August 8, 2024

Banyak Ketentuan Baru Belum Diatur, Revisi UU Pilkada Perlu Segera Disiapkan

Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah perlu dilakukan agar sejumlah ketentuan mendapat dasar hukum yang jelas sehingga tidak berpotensi mengganggu tahapan Pilkada 2020. Salah satu langkah yang dapat segera dilakukan untuk menyiapkan revisi UU Pilkada yakni dengan membuat naskah akademik.

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay di Jakarta, Jumat (4/10/2019), mengatakan, revisi penting untuk segera dilakukan karena terdapat banyak ketentuan yang belum tertuang dalam UU Pilkada. Dari sisi teknis, banyak juga hal yang perlu disinkronisasi terutama dari evaluasi kemutakhiran praktik Pemilu serentak 2019 lalu.

Sejumlah hal yang perlu mendapat kejelasan hukum yakni terkait penggunaan teknologi, prinsip, hingga mekanisme hukum yang ditempuh jika ada permasalahan dalam rekapitulasi suara secara elektronik atau e-rekap. Sistem e-rekap ini akan digunakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pilkada 2020.

Selain itu, Direktur Eksekutif untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, poin revisi UU Pilkada juga dapat menerapkan harmonisasi dengan perkembangan hukum positif dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Poin ini khususnya terkait nomenklatur Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan kewenangannya, definisi, dan metode kampanye.

Titi juga menilai, aturan mengenai larangan pencalonan para mantan napi korupsi dan pelaku kejahatan berat lainnya perlu dituangkan dalan UU Pilkada. Sebab, norma dan aturan terkait larangan ini akan banyak menuai kontroversi dan perdebatan jika hanya dituangkan dalam peraturan KPU (PKPU).

“Itikad baik KPU mestinya disambut progresif oleh pembuat UU. Agar pilkada betul-betul bisa jadi saringan bagi keterpilihan pemimpin daerah yang berintegritas,” katanya.

Meski mendesak, revisi UU Pilkada belum dapat dilakukan dalam waktu dekat. Sebab, baik DPR maupun pemerintah masih dalam proses dan tahapan pergantian periode baru. DPR juga belum menentukan anggota mana saja yang masuk ke dalam Komisi II.

Terkait kondisi tersebut, Titi berharap pemerintah bisa mengambil inisiatif untuk proaktif menyiapkan naskah akademik dan rancangan revisi UU Pilkada. Naskah akademik ini menguraikan tujuan dan kegunaan kajian, metode kajian, asas-asas, dan garis besar materi muatan revisi undang-undang.

“Jika naskah akademik telah tersusun, RUU Pilkada dapat langsung masuk pembahasan sehingga paling lama akhir tahun 2019 bisa selesai dan dapat segera digunakan oleh semua pihak,” ujarnya.

Masuk prolegnas
Sebelumnya, Komisi II DPR periode 2014-2019 bersama Kemendagri dalam rapat kerja Komisi II akhir September lalu sepakat merekomendasikan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.

Saat itu, Komisi II berpandangan bahwa masuknya revisi dua UU itu dalam Prolegnas 2020 bertujuan untuk mengantisipasi lamanya proses uji materi yang berpotensi mengganggu tahapan pilkada. Selain itu, larangan narapidana korupsi untuk menjadi calon kepala daerah ataupun calon anggota legislatif juga diusulkan masuk dalam revisi dua UU tersebut. (Kompas, 27/9/2019)

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik menyatakan, saat ini Kemendagri masih memetakan sejumlah pasal dalam UU Pilkada yang perlu direvisi.Pasal tersebut di antaranya terkait kewajiban cuti kepala daerah petahana saat mengikuti pilkada.

Kemendagri juga mendalami usulan revisi Pasal 7 Huruf s UU Pilkada yang menyebutkan aturan mengundurkan diri bagi anggota TNI, Polri, dan pegawai negeri sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah.

Usulan
KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu juga menilai pentingnya UU Pilkada untuk direvisi. Sebab, terdapat sejumlah perbedaan hukum dan ketentuan yang belum diatur dalam UU Pilkada.

Salah satu yang poin revisi yang diusulkan oleh KPU yakni aturan tentang larangan mantan terpidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri pada pilkada. Larangan ini juga dibahas kembali saat uji publik peraturan KPU tentang pencalonan kepala daerah dengan sejumlah pihak, Rabu (2/10) lalu.

Selain itu, dalam UU Pilkada juga belum mengatur tentang e-rekap yang akan digunakan oleh KPU pada Pilkada 2020. Namun, anggota KPU Evi Novida Ginting menilai bahwa dasar hukum e-rekap telah cukup kuat dan jelas dalam UU Pilkada.

Adapun aturan yang menjadi acuan KPU yakni Pasal 111 ayat 1 UU Pilkada. Ayat tersebut mengatur mekanisme penghitungan dan rekapitulasi suara pilkada, baik secara manual maupun elektronik, diatur dengan peraturan KPU.

Sementara Bawaslu juga mendorong adanya revisi UU Pilkada untuk disesuaikan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal ini karena terdapat sejumlah perbedaan signifikan terkait nomenklatur pengawas pemilihan seperti yang diterangkan pada Pasal 1 Angka 17 UU Pilkada.

Dalam UU Pilkada disebutkan, pengawas penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah panitia pengawas (panwas) yang dibentuk oleh Bawaslu provinsi. Sementara dalam UU Pemilu, badan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Bawaslu kabupaten/kota. Perbedaan ini dinilai akan membuat tugas panwas dan Bawaslu kab/kota menjadi tidak jelas. (PRADIPTA PANDU)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2019/10/04/banyak-ketentuan-baru-belum-diatur-revisi-uu-pilkada-perlu-segera-disiapkan/