August 8, 2024

Bantuan Keuangan Parpol Berbasis Kinerja

Minimnya pendanaan dari negara bagi partai politik berimplikasi pada banyak hal negatif, di antaranya korupsi dan dikuasainya proses politik oleh pemodal atau pengusaha. Namun, untuk meningkatkan besaran bantuan bagi partai politik pun tak bisa sesuka hati. Perlu ada sejumlah syarat yang dipenuhi. Yang terutama, partai dituntut lebih transparan.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips Vermonte dalam diskusi bertajuk ”Revisi Undang-Undang Pemilu dan Integritas Kelembagaan Pendanaan Politik”, Kamis (21/1/2020), menilai, proses politik di Indonesia telah dikuasai oleh pemodal atau pengusaha.

Hal ini salah satunya dipicu oleh minimnya bantuan negara untuk parpol. Bantuan yang diterima bahkan dinilainya tidak cukup untuk menutup biaya operasional parpol.

Catatan Kompas, akhir 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah merekomendasikan pendanaan negara bagi parpol ditingkatkan menjadi Rp 8.461 per suara. Saat ini, pendanaan negara kepada parpol sebesar Rp 1.000 per suara. Besaran bantuan itu dinilai belum cukup untuk parpol menjalankan fungsinya.

Situasi itu lantas diperparah dengan penerapan sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif. Sistem tersebut membuka peluang praktik mahar politik sehingga kandidat yang ingin berkontestasi harus menyiapkan dana besar untuk disetor ke parpol. Alhasil, setelah terpilih, tak jarang mereka tergoda korupsi semata untuk balik modal ongkos politik yang telah dikeluarkannya.

Aturan konkret

Atas persoalan-persoalan itu, Philips melihat, DPR mulai menyadarinya. Di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang kini masih digodok oleh DPR, misalnya, tertera pasal terkait peningkatan bantuan negara untuk parpol. Namun, itu saja tidak cukup.

”Kita juga harus mengaitkan pendanaan ini dengan memperkuat dan memastikan bahwa dalam aturan-aturan mengenai parpol di undang-undang itu, ada aturan yang konkret dan bisa diimplementasikan soal penghitungan penambahan alokasi (dana), pelaporan dana, audit, dan sanksi,” ujar Philips.

Ia melanjutkan, rencana kenaikan bantuan parpol itu seyogianya memperhatikan dua hal.

Berbasis kinerja

Pertama, dana yang sifatnya tetap (fixed cost). Biasanya, dana tersebut digunakan untuk penyelenggaraan kantor partai atau pendidikan politik. Kedua, dana bantuan yang sifatnya insentif.

”Kalau partai itu, misalnya suara naik sekian persen, pendidikan politik terukur, jadi ada subsidi yang bergantung pada performance (kinerja). Jumlah bervariasi,” katanya.

Ia juga melihat aturan di RUU Pemilu sudah cukup progresif. Ada satu pasal yang secara tegas akan menghukum parpol jika ditemukan praktik mahar dalam proses kandidasi. Sanksinya, parpol tidak boleh mencalonkan pada pemilu berikutnya. ”Ini progresif, tetapi apakah (sanksi tersebut) bisa ditegakkan? Jangan-jangan yang mau menegakkan aturan tidak berani,” tutur Philips.

Selain Philips, turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi yang digelar Transparency International Indonesia (TII) itu, Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, dan Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany.

Danang Widoyoko sepakat bahwa peningkatan bantuan bagi parpol saja tidak cukup. Peningkatan bantuan harus diikuti komitmen parpol. Parpol dituntut lebih transparan, baik dari sisi pelaporan dana, sistem perekrutan, hingga proses kaderisasi. Dengan demikian, parpol mampu memulihkan kepercayaan publik pada parpol.

”Seperti kita ketahui, anggota legislatif yang ditangkap karena kasus korupsi begitu masif. Inilah yang justru selama ini menurunkan kepercayaan masyarakat pada institusi demokrasi atau sistem politik demokrasi itu sendiri,” ujarnya.

Redesain sistem pemilu

Hasto Kristiyanto membenarkan, kursi DPR sekarang banyak diisi pengusaha. Bahkan, para pengusaha sudah masuk ke DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Ini, menurut dia, diakibatkan oleh biaya politik yang mahal.

”Kita punya dampak pemilu langsung. Pemegang kapital kemudian ikut memainkan politik maka tak heran terjadi perubahan, parpol bergerak ke tengah. Pilkada hanya untuk pertarungan politik, tak peduli belakangnya,” ujar Hasto.

Parpol, kata Hasto, sebenarnya mempunyai idealisme untuk menggembleng calon-calon pemimpin yang tidak korup. Namun, proses itu kerap dikalahkan oleh proses politik uang yang dilakukan calon penantang.

Dengan dampak negatif tersebut, PDI-P mengusulkan beberapa hal. Pertama, redesain sistem pemilu. Sebagai masa transisi, pemilihan anggota DPD dan presiden dipilih langsung, tetapi pemilihan legislatif dilakukan dengan sistem proporsional tertutup. ”Sistem pemilu dalam penempatan jabatan-jabatan publik harus semurah-murahnya,” katanya.

Mengenai bantuan negara untuk parpol, Hasto sepakat kenaikan besaran bantuan mesti diiringi dengan konsekuensi hukum atas pertanggungjawaban dana negara tersebut. Begitu pula insentif tambahan bagi parpol yang berkinerja baik patut dipertimbangkan di RUU Pemilu. Jika hal itu diatur, ia meyakini partai akan berlomba-lomba untuk menjalankan fungsinya dengan lebih optimal.

Mardani Ali Sera pun menekankan pentingnya kenaikan bantuan parpol. Namun, ia pun sepakat jika kenaikan harus disertai dengan perbaikan integritas parpol.

Adapun Tsamara Amany mengusulkan konsep lain guna menutup kekurangan dana parpol, yakni menggalang dana dari masyarakat. Cara tersebut telah ditempuh oleh PSI. Meski demikian, hal ini pun tak selamanya berjalan mulus.

”Sulit sekali menciptakan budaya penggalangan dana. Penggalangan dana belum jadi ciri khas. Masyarakat masih berpikir kok kita yang dimintai uang, harusnya mereka yang diberikan uang,” katanya.

Tsamara pun meyakini, parpol harus berbenah terlebih dahulu agar dipercaya masyarakat. Proses rekrutmen kader harus lebih transparan. Hal serupa juga harus terjadi dalam proses pencalonan kepala daerah atau anggota legislatif. PSI, katanya, telah memulai proses akuntabilitas itu dengan memiliki tim seleksi caleg dan sistem konvensi di pemilihan kepala daerah. (NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/21/bantuan-keuangan-berbasis-kinerja-picu-kinerja-parpol/