February 25, 2025

Beberapa Catatan Kritis PHPU Pileg 2024

Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Pileg 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) telah selesai digelar, setelah sidang pembacaan putusan selama 3 hari, mulai tanggal 6, 7, 8 Juni 2024. Total seluruh perkara yang yang diregistrasi MK sebanyak 297 perkara, sebanyak 191 perkara telah dibacakan putusan dismissal (tidak diterima atau tidak berdasar) pada 21-22 Mei 2024 silam. Dari 106 perkara, MK menolak 58 perkara, dan 38 perkara dikabulkan sebagian, sebanyak 6 perkara dikabulkan seluruhnya, serta 3 perkara dikabulkan penarikannya dan 1 perkara tidak dapat diterima.

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, berdasarkan pemantauan PHPU menyebut jumlah perkara pada PHPU 2024 mengalami peningkatan dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2004 jumlah permohonan PHPU sebanyak 44 perkara, tahun 2009 70 perkara, pada tahun 2024 menjadi 297 perkara, dan 252 perkara pada Pemilu 2019. Sedangkan sengketa hasil pemilu 2024, perkara yang masuk ke MK meningkat menjadi 299 perkara, dengan 2 perkara di antaranya PHPU Pilpres.

“Khusus PHPU Pileg tahun 2024 terdapat 297 perkara PHPU yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, baik dari DPR, DPD, DPRD Provinsi, maupun DPRD Kabupaten/Kota,” kata Peneliti PUSaKO, Habib Ferian Fajar dalam diskusi online bertajuk “Pemantauan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Legislatif Tahun 2024” (19/6).

Habib mencatat, perkara PHPU DPD berjumlah 12 perkara, sementara PHPU DPR dan DPRD sebanyak 285 perkara. Sedangkan berdasarkan jenis pengajuan perkara PHPU di MK, sebanyak 40% atau 114 perkara diajukan oleh perseorangan dan 171 perkara atau 60% tercatat diajukan oleh partai politik.

Lebih lanjut Habib memaparkan, sebaran PHPU Pileg tertinggi berasal dari Provinsi Papua Tengah dengan 26 perkara, disusul Aceh dengan 19 perkara, kemudian Banten 18 perkara, dan Papua 17 dengan perkara yang masuk di MK. Jumlah perkara tersebut kemudian dibagi dalam tiga panel dan diisi oleh masing-masing hakim MK yang bertugas di masing-masing panel.

“Dari 297 perkara yang diajukan pada tahun 2024, sebanyak 148 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, 13 perkara dinyatakan MK tidak berwenang untuk memeriksa, 20 perkara dinyatakan gugur, 57 perkara ditolak, 15 perkara ditarik kembali, 38 perkara dikabulkan sebagian, dan enam perkara dikabulkan seluruhnya,” jelasnya.

Dalam proses persidangan MK mendasarkan putusannya untuk tidak menerima atau menolak permohonan seperti; pihak yang tidak hadir atau terlambat dalam persidangan, ketidakjelasan kedudukan hukum, tidak adanya alat bukti fisik, dan kesalahan menampilkan data. Dalam beberapa putusan PHPU Pileg 2024, juga mengharuskan adanya pemungutan suara ulang (PSU) akibat pelanggaran atau kesalahan yang terbukti selama proses pemilihan. PUSaKO mencatat, PSU terjadi di 20 provinsi, termasuk Aceh, Riau, Jambi, dan Papua Pegunungan.

Habib menilai transparansi dalam proses persidangan PHPU di MK sangatlah penting untuk menjamin keadilan dan keterbukaan. Menurutnya, proses persidangan yang transparan dapat memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa hukum ditegakkan dengan adil. Hal lainnya,  transparansi juga memastikan bahwa informasi persidangan dapat diakses oleh publik termasuk masyarakat luas, media, dan pihak-pihak yang berkepentingan.

“Dengan transparansi, publik dapat memantau dan mengawasi jalannya persidangan, memastikan akuntabilitas lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),” ujarnya.

Sementara itu, Program Manager di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan, peningkatan jumlah permohonan dalam PHPU 2024 dibandingkan Pemilu 2014 dan 2024 menunjukan adanya kesadaran dari warga negara dan peserta pemilu untuk menjaga kemurnian suara pemilih. Tetapi, di sisi lain, banyaknya permohonan PHPU juga mencerminkan adanya masalah serius dalam penyelenggaraan pemilu.

“Selain soal kesalahan penghitungan suara dan kecurangan penyelenggaraan pemilu, terdapat juga problem pencalonan yang dibawa ke MK. Salah satunya isu pencalonan 30% perempuan yang wajib dipenuhi oleh setiap partai politik di semua daerah pemilihan. Ada juga isu mantan terpidana yang belum selesai menjalani masa jeda,” jelas Fadli.

Fadli menjelaskan, kasus terkait masa jeda mantan terpidana paling kontroversial adalah terkait pencalonan Irman Gusman. MK menilai eks terpidana kasus suap impor gula Perum Bulog yang baru bebas 26 September 2019 itu tidak masuk kategori eks terpidana yang diancam terpidana 5 tahun atau lebih. Menurut MK, Irman Gusman tidak terikat dengan kewajiban masa tunggu 5 tahun setelah bebas untuk bisa maju pada pileg.

Putusan PHPU Irman Gusman itu memerintahkan KPU mengubah Daftar Calon Tetap (DCT) pileg ulang DPD dapil Sumatera Barat untuk menyertakan nama Irman Gusman. Dekan demikian, eks terpidana korupsi Irman Gusman resmi ikut PSU yang dijadwalkan pada 13 Juli 2024 nanti di Provinsi Sumbar.

“Irman tidak tercatat sebagai peserta pada Pemilu 14 Februari 2024 karena belum memenuhi syarat masa jeda 5 tahun. Ini menjadi beban bagi MK karena untuk pertama kalinya seorang perorangan yang bukan peserta pemilu mengajukan permohonan dan diterima oleh MK,” jelas Fadli.

Fadli menyimpulkan, melalui PHPU 2024 publik dapat melihat bahwa peningkatan jumlah permohonan di MK menunjukkan adanya kesadaran yang lebih untuk mengajukan koreksi terhadap hasil pemilu. Namun juga menunjukkan adanya masalah serius dalam integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Selain itu, ia juga menilai MK perlu memposisikan para pihak yang dapat diterima dalam proses PHPU dengan lebih baik. []