JAKARTA, KOMPAS — Belum tuntasnya penganggaran untuk penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 salah satunya disebabkan beda persepsi dana kampanye antara pemerintah daerah dan Komisi Pemilihan Umum di daerah. Masih ada beberapa pemerintah daerah yang menganggap pembiayaan kampanye seluruhnya ditanggung peserta pemilu, bukan penyelenggara pemilu.
Padahal, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, begitu pula dengan aturan terdahulu, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, sudah mengatur sebagian pendanaan kampanye ditanggung KPU daerah dengan menggunakan APBD. UU itu mengatur empat jenis kampanye yang didanai negara, yakni debat publik, penyebaran bahan kampanye, iklan media cetak dan elektronik, serta pemasangan alat kampanye.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Viryan Aziz, Selasa (5/9), mengatakan, dari 171 daerah yang akan menggelar pilkada pada 2018, masih ada 16 pemerintah kabupaten dan kota yang belum menandatangani naskah perjanjian hibah daerah (NPHD). Menurut dia, hal ini antara lain disebabkan adanya beberapa pemerintah daerah yang masih berpegangan pada model pendanaan lima tahun lalu sehingga belum memahami ketentuan baru.
“Misalnya, lima tahun lalu kampanye masih sepenuhnya ditanggung pasangan calon. Sekarang difasilitasi oleh KPU di daerah,” kata Viryan.
Hal ini diduga juga disebabkan dampak keterbatasan anggaran yang dihadapi pemerintah daerah tersebut. Menurut Viryan, KPU di daerah yang menghadapi persoalan itu diminta memberikan penjelasan.
Selain persoalan perbedaan persepsi, ada pula pemerintah daerah yang belum menandatangani NPHD karena anggaran belum tuntas dibahas. Sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada Tahun 2018, penandatanganan NPHD ditarget rampung sebelum 27 September 2017.
Referensi pemilih
Dalam diskusi bertema “Pemilih Pemula dan Penyandang Disabilitas” yang diselenggarakan Kompas Gramedia di kantor Redaksi Kompas Biro Surabaya terungkap, media massa yang tepercaya dan berwibawa masih menjadi rujukan utama pemilih dalam Pilkada Jawa Timur 2018.
Diskusi menghadirkan pembicara, antara lain, Ketua KPU Jatim Eko Sasmito, Guru Besar Kajian Media dan Komunikasi Politik Universitas Airlangga Rachmah Ida, dan Ketua Aliansi Pelajar Surabaya Aryo Seno Bagaskoro.
Aryo mengatakan, pemilih pemula sebenarnya lebih dekat dengan media sosial. Namun, mereka masih memerlukan media massa sebagai referensi informasi, termasuk dalam politik lokal.
Pendapat Aryo itu tak jauh berbeda dengan hasil penelitian internal oleh Rachmah terhadap mahasiswanya. Hampir 85 persen mahasiswa masih menjadikan media massa sebagai sumber informasi. Jika informasi didapat dari media sosial, itu pun konten pemberitannya berasal dari media arus utama.
“Responden tidak tertarik apalagi terlibat diskusi ramai di media sosial dengan isu politik seperti Pilkada Jakarta dan intoleransi,” ujar Rachmah.
(GAL/BRO/ETA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 September 2017, di halaman 2 dengan judul “Beda Persepsi Menjadi Penghambat”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/09/06/Beda-Persepsi-Menjadi-Penghambat