pengaturan pencalonan calon presiden.

Sekretaris Jenderal Partai Idaman Ramdansyah menuturkan, jika Pansus RUU Pemilu tetap ngotot untuk menetapkan ambang batas perolehan suara dalam pemilu legislatif sebagai syarat mencalonkan presiden, hampir pasti partainya akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. “Itu menjadi kerugian konstitusional bagi kami, partai baru. Ketika ada ambang batas, maka hak kami untuk mencalonkan calon presiden gugur,” katanya.

Anggota Pansus RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu dari Fraksi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, menuturkan, fraksinya masih memperjuangkan agar ambang batas pencalonan presiden berbasis pemilu legislatif tetap diberlakukan. Menurut dia, hal ini penting dipertahankan karena keterujian politik pada pemilu legislatif penting untuk mengusung calon presiden.

Selain masih alotnya pembahasan ambang batas pencalonan presiden, Ace menuturkan, masih ada pembahasan serius soal ambang batas parlemen, pembagian daerah pemilihan, sistem pemilu, dan penambahan kursi DPR serta DPRD di kabupaten dan kota serta provinsi. Menurut dia, sudah biasa dalam pembahasan RUU, fraksi-fraksi berupaya mencapai kata sepakat dengan pertukaran isu yang mereka setujui atau tidak.

Lintas RUU

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, langkah pertukaran isu (barter) akan mengancam kualitas dan kepastian hukum pemilu meskipun langkah itu bisa menjadi solusi di tengah keterbatasan waktu pembahasan.

Salah satu barter pasal yang sudah ditawarkan terkait dengan sistem pemilu legislatif dan ambang batas pencalonan presiden.

Fraksi PDI-P yang menginginkan ambang batas pencalonan presiden berbasis hasil pemilu legislatif sebelumnya tetap dipertahankan, menawarkan barter pasal terkait sistem pileg kepada kelompok fraksi yang mendukung peniadaan ambang batas, seperti Fraksi Gerindra dan Partai Amanat Nasional.

Bahkan, muncul usulan agar barter pasal dilakukan lintas RUU politik yang saat ini tengah dibahas bersamaan, misalnya antar-RUU Pemilu dengan revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

“RUU Pemilu dan RUU MD3 itu bisa jadi titik kompromi. Opsi ini sudah dibicarakan lintas fraksi. Misalnya, kita sepakati PDI-P dapat kursi pimpinan di MD3, tetapi sikapnya di sistem pileg dan ambang batas bisa dipertimbangkan lagi,” kata Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria. (GAL/AGE)

http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/05/08/Atur-Koalisi-Berbasis-Peserta