January 17, 2025

Banjir Rob di Pesisir Utara Jawa Tengah dan Solusi Semu Calon Gubernur

Wajah lesu langsung terlihat di muka Ahmad Udin (43), warga Kota Pekalongan ketika ditanya mengenai banjir rob. Lebih dari setengah umurnya, Ahmad selalu merasakan sengsaranya dampak banjir rob. Harta benda hancur. Belum lagi dampak psikologi yang ia alami karena luapan pasang air laut dampak perubahan iklim tersebut.

Rumah dua lantai miliknya di Kecamatan Tirto, pesisir utara Pekalongan, luluh lantak diterjang banjir rob. Bengkel sepeda motor juga ia tinggalkan karena hampir selalu digenang banjir rob setiap siklus air pasang. Saat usia 10 tahun di 1989, ia mengalami masa ketika Kota Pekalongan diterjang banjir bandang. Juga ketika banjir bandang menerjang pada 1992.

Di tahun-tahun berikutnya, banjir rob semakin masif dan terus menggenangi sejumlah wilayah di Pekalongan. Termasuk banjir rob dan banjir kiriman yang menerjang Kota Pekalongan pada 2014.

“Kalau banjir karena air kiriman sampai sekarang masih terjadi di beberapa titik seperti Tirto, sementara banjir rob terjadi hampir semua titik di Kota Pekalongan,” kata Ahmad.

Ahmad menyebut ada upaya penanganan dari pemerintah setempat, namun itu hanya mengurangi intensitas banjir dan dan belum bisa menghilangkan bencana.

“Bekerja mati-matian cari rezeki untuk ditabung juga percuma. Uangnya habis untuk memperbaiki dan meninggikan rumah,” jelasnya.

Ahmad tinggal di pesisir utara Pekalongan sejak 2009. Dua kali ia meninggikan hunian tersebut, guna menghindari rob. Selama bertahun-tahun, Ahmad berharap pemerintah merelokasi warga yang mendiami pesisir utara Pekalongan. Pemerintah daerah saat itu menyiapkan rumah susun untuk masyarakat yang terdampak banjir rob.

“Tapi percuma ada rumah susun, kalau lingkungan sekitar masih digenangi banjir rob,” kata Ahmad.

Ahmad kini pindah ke tengah Kota Pekalongan. Meski begitu, tempat tinggalnya kini masih saja terdampak air banjir rob.

“Yang membuat jengkel, pemerintah selalu menyalahkan cuaca saat terjadi bencana, tanpa ada solusi yang benar-benar matang. Tidak hanya saya, ribuan warga lainnya di pesisir utara Pekalongan juga bernasib sama,” imbuhnya.

Terjangan banjir rob membuat Kota Pekalongan maupun Kabupaten Pekalongan kini menjadi daerah yang terdampak perubahan iklim secara masif. Pada 2018, luas wilayah yang diterjang banjir rob di Kota Pekalongan mencapai 1.391 hektare. Pada 2020, luas wilayah terdampak banjir rob bertambah menjadi 1.730 hektare, dan pada pertengahan 2024, ada 22 kelurahan di 4 kecamatan terdampak banjir rob, dengan warga terdampak mencapai 20 ribu keluarga.

Sejumlah pihak memperkirakan, Kota Pekalongan dan sekitarnya akan menjadi lautan beberapa tahun ke depan jika banjir rob tidak segera teratasi. Perkiraan itu muncul dari analisis sejumlah pakar dalam Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD API), di Kota Semarang, awal September 2024 lalu.

Dari analisis itu, sekitar 90 persen daratan Kota Pekalongan dan sekitarnya diperkirakan akan hilang pada 2035 jika tidak ada mitigasi secepatnya.

Tak hanya di Kota Pekalongan yang kerap dilanda bencana. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah mencatat periode Januari hingga 8 Maret 2024 ada 104 kejadian bencana hidrometeorologi. Dari total kejadian tersebut, 59 ribu rumah terendam banjir dan 1.162 rumah rusak. Sebanyak 235 ribu warga Jateng juga terdampak, 12 jiwa meninggal. Banyak warga terdampak adalah kelompok rentan seperti lansia, anak-anak dan perempuan.

Bencana di Jawa Tengah terjadi di seluruh wilayah yang meliputi 29 kabupaten dan enam kota, baik itu berupa banjir, tanah longsor, kebakaran hingga cuaca ekstrem.

Daerah paling rawan adalah pesisir utara Jawa Tengah, meliputi Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kota Pekalongan, Kendal, Kota Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Blora hingga Rembang. Pemerintah Provinsi kerap menetapkan status tanggap darurat bencana di wilayah-wilayah itu.

Bappeda Provinsi Jawa Tengah menghitung total kerugian akibat bencana dan kerusakan lingkungan sepanjang 2020-2024 mencapai Rp14,9 triliun.

Akses air bersih

Mata Tumirah (50) kosong menatap laut yang tepat di depan warungnya, di Dukuh Tambaksari, Desa Bedono, Kabupaten Demak. “Dulu lautan itu merupakan daratan,” tutur Tumirah.

Kampung masa kecil Tumirah berada di wilayah makam tokoh masyarakat KH. Abdullah Mudzakir atau Syekh Mudzakir. Makam itu kini lebih dikenal sebagai Makam Apung. Saat Tumirah kecil, ia kerap bermain bersama teman-temannya di jalan-jalan kampung. Tapi ruas jalan itu kini berubah menjadi lautan.

Menurut Tumirah, banjir rob mulai menerjang kampung halamannya pada tahun 90-an. Kala itu, air laut masuk ke kampung hanya saat bulan purnama. Belakangan, ari rob semakin sering masuk permukiman.

“Tahun 2000 semakin parah, bahkan jalan di ujung kampung sudah hilang, jadi lautan dan semakin ke tengah rumah warga,” kata Tumirah.

Warga Tambaksari bekerja keras mengatasi banjir dan rob di kampung mereka. Berkali-kali dilakukan penanaman mangrove, namun tak mampu menahan besarnya ombak. Air laut tetap masuk permukiman warga. Pembangunan jalan tol di atas laut di Demak juga semakin memperparah abrasi yang menghantam kampung halamannya.

“Dulu kami sempat tanam mangrove, tapi mereka mati ketika ombak semakin besar karena ditambah adanya pembangunan tol laut,”imbuhnya.

Akses air bersih bagi warga juga semakin sulit. Air tanah sudah bercampur air asin. Warga terpaksa membeli air galon untuk masak. Akses jalan yang kini terendam air kini hanya bisa dilalui menggunakan perahu.

“Kalau ada yang lahiran pas rob, ya dibawa pakai perahu,”tuturnya.

Tumirah memilih bertahan di rumah apung, yang harus terus ditinggikan lantainya setiap tahun.

“Kami tidak bisa pindah, karena hidup kami sudah bergantung di sini,” imbuhnya.

Di pesisir utara Kota Semarang, ada tanggul laut sepanjang 3,6 kilometer, yang digadang mampu menahan banjir rob. Namun, setiap pagi, rembesan air laut selalu mengganggu aktivitas sehari-hari warga.

Ketua RW 016 Kampung Tambaklorok, Slamet Riyadi, awalnya senang ketika ada tanggul laut yang dibangun dengan anggaran fantastis Rp386 miliar. Ini adalah proyek yang telah lama diharapakan masyarakat pesisir untuk melindungi kampung mereka dari ancaman rob.

Meski ancaman rob dari sisi timur teratasi, kini muncul masalah baru. Yakni, rembesan air laut dari tahap pertama sheet pile. Setiap pagi, selama satu hingga dua jam, air rob setinggi 5-10 cm menggenangi kampung tersebut, termasuk jalan-jalan utama.

“Dulu sebelum ada tanggul, banjir rob bisa mencapai 50-70 cm. Tapi sekarang, meski tidak setinggi itu, tetap mengganggu aktivitas pagi, terutama bagi anak-anak yang mau bersekolah dan warga yang bekerja,” ungkap Slamet beberapa waktu lalu.

Slamet berharap Pemerintah Kota Semarang segera bertindak, seperti meninggikan jalan utama dan memperbaiki saluran air.

“Kami berharap jalan segera ditinggikan, supaya kami bisa beraktivitas dengan aman tanpa harus khawatir dengan rob,” harapnya.

Akar masalah

Akar masalah banjir rob di pesisir utara Jawa Tengah terus jadi bahasan para ahli. Dosen Perencaan Wilayah dan Kota Universitas Sultan Agung (Unisulla) Semarang, Mila Karmila menyebut faktor utama penyebab banjir dan rob adalah turunnya muka tanah (land subsidence) imbas masifnya pemakaian air bawah tanah, serta pembebanan di atas kawasan indsutri.

“Faktornya itu kompleks, tidak hanya perubahan iklim saja, tapi penggunaan air bawah tanah itu juga perlu diperatikan,” kata Mila kepada KBR, Jumat (25/10/24).

Mila mengatakan penanganan banjir rob oleh pemerintah selama ini bersifat parsial dan tidak mencari akar masalah. Seperti perbaikan pompa, tanggul dan sekedar bantuan logistik kepada korban banjir rob.

Selain itu, pembangunan sheet pile di Kampung Tambaklorok pada Juli lalu yang digadang mencegah banjir rob justru menimbulkan masalah baru, yaitu munculnya rembesan serta arus air bergeser ke daerah yang tidak ditanggul.

Direktur LBH Semarang, Syamsudin Arief mengatakan selama dua kali debat Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2024, dua pasangan calon gubernur tak menganalisis lebih dalam permasalahan struktural di Jawa Tengah.

Selain itu, calon kepala daerah juga tidak menjanjikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat, seperti hak atas standar kehidupan yang layak, hak atas pembangunan yang berkeadilan, hak atas tanah, serta hak atas lingkungan hidup yang baik.

“Solusi yang ditawarkan seharusnya lebih kompleks lagi serta mengedepankan unsur pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia,” beber Arif, kepada KBR, Minggu (24/11/24).

Arif mengatakan kegagalan cara pandang masalah di Jawa Tengah dapat menghadirkan solusi palsu, partisipasi semu dan pemborosan anggaran.

Calon gubernur Jawa Tengah nomor urut 1, Andika Perkasa misalnya menawarkan solusi menaikan tarif pajak penggunaan air tanah bagi industri yang menggunakan.

“Kebijakan pemberian pajak tinggi pengguna air tanah akan kami berlakukan. Sehingga yang digunakan lebih banyak air permukaan nantinya,” kata Andika dalam debat Pilgub Kedua di Semarang, Minggu (10/11/2024).

Menurut Andika, penurunan tanah di pesisir utara Jawa tidak hanya akibat perubahan iklim, namun juga faktor manusia. Selain itu, kata Andika, banjir juga disebabkan oleh deforestasi. Karena itu, ia mengusulkan adanya insentif untuk menghijaukan kembali lingkungan.

“Kami anak berikan insentif untuk perubahan yang bisa menghijaukan kembali lingkungan mereka. Maka usaha mitigasi bisa dilakukan oleh swasta,”beber Andika.

Sementara itu calon gubernur nomor urut 2 Ahmad Luthfi akan mengevaluasi Peraturan Daerah (Perda) terkait pengelolaan air tanah selama tiga bulan sekali. Menurut Luthfi, dengan evaluasi Perda diharapkan tak ada lagi pengambilan air tanah secara masif, agar tidak memperparah penurunan tanah di pesisir utara Jawa Tengah.

“Kita harus lakukan penegakan perda. Sehingga tidak ada lagi pengambilan air tanah semena-mena dan perda itu nantinya akan dievaluasi setiap 3 bulan sekali,” kata Luthfi.

Luthfi menambahkan, nantinya setiap desa akan memiliki Satgas tanggap bencana yang terlatih. Untuk penangan bencana di wilayah tersebut.

“Kami juga akan membentuk kelompok terlatih yang menjadi garda cepat penanganan bencana nantinya di tingkat desa,” kata Luthfi.[]

Anindya Putri, Jurnalis KBR

Liputan ini telah terbit di KBR merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.